Daftar Isi
Bab 1 Perkenalan dalam Sepi
Di sebuah kota yang terbungkus dalam kesunyian malam, dua jiwa saling terhubung melalui sebuah layar kecil yang seolah menjadi satu-satunya penghubung antara mereka. Maya duduk di kamarnya yang sederhana, menggenggam ponsel di tangannya dengan jari-jari yang sedikit gemetar. Setiap kali dia menatap layar ponselnya, detak jantungnya selalu mempercepat, seolah-olah ada sebuah harapan yang tak bisa ia hentikan. Ia menghela napas panjang, menekan tombol untuk membuka aplikasi pesan.
Sebulan yang lalu, pertemuan mereka hanyalah sebuah kebetulan. Maya tidak pernah membayangkan akan mengenal seseorang seperti Dika—seorang lelaki yang tinggal ribuan kilometer jauhnya dari kota tempat tinggalnya. Mereka bertemu di sebuah forum online, tempat orang-orang dari berbagai penjuru dunia berbagi cerita dan pengalaman. Dari percakapan yang awalnya biasa saja, tiba-tiba kedekatan mereka tumbuh tanpa bisa dihentikan. Tidak ada pertemuan fisik, tidak ada tatapan mata secara langsung, hanya kata-kata yang tertulis di layar.
Dika, dengan gaya berbicaranya yang tenang dan penuh perhatian, mampu membuat Maya merasa seperti mereka telah saling mengenal bertahun-tahun lamanya. Setiap pesan yang ia terima selalu diiringi dengan senyuman, bahkan saat sedang berhadapan dengan kesulitan sehari-hari. Maya merasa dia menemukan seseorang yang bisa memahami dirinya lebih dari siapapun, meskipun mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh.
Maya menekan tombol keyboard dan menulis pesan. “Apa kabar, Dika?”
Sekejap setelahnya, balasan dari Dika muncul di layar ponselnya, dan senyuman Maya tidak bisa ia tahan. “Baik, Maya. Bagaimana denganmu? Sudah makan?”
Percakapan mereka selalu dimulai dengan pertanyaan sederhana, namun entah mengapa, itu membuat Maya merasa nyaman. Setiap obrolan mereka terasa begitu alami, seperti dua orang yang telah lama saling mengenal meskipun jarak dan waktu menjadi penghalang.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada perasaan yang tak bisa disembunyikan oleh Maya. Setiap kali berbicara dengan Dika, ada perasaan rindu yang membuncah di dalam hati. Rindu yang datang meskipun mereka tidak pernah bertemu secara langsung. Rindu yang tumbuh melalui kata-kata yang terukir di layar, yang meskipun tidak menyentuh tubuh, namun bisa meresap dalam relung hati.
Di sisi lain, Dika juga merasakan hal yang sama. Dika, yang kini sedang duduk di ruang tamunya yang sunyi, menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Setiap kali menerima pesan dari Maya, ada perasaan hangat yang menyebar di dalam dadanya. Namun, perasaan itu selalu disertai dengan kekosongan. Betapa pun mereka berdua ingin berbagi lebih banyak, betapa pun mereka ingin merasakan kedekatan secara fisik, semua itu terasa mustahil.
“Jarak,” pikir Dika. “Jarak ini selalu ada di antara kami.”
Pernah sekali Dika berpikir untuk mengakhiri percakapan ini, untuk berhenti berharap bahwa suatu hari mereka bisa bertemu. Namun, setiap kali perasaan itu muncul, Dika segera menepisnya. Maya, dengan segala kebaikan hatinya, telah mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya yang terasa sepi. Mengakhiri percakapan itu sama saja dengan melepaskan sebuah harapan yang selama ini ia pertahankan dalam diam.
Keesokan harinya, Maya dan Dika melanjutkan percakapan mereka. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Maya merasa gelisah. Ada perasaan cemas yang tak bisa ia jelaskan. Apakah Dika merasa hal yang sama? Apakah dia juga merasakan kekosongan yang mulai menyelubungi mereka berdua?
Ketika pesan dari Dika muncul, Maya merasa ada yang aneh. Tidak seperti biasanya, Dika hanya mengirimkan balasan singkat. “Aku sibuk, Maya. Kita bicara nanti saja, ya?”
Maya tidak tahu mengapa, tapi hatinya tiba-tiba terasa sesak. Sebelum bisa merespons, Dika sudah memutuskan percakapan itu. Maya menatap layar ponselnya dalam kebingungannya. Meskipun hanya sebaris kalimat singkat, namun itu sudah cukup membuat dunia maya yang selama ini mereka bangun terasa rapuh.
Hari-hari berikutnya, percakapan mereka semakin jarang. Maya merasa terjebak dalam kesunyian yang semakin dalam, dan semakin lama, semakin terasa berat untuk mempertahankan hubungan yang hanya ada di antara layar ponsel. Dika pun mulai berubah. Meskipun tetap berbicara dengan Maya, ada rasa yang hilang dalam suaranya—entah itu karena kelelahan, atau mungkin ada hal lain yang tidak ia utarakan.
Namun, meskipun ada keraguan yang mulai menyelimuti hubungan mereka, Maya tidak bisa melepaskan Dika. Setiap pesan yang ia terima, setiap kata yang ditulisnya, membawa harapan baru. Mungkin ini adalah cinta yang akan diuji oleh jarak, tetapi bagi Maya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan mudah, yang tumbuh meskipun terhalang oleh kesunyian yang semakin besar.
Dan meskipun perasaan rindu terus menggerogoti hati mereka, Maya tahu satu hal yang pasti—jarak ini mungkin memisahkan mereka, tetapi perasaan itu, cinta yang tumbuh dalam kesunyian ini, tidak akan pernah mati.*
Bab 2 Kenangan yang Tertinggal
Di bawah sinar matahari sore yang temaram, Asha duduk di tepi jendela kamarnya, menatap jalanan yang sepi di luar. Pikirannya melayang jauh, mengingat kembali hari-hari yang sudah lama berlalu, saat semuanya masih terasa begitu sederhana dan penuh kehangatan. Waktu itu, ia dan Farhan masih tinggal di kota yang sama, berbagi senyum, berbagi cerita. Mereka belum merasakan bagaimana beratnya jarak yang akan segera memisahkan.
Kenangan itu datang begitu jelas. Suatu sore yang cerah, Asha dan Farhan duduk di bangku taman dekat danau, tempat yang selalu mereka kunjungi setiap kali memiliki waktu luang. Udara segar, burung-burung bernyanyi di antara pepohonan, dan seolah dunia hanya milik mereka berdua. Farhan mengeluarkan gitar dari tas ranselnya, senyum manisnya terpancar saat jari-jarinya mulai menari di atas senar.
“Ini lagu favorit kita, kan?” kata Farhan, matanya yang tajam dan penuh perhatian tidak lepas dari Asha.
Asha mengangguk, senyumnya mengembang. Lagu itu adalah lagu pertama yang mereka dengar bersama, saat mereka pertama kali mengakui perasaan mereka satu sama lain. Musik itu menjadi simbol dari perjalanan cinta mereka, sebuah melodi yang selalu mengingatkan Asha pada Farhan, pada hari-hari penuh tawa dan kebahagiaan.
Asha menutup matanya sejenak, membiarkan kenangan itu melingkupi dirinya. Jarak yang sekarang memisahkan mereka seakan-akan tidak pernah ada. Ia merasa seolah berada di sana lagi, di taman itu, merasakan angin yang sejuk dan suara Farhan yang mengalun lembut melalui lagu.
Namun, kenyataan kembali menyentaknya. Farhan kini berada jauh di kota lain, berusaha mengejar impian dan karir yang sudah lama dia cita-citakan. Jarak yang memisahkan mereka semakin melebar seiring berjalannya waktu, dan meskipun mereka masih berusaha menjaga komunikasi, sesuatu yang tidak terucapkan selalu menggantung di antara mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, percakapan yang dulunya penuh tawa dan rencana kini sering berakhir dengan kesunyian, seolah-olah kata-kata tidak lagi cukup untuk mengisi kekosongan yang semakin dalam.
Asha menatap layar ponselnya, melihat pesan terakhir yang dikirimkan Farhan beberapa hari lalu. “Aku rindu, Asha. Aku harap kamu baik-baik saja.” Pesan singkat itu terasa begitu dalam, namun juga begitu jauh. Ada rasa rindu yang tak terungkapkan, ada rasa kehilangan yang tak bisa disembunyikan. Asha membalas dengan kata-kata yang lebih ringan, berusaha menutupi perasaannya, meskipun hatinya tahu bahwa itu tidak akan pernah cukup untuk mengurangi rindu yang ada.
Di sisi lain, Farhan juga merasakan hal yang sama. Ia tidak bisa melupakan kenangan-kenangan indah yang mereka ciptakan bersama. Kenangan itu selalu menghantui dirinya, menjadi bayangan yang tak bisa ia hindari, meskipun ia tahu bahwa masa lalu itu harus dilepaskan. Namun, bagaimana bisa ia melepaskan sesuatu yang begitu berharga?
Farhan teringat pada malam terakhir mereka bertemu, beberapa bulan yang lalu. Mereka berdiri di depan stasiun kereta, tangan mereka saling menggenggam erat, mencoba menguatkan satu sama lain. Asha menangis di pelukannya, tak ingin melepasnya. “Aku akan merindukanmu, Farhan,” katanya, suaranya terisak.
Farhan menatap Asha dalam-dalam, berusaha menenangkan gadis yang begitu berarti baginya. “Kita akan bertahan, Asha. Ini hanya sementara. Kita pasti akan bertemu lagi.” Namun, dalam hatinya, ia meragukan kata-katanya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa yakin ketika jarak sudah mulai mengukir luka-luka kecil yang semakin dalam?
Setiap hari, kenangan itu datang menghantui mereka berdua. Meski di tengah kesibukan masing-masing, mereka tidak bisa menahan diri untuk memikirkan satu sama lain. Asha sering terbangun di tengah malam, merindukan suara tawa Farhan, merindukan kehadirannya yang selalu ada. Ia sering membayangkan bagaimana Farhan akan merespons setiap cerita atau keluhannya, dan bagaimana ia bisa merasakan kehadirannya meski hanya lewat kata-kata.
Farhan juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia melihat foto-foto mereka berdua, hatinya serasa tersayat. Ia ingin berada di sana untuk mendukung Asha, untuk berbagi setiap langkah hidupnya, namun jarak memisahkan mereka, menambah berat beban di hatinya. Meskipun mereka masih berbicara lewat pesan teks dan video call, namun semuanya terasa berbeda. Semua terasa semakin hampa, dan jarak semakin terasa semakin dalam.
Namun, meskipun rindu dan kesedihan selalu menghantui, Asha dan Farhan tahu bahwa mereka harus terus berjalan. Mereka harus mencari cara untuk tetap menjaga hubungan ini, untuk terus menyimpan kenangan indah yang pernah mereka bagi. Mereka tahu, meskipun kenangan itu tertinggal di masa lalu, namun cinta mereka akan tetap hidup. Mungkin tidak di hadapan mereka, tetapi di dalam hati mereka, kenangan itu akan selalu ada, menjadi pengingat bahwa meskipun terpisah oleh jarak, hati mereka tetap terhubung.
Dengan sepi yang mengelilingi, mereka berdua terus merindukan satu sama lain, berpegang pada kenangan yang tertinggal. Dan dalam kesunyian itu, cinta mereka tumbuh, meskipun tidak bisa dilihat atau dirasakan dengan mata, namun terasa begitu kuat, begitu nyata.*
Bab 3 Harapan yang Terhubung
Jarak antara mereka bukan hanya soal kilometer, tetapi juga tentang perasaan yang tertahan dalam kesunyian. Setiap malam, setelah matahari tenggelam, Clara akan duduk di kursi dekat jendela, memandang langit malam yang sepi. Langit itu selalu tampak sama, namun tidak pernah terasa sama. Dulu, ia bisa berbicara dengan Ryan tentang apapun, tapi kini hanya ada bisu yang mengisi ruang di sekitarnya.
Ryan, yang kini berada di kota lain untuk mengejar mimpinya, mencoba untuk mengisi kekosongan yang ada, meskipun di antara mereka terdapat jarak yang begitu luas. Panggilan video yang sering mereka lakukan seakan menjadi penghibur sementara, tetapi tidak cukup untuk mengatasi rindu yang mendalam. Kadang, mereka berbicara tentang hal-hal sepele, hal-hal yang dulu tak pernah mereka anggap penting. Mereka berbicara tentang cuaca, tentang makanan yang mereka makan, atau tentang kejadian kecil yang terjadi di sekitar mereka. Semua itu hanya untuk mengisi ruang kosong yang ada, seolah ingin menjaga hubungan itu tetap hidup, meski dalam keterbatasan.
Suatu malam, Clara menatap layar ponselnya dengan harapan Ryan akan muncul di layar seperti biasa, namun sudah hampir satu jam sejak pesan terakhirnya. Ia menggigit bibirnya, merasakan rasa cemas yang menggerogoti. Dulu, Ryan selalu tepat waktu, selalu ada di saat ia membutuhkannya. Namun, belakangan ini, meskipun mereka masih sering berhubungan, ada sesuatu yang berubah. Ada jarak yang lebih dalam, bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga dalam hati mereka.
Ponsel itu akhirnya berbunyi, dan nama Ryan muncul di layar. Clara menghela napas lega, meskipun perasaan gelisah masih belum hilang sepenuhnya.
“Hey, Clara,” Ryan menyapa dengan suara yang terdengar sedikit lelah.
“Hey, Ryan. Apa kabar?” Clara mencoba tersenyum, meskipun perasaan rindu itu terasa begitu mendalam.
“Baik… hanya sedikit sibuk dengan pekerjaan,” jawab Ryan, terdengar ragu-ragu.
Clara bisa merasakannya. Ada jarak yang lebih dari sekadar fisik. Suasana dalam pembicaraan itu terasa datar, seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi kedekatan mereka. Clara merasa semakin terasing, seolah-olah ada tembok yang memisahkan mereka meskipun mereka masih bisa berbicara.
“Ryan,” Clara memutuskan untuk berbicara jujur, “Kenapa kita merasa semakin jauh belakangan ini? Apa ada yang salah?”
Ada keheningan sejenak. Ryan menatap layar dengan tatapan kosong, seolah mencerna setiap kata yang Clara ucapkan. Clara bisa merasakan ketegangan itu, ketidakpastian yang menyelimuti hati mereka.
“Aku… aku merasa… kita mulai kehilangan koneksi yang dulu ada,” ujar Ryan pelan, suaranya menggantung di udara. “Aku takut, Clara. Takut jika jarak ini akhirnya membuat kita terpisah selamanya.”
Clara merasa dadanya tertekan mendengar kata-kata itu. Rasa takut yang sama juga menghinggapinya. Bagaimana jika jarak ini benar-benar memisahkan mereka? Bagaimana jika cinta yang dulu begitu kuat, kini terkikis oleh waktu dan ruang?
“Ryan, aku juga takut,” jawab Clara dengan suara gemetar. “Tapi aku tahu kita masih bisa bertahan. Aku percaya kita bisa menghadapinya.”
Ryan terdiam, lalu ia menghela napas panjang. “Tapi bagaimana caranya, Clara? Kita tidak bisa terus seperti ini. Aku merasa kesepian meskipun kita sering berbicara. Kita berada di dunia yang berbeda sekarang, dan aku merasa kita mulai menjauh satu sama lain.”
Clara merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu. Namun, ia mencoba untuk tetap tegar. “Jarak ini memang sulit. Tapi aku yakin, selama kita masih saling berusaha, kita bisa menemukan cara untuk tetap terhubung. Kita hanya butuh waktu, Ryan. Kita butuh harapan.”
Ryan menatapnya dalam keheningan. Ada keraguan di matanya, tapi di balik itu, Clara bisa melihat secercah harapan. Mereka tidak harus bertemu setiap hari, tidak harus berada di tempat yang sama untuk merasakan cinta itu. Mereka hanya perlu saling mengingatkan bahwa meskipun jarak memisahkan, hati mereka tetap saling terhubung.
“Bagaimana jika kita mulai mengubah cara kita berkomunikasi?” Clara mengusulkan. “Mungkin kita bisa mencoba hal-hal baru untuk membuat kita merasa lebih dekat, meskipun terpisah oleh jarak.”
Ryan mengangguk perlahan, meskipun tampak ragu. “Aku suka idemu, Clara. Apa yang kamu pikirkan?”
Clara tersenyum, meskipun ada rasa cemas yang masih menggantung. “Kita bisa mulai dengan saling mengirimkan surat, atau mungkin membuat video singkat tentang apa yang kita lakukan setiap hari. Setidaknya kita bisa melihat sisi lain dari kehidupan masing-masing. Kita bisa mencoba untuk berbagi lebih banyak, meskipun hanya sedikit.”
Ryan terlihat sedikit lebih tenang. “Aku suka itu. Mungkin kita bisa juga mencoba lebih sering berbicara tentang perasaan kita, bukan hanya tentang hal-hal kecil. Aku ingin kita lebih terbuka, meskipun kita terpisah jauh.”
Clara merasa sedikit lega. Mereka mungkin belum sepenuhnya menyelesaikan masalah mereka, tapi mereka sudah memulai sesuatu. Sebuah usaha untuk tetap terhubung meski dunia mereka berbeda. Mungkin, cinta mereka tidak harus bergantung pada jarak fisik. Mungkin, selama ada harapan dan usaha, mereka masih bisa bertahan.
Saat panggilan video berakhir, Clara menatap langit malam dengan perasaan yang lebih ringan. Meskipun rindu itu masih ada, ia tahu bahwa selama mereka berdua berusaha, ada harapan untuk mereka. Cinta mereka, meskipun terbungkus dalam kesunyian jarak, masih bisa hidup. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya bertahan.*
Bab 4 Cinta dalam Kesunyian
Hari-hari terus berlalu, dan meskipun mereka saling berkomunikasi setiap hari, ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan lagi. Jarak antara mereka terasa semakin lebar seiring berjalannya waktu. Rindu yang dulu terpendam kini menjadi sebuah beban yang tak terelakkan. Aria duduk di depan layar laptopnya, menatap pesan teks yang belum dibalas oleh Clara. Terkadang, meskipun teknologi telah memungkinkan mereka untuk tetap terhubung, ada sesuatu yang hilang, sebuah kedekatan yang hanya bisa ditemukan dengan berada di dekat satu sama lain.
Clara sudah hampir seminggu tidak membalas pesan-pesan Aria dengan cepat seperti biasanya. Semua percakapan mereka terasa lebih datar. Tidak ada lagi gurauan manis, atau candaan kecil yang dulu selalu membuat mereka tertawa bersama. Aria merasa kesepian, bukan karena kekurangan komunikasi, tetapi karena dia merasa seperti ada tembok tak terlihat yang kini membatasi mereka. Mungkin itulah harga yang harus dibayar ketika jarak begitu besar, ketika sentuhan dan tatapan langsung tak bisa menjadi penguat hubungan.
Pagi itu, Aria memutuskan untuk menghubungi Clara. Dia merasa bahwa dia perlu mendengar suara Clara, merasakan kehadirannya meskipun hanya melalui telepon. Namun, ketika teleponnya tersambung, suara Clara terdengar lelah dan kosong.
“Hei, Clara. Apa kabar?” tanya Aria dengan suara yang berusaha terdengar ceria meskipun hatinya berat.
“Baik,” jawab Clara singkat, suaranya terdengar lemah, seolah kehilangan semangat.
“Ada apa? Sepertinya kamu capek banget.” Aria merasakan ada yang berbeda dengan suara Clara. Ketegangan itu membuatnya merasa cemas.
Clara terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku cuma… bingung, Aria. Aku merasa jauh, sangat jauh dari kamu. Seakan jarak ini… mulai mengubah segalanya.”
Hati Aria tersentak mendengar kata-kata itu. Clara selalu menjadi sosok yang kuat, yang mampu melewati segala kesulitan. Tetapi sekarang, dia terdengar rapuh. Aria merasa cemas, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap tegar.
“Aku mengerti,” jawab Aria pelan. “Tapi kita bisa melalui ini, Clara. Aku di sini, selalu ada untuk kamu.”
“Tapi kadang-kadang, rasanya aku sendirian. Aku mencoba untuk bertahan, mencoba untuk merasa dekat dengan kamu, tapi ada saat-saat seperti ini, saat-saat di mana aku merasa sangat kesepian. Aku merindukanmu, Aria. Aku ingin kamu di sini, di sampingku.”
Ada keheningan yang panjang setelah Clara mengucapkan kata-kata itu. Aria bisa merasakan betapa dalamnya perasaan Clara. Mereka berdua saling mencintai, tapi jarak ini terasa semakin memberatkan, seolah mengikis setiap detik yang mereka habiskan terpisah. Aria ingin memeluk Clara, memberi kenyamanan yang tidak bisa ia berikan melalui layar telepon.
“Clara…” Aria mulai, mencoba untuk memberi dukungan. “Aku tahu ini sulit. Aku merasakannya juga. Tapi kita sudah terlalu jauh untuk menyerah sekarang. Kita sudah melalui banyak hal bersama, dan aku tahu kita bisa melewati ini juga. Jarak ini hanya sementara, dan aku percaya bahwa kita bisa bertahan.”
Clara terdiam. Aria menunggu, berharap kata-katanya bisa memberi sedikit ketenangan pada Clara. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Clara berbicara lagi.
“Kadang, aku merasa seperti aku sedang menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi, atau apakah kita masih bisa bertahan begitu lama.”
Aria menatap layar laptopnya, berusaha untuk menenangkan perasaan hatinya yang bergejolak. Mungkin memang benar bahwa mereka tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi dia tidak bisa membiarkan Clara jatuh dalam kesepian itu.
“Clara, kamu tidak sendirian. Aku mungkin tidak bisa ada di sampingmu sekarang, tetapi aku selalu ada di sini, di hatimu. Setiap kali kamu merasa kesepian, ingatlah aku. Ingatlah bahwa aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah.”
Suasana hening kembali memenuhi ruang di antara mereka. Dalam kesunyian itu, mereka saling merasakan kehadiran masing-masing meskipun tidak bisa bertatap muka. Aria tahu bahwa kata-kata itu mungkin tidak cukup untuk menyembuhkan luka yang mereka rasakan, tetapi dia berusaha semampunya untuk meyakinkan Clara bahwa cinta mereka tetap kuat, meski terpisah oleh jarak yang begitu luas.
“Aria…” suara Clara terdengar lebih lembut, lebih tenang. “Aku mencintaimu juga. Mungkin aku hanya perlu waktu untuk menerima bahwa meskipun kita terpisah, cinta kita masih ada.”
“Ya, Clara. Kita akan terus berjuang. Cinta kita lebih kuat dari jarak ini.”
Mereka berbicara lebih lama malam itu, saling berbagi rasa, saling memberikan semangat. Namun, meskipun percakapan itu memberi sedikit ketenangan, Aria tahu bahwa ada banyak lagi yang harus mereka lalui. Jarak ini memang menyakitkan, tetapi cinta mereka akan menjadi sumber kekuatan mereka untuk bertahan. Meskipun dalam kesunyian jarak, mereka tahu bahwa mereka tidak benar-benar terpisah.*
Bab 5 Ujian Jarak
Jarak selalu menjadi bayangan yang mengintai setiap langkah mereka. Dalam hubungan jarak jauh, setiap pesan, setiap panggilan, dan setiap rencana pertemuan terasa seperti jembatan tipis yang hampir hancur oleh keraguan. Pada hari itu, seperti biasanya, Rani duduk di meja kayunya, menatap layar ponsel dengan hati yang berat. Pukul empat sore, ia sudah menunggu selama satu jam lebih untuk mendapatkan kabar dari Arka, kekasihnya yang kini berada ribuan kilometer jauhnya.
Kabar itu datang akhirnya, tetapi bukan dalam bentuk yang diharapkan. “Rani, aku rasa kita perlu bicara serius,” pesan itu muncul dengan cepat, tanpa basa-basi. Rani menatapnya dengan wajah kosong. Hati mulai berdebar, seperti gelombang yang berusaha menenggelamkan seluruh jiwa.
Rani merasakan sesuatu yang aneh. Tidak seperti biasanya, Arka tidak mengakhiri pesan-pesan mereka dengan kata-kata manis atau emotikon yang menghibur. Sebaliknya, kalimat itu seolah membawa beban berat yang tak bisa disembunyikan. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Rani membalas, mencoba menenangkan dirinya.
“Ada apa, Ka?” tanya Rani, meskipun suaranya terdengar lemah di telinga sendiri. Ia tahu, sesuatu sedang terjadi. Sesuatu yang lebih dari sekadar jarak fisik yang memisahkan mereka.
Beberapa menit kemudian, Arka mengirimkan suara panggilan video. Rani merasa lebih cemas, tetapi ia menerima panggilan itu dengan tangan gemetar. Arka muncul di layar dengan wajah yang pucat, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Di balik matanya yang biasanya penuh semangat, Rani bisa melihat ada keraguan yang dalam.
“Rani, aku… aku merasa sangat bingung akhir-akhir ini,” suara Arka terdengar ragu, namun penuh dengan kejujuran. “Aku tidak tahu apakah kita bisa terus bertahan seperti ini. Jarak ini… semakin lama semakin terasa berat.”
Rani terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk langsung ke dalam jantungnya. Selama ini, mereka sudah melalui berbagai tantangan bersama. Mereka saling mendukung meskipun terpisah oleh waktu dan tempat, tetapi kali ini, sesuatu terasa berbeda.
“Jadi kamu… merasa kita tidak bisa bertahan?” suara Rani serak. Ia berusaha keras menahan air mata yang sudah mengancam untuk jatuh. Perasaan rindu, kesepian, dan kebingungan kini bercampur menjadi satu. Arka adalah segalanya baginya, namun kenyataan itu terasa seperti retakan yang semakin melebar.
Arka menundukkan kepalanya, merasa cemas atas kata-katanya. “Aku tidak tahu. Rani, aku tidak ingin melukai kamu. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura seperti semuanya baik-baik saja. Jarak ini membuat kita semakin sulit untuk berkomunikasi. Kita saling rindu, kita saling mencintai, tapi itu saja tidak cukup.”
Rani merasakan dadanya sesak. Setiap kata Arka seperti mengalir seperti air yang tak bisa dihentikan. Ia merasa ditinggalkan, meskipun Arka ada di layar ponselnya. Mereka berdua telah menjalani hubungan ini dengan penuh harapan, tetapi kini harapan itu terasa seperti debu yang terbang tertiup angin.
“Aku juga merasa begitu, Ka,” Rani berkata pelan. “Tapi aku percaya kita bisa menghadapinya. Kita sudah bertahan sejauh ini, kenapa kita harus berhenti sekarang?”
Arka memandangnya dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan dalam kesunyian ini, Rani. Setiap hari aku merasa semakin jauh darimu. Setiap malam aku merasa semakin kosong. Aku merasa seperti aku kehilangan diri sendiri di tengah jarak ini.”
Rani merasa ada sebuah tembok yang terbentuk antara mereka, sebuah tembok yang tinggi dan tak terlihat, tetapi terasa begitu nyata. Ia ingin menggapai Arka, ingin memeluknya, tapi jarak itu menghalanginya. Sementara Arka tampak semakin terperangkap dalam perasaannya sendiri, Rani merasa seolah dirinya juga terperangkap di dalam ruang kosong yang tak ada ujungnya.
“Aku tidak ingin kehilanganmu, Ka,” Rani berkata dengan suara terbata. “Aku tidak ingin kita menyerah hanya karena jarak. Kita bisa menemukan cara untuk tetap dekat, untuk tetap saling menguatkan.”
Namun, Arka tampak ragu. “Aku tahu kamu mencintaiku, Rani, dan aku juga mencintaimu. Tapi terkadang, aku merasa seperti kita sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak bisa kita ubah. Aku takut, jika kita terus bertahan seperti ini, kita akan semakin terluka.”
Rani menatap Arka dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, hubungan mereka sedang diuji dengan cara yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Jarak bukan hanya tentang kilometer yang memisahkan, tetapi juga tentang perasaan yang semakin lama semakin terpinggirkan.
Namun, dalam hatinya, Rani tahu satu hal yang pasti. Mereka sudah melalui banyak hal bersama, dan ia tidak bisa menyerah begitu saja. Cinta mereka lebih kuat dari sekadar jarak.
“Kita akan menemukan cara, Ka,” Rani berkata dengan penuh keyakinan. “Aku tidak akan menyerah. Aku akan selalu berjuang untuk kita, untuk cinta kita.”
Arka terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Rani. Wajahnya mulai mengendur, dan perlahan-lahan senyum kecil muncul di bibirnya. “Aku juga akan berjuang, Rani. Kita akan berjuang bersama-sama.”
Meskipun perasaan kesepian dan ketakutan masih menghantui mereka berdua, ada satu hal yang mereka sadari. Cinta mereka bukan tentang jarak, melainkan tentang bagaimana mereka saling mendukung dan percaya pada satu sama lain. Meskipun ujian jarak terasa berat, mereka tahu bahwa selama mereka berjuang bersama, tidak ada yang bisa memisahkan mereka.
Setelah percakapan itu, meskipun rasa rindu semakin dalam, Rani merasa lebih tenang. Cinta mereka mungkin diuji oleh jarak, tetapi itu tidak akan pernah memutuskan ikatan yang telah mereka bangun. Mereka akan terus berjuang, meskipun dalam kesunyian jarak yang membentang.*
Bab 6 Menunggu dan Berharap
Hari-hari berlalu dengan lambat, seolah waktu tak pernah berjalan begitu berat. Cinta mereka, yang dulu begitu hidup, kini terasa jauh lebih sepi. Jarak yang memisahkan mereka bukan hanya menghalangi sentuhan fisik, tetapi juga membawa kesepian yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Setiap pagi, setelah membuka mata, mereka berdua kembali terjaga dalam dunia yang berbeda, namun dipenuhi dengan rindu yang sama. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka belajar untuk bertahan, untuk menunggu dan berharap, meskipun dunia seakan bergerak terlalu cepat, sementara mereka terperangkap dalam kebisuan yang tak terungkapkan.
Di sisi lain layar telepon, Elya menatap pesan yang dikirimkan oleh Rangga. Meskipun mereka sering berkomunikasi, meskipun kata-kata penuh cinta saling tertulis, ada sesuatu yang hilang—sentuhan suara, tawa bersama, dan tatapan yang dulu penuh arti. Elya merasa semakin terasing meskipun setiap hari mereka berbicara. Setiap kata yang diketik terasa hampa, tidak cukup untuk menghapus rasa kosong yang menghantui hatinya.
“Rangga, bagaimana caramu menghadapinya?” pikir Elya, menatap layar telepon yang kini mati. Ia merindukan suara lelaki itu, merindukan kebersamaan yang pernah ada di dunia nyata mereka. Keinginan untuk memeluknya, untuk berada di dekatnya, semakin membesar. Namun, jarak menjadi penghalang yang tak mudah untuk diterobos. Tidak ada cara yang bisa menghilangkan kerinduan yang semakin dalam, selain dengan menunggu dan berharap.
Sementara itu, Rangga merasa tidak jauh berbeda. Ia mengalihkan pandangannya dari jendela, melihat hujan yang turun perlahan di luar. Setiap tetesan air seolah mengingatkan pada setiap kenangan yang mereka habiskan bersama. Dulu, mereka bisa berjalan di bawah hujan, bercanda, dan tertawa, tetapi kini hanya hujan yang menemani malamnya. Ia tidak tahu kapan semua ini akan berakhir, atau apakah hubungan mereka akan bertahan. Namun, satu hal yang ia yakini, ia tak bisa berhenti berharap. Harapan adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan.
“Mungkin ini hanya fase,” pikir Rangga, mencoba menenangkan dirinya. “Mungkin ini bagian dari ujian yang harus kami lalui. Aku tidak bisa menyerah begitu saja.”
Namun, meskipun kata-kata itu menghibur dirinya, hatinya tetap merasakan kekosongan. Setiap kali ia melihat ponselnya, berharap ada pesan dari Elya, ia merasa cemas. Tidak ada pesan yang datang, hanya sepi yang semakin mencekam. Mereka berdua sudah mulai merasa seperti dua bintang yang terpisah jauh di langit, bersinar terang namun tak pernah bisa bertemu.
Pada suatu malam, saat langit tampak lebih gelap dari biasanya, Elya memutuskan untuk mengirimkan pesan lagi. Ia tahu bahwa ia mungkin terlalu sering mengirim pesan, tetapi malam itu rasanya berbeda. Ia ingin mendengar kabar dari Rangga, ingin merasa bahwa ada sesuatu yang nyata dalam hubungan ini.
“Rangga,” tulis Elya, “aku merindukanmu. Aku tahu kita sudah saling berusaha, tapi rasanya semakin sulit untuk bertahan dalam kesunyian ini. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu merasa seperti aku? Apakah kita masih bisa melawan jarak ini bersama?”
Pesan itu dikirimkan, dan Elya menatap layar ponselnya dengan cemas. Apakah Rangga akan membalasnya? Apakah dia juga merasakan hal yang sama? Beberapa menit terasa seperti berjam-jam. Elya memutar gelang di tangannya, mencoba menenangkan diri, tetapi hatinya berdebar-debar.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa lama, sebuah balasan muncul. Elya memejamkan mata sejenak sebelum membuka pesan itu.
“Sayang,” tulis Rangga, “aku juga merindukanmu. Setiap hari tanpa kamu terasa kosong, dan aku tak tahu bagaimana caranya untuk mengisi kekosongan itu. Tapi aku berjanji, aku akan bertahan. Kita harus bertahan. Aku tahu ini sulit, tapi aku percaya kita bisa melalui ini bersama.”
Elya menatap kata-kata itu, merasakan kehangatan yang perlahan mengalir di dalam dirinya. Ada sesuatu yang menenangkan hatinya, meskipun jarak masih memisahkan mereka. Pesan itu bukan hanya sebuah kata-kata, tetapi juga janji. Sebuah janji bahwa meskipun mereka terpisah, mereka masih bersama dalam perjuangan ini.
Sejak malam itu, meskipun mereka tetap terpisah oleh jarak, Elya dan Rangga merasa seolah ada sesuatu yang lebih kuat mengikat mereka. Mereka tidak lagi hanya menunggu tanpa arah, tetapi menunggu dengan harapan yang jelas. Setiap pesan, setiap panggilan, dan setiap kata yang terucap menjadi pengingat bahwa cinta mereka masih hidup, meskipun terbungkus dalam kesunyian jarak.
Elya kembali merasakan bahwa meskipun dunia di luar sana terus berjalan, mereka berdua bisa bertahan. Mungkin kesendirian ini tidak akan berlangsung selamanya, dan meskipun hari-hari terasa lambat, ada keyakinan dalam hatinya bahwa suatu saat nanti, jarak ini akan teratasi.
Mereka terus berharap, terus menunggu, dan terus percaya bahwa cinta mereka tidak akan pernah pudar, meskipun terpisah ribuan mil. Dalam kesunyian jarak, mereka menemukan kekuatan untuk bertahan dan memperjuangkan cinta yang tak tampak, namun sangat nyata di dalam hati mereka.*
Bab 7 Titik Temu
Malam itu, langit tampak lebih gelap dari biasanya. Hujan rintik-rintik menambah kesunyian di sekelilingnya, namun di dalam kamar, hanya ada suara detak jantung yang berdebar kencang. Hana duduk di sudut kamar, matanya menatap layar ponsel yang tergeletak di atas meja. Dia sudah mencoba menghubungi Arga beberapa kali, namun tidak ada balasan. Hatinya mulai diliputi kecemasan, perasaan yang sudah lama terpendam di dalam dirinya—kecemasan akan hubungan mereka yang semakin rapuh, semakin jauh.
Sudah hampir dua tahun sejak mereka memulai hubungan ini. Seperti halnya jarak yang memisahkan mereka, waktu juga mulai membuat hubungan itu terasa begitu berat. Keinginan untuk bertemu, merasakan kehadiran satu sama lain, semakin menggelora dalam dada Hana. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin banyak rintangan yang datang, semakin banyak ketegangan yang tak terucapkan.
“Hana, sabar. Semua ini hanya sementara,” ujarnya pada diri sendiri, berusaha menghibur hatinya yang kian rapuh. Dia mengingat percakapan terakhir mereka di video call minggu lalu, di mana Arga berjanji untuk mengunjungi dirinya dalam waktu dekat. Namun, sejak itu, tak ada kabar yang datang. Jarak ini semakin terasa semakin sulit, dan kesepian mulai merayap masuk ke dalam hidupnya.
Dengan hati yang berat, Hana memutuskan untuk menulis pesan panjang kepada Arga, menumpahkan segala perasaan yang selama ini ia simpan. Ia merasa bahwa sudah saatnya untuk mengungkapkan isi hatinya yang sudah menumpuk. Ia tahu bahwa jarak memang memisahkan mereka, tetapi perasaan yang semakin tumbuh di dalam dirinya tak bisa lagi dibiarkan tenggelam begitu saja.
“Arga, aku ingin kita berbicara. Aku tahu jarak ini bukanlah hal yang mudah untuk kita berdua. Tapi aku merasa ada sesuatu yang mulai hilang. Aku takut, aku takut jika kita terus begini, kita akan semakin terpisah. Aku ingin tahu apakah kamu masih merasa sama. Aku ingin tahu apakah kamu masih berjuang seperti aku,” tulis Hana dengan penuh ketulusan.
Pesan itu terlanjur terkirim, namun saat ia menunggu balasan, perasaan gelisah semakin menghampirinya. Hana tak tahu apa yang terjadi, apakah Arga akan membacanya atau tidak. Saat itulah, sebuah notifikasi masuk—sebuah panggilan video dari Arga. Hana terdiam, matanya terbelalak. Ia segera menerima panggilan itu dengan tangan gemetar.
Layar ponsel menampilkan wajah Arga yang sedikit pucat, seakan terlihat lelah. Matanya yang biasanya cerah kini tampak redup, namun senyuman kecil di bibirnya tetap muncul, meskipun tak sempurna. Hana merasakan campuran perasaan yang sulit diungkapkan—rindu yang begitu mendalam, kekhawatiran yang tak terkatakan.
“Hana,” suara Arga terdengar agak serak. “Aku minta maaf. Aku tahu sudah lama aku tidak menghubungimu. Aku sedang… berjuang dengan banyak hal. Aku takut kalau aku semakin lama tidak menghubungimu, hubungan kita bisa semakin jauh. Aku terlalu terfokus pada segala hal lain sampai aku lupa untuk menjaga kita.”
Hana terdiam. Mendengar kata-kata Arga membuat hatinya terasa teriris, tetapi sekaligus menenangkan. Ia menyadari bahwa mereka berdua sama-sama merasa tertekan oleh jarak yang terus memisahkan. Mereka berdua sama-sama berjuang dalam diam, tetapi kini mereka bisa saling berbagi.
“Aku juga merasa seperti itu,” jawab Hana, suaranya hampir berbisik. “Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain, Arga. Aku merasa semakin jauh, meskipun kita terus berkomunikasi. Jarak ini membuat aku meragukan banyak hal. Aku rindu melihatmu, merasakan kehadiranmu di sampingku.”
Arga menghela napas, matanya kini lebih tajam menatap layar ponsel. “Aku juga merindukanmu, Hana. Aku tahu, jarak ini membuat kita semakin terpisah, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku masih berjuang untuk kita. Aku akan datang menemuimu, aku janji.”
Kata-kata itu seperti angin segar yang menyentuh hati Hana. Sebuah janji yang menumbuhkan kembali harapan yang hampir pudar. Meskipun Arga tidak bisa berada di sana saat ini, janji itu memberikan kekuatan untuk terus bertahan. Jarak tidak lagi menjadi hambatan, tetapi menjadi sebuah ujian yang harus mereka lewati bersama.
“Hana,” Arga melanjutkan, suaranya kini lebih mantap. “Kita mungkin terpisah oleh jarak, tetapi hati kita tetap terhubung. Aku tahu, kita bisa melewati ini. Kita tidak akan menyerah. Aku percaya, suatu hari kita akan menemukan cara untuk selalu bersama.”
Air mata mulai mengalir di wajah Hana. Rasa rindu yang begitu besar kini bercampur dengan kebahagiaan yang mendalam. Dia tahu, meskipun jarak ini tidak akan pernah hilang sepenuhnya, cinta mereka akan selalu menguatkan mereka untuk terus bertahan.
“Terima kasih, Arga,” jawab Hana, suaranya dipenuhi dengan haru. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan tanpa mendengarmu mengatakan itu. Aku percaya kita bisa melewati ini bersama.”
Mereka berbicara lebih lama malam itu, berbagi segala perasaan yang telah lama terkunci. Jarak memang masih memisahkan mereka, tetapi kini mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya. Dalam keheningan malam yang menyelimuti mereka, Hana dan Arga tahu bahwa mereka telah menemukan titik temu—tempat di mana cinta dan harapan bertemu, memberikan kekuatan untuk terus melangkah meskipun terpisah oleh jarak.
Dan dari titik itu, mereka tahu bahwa meskipun kesunyian jarak masih ada, cinta mereka akan selalu menjadi penghubung yang tak terputuskan.***
—————–THE END————–