Daftar Isi
Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
Momen pertama mereka bertemu, suasana yang menggambarkan ketertarikan pertama.
Mungkin ada perbedaan latar belakang atau kesibukan yang menghalangi mereka untuk lebih dekat.
Mereka saling merasa nyaman meski baru saja bertemu, namun mereka sadar bahwa hubungan ini akan membutuhkan usaha besar.
Malam itu, suasana di kafe kecil di pinggiran kota terasa berbeda. Fahri, seorang pemuda berusia 27 tahun yang sudah cukup lama tinggal di kota besar, datang ke kafe itu bukan untuk mencari hiburan, tapi untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan yang menunggu. Dia memilih meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian, dan mulai membuka laptopnya. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, tapi dia tidak ingin menghiraukannya. Hidupnya memang penuh dengan rutinitas yang monoton, namun malam ini entah mengapa, segalanya terasa sedikit berbeda.
Kafe itu memang bukan tempat yang asing baginya. Di sanalah dia sering menghabiskan waktu untuk menyendiri dan merenung setelah seharian penuh bekerja di kantor. Namun, malam ini kafe tersebut terasa lebih hidup dari biasanya. Musik jazz yang mengalun lembut, aroma kopi yang kuat, dan obrolan ringan yang terdengar dari meja-meja lain seolah membawa suasana hangat dan nyaman.
Nina, di sisi lain, adalah seorang perempuan muda yang sedang berlibur singkat dari rutinitas sehari-harinya. Ia baru saja kembali dari perjalanan panjang ke luar negeri dan memutuskan untuk mengunjungi kafe ini, tempat yang dulu sering dia datangi ketika masih tinggal di kota ini. Tidak ada yang istimewa dengan kafe itu baginya—selain kenyamanan yang ditawarkan oleh suasana yang tenang dan kopi yang selalu pas di lidah. Tetapi malam itu, kafe itu seolah menyimpan misteri.
Nina masuk dengan langkah tenang, mengenakan jaket biru yang hangat dan sepatu bot coklat yang terlihat nyaman. Matanya yang cokelat jernih menatap sekeliling, mencari tempat duduk yang nyaman untuk merenung sejenak. Dan kemudian, matanya bertemu dengan Fahri. Tidak ada yang mencolok dari pria itu, hanya seorang lelaki biasa yang sedang sibuk dengan laptopnya. Namun, entah mengapa, Nina merasa ada sesuatu yang menarik dirinya untuk duduk tidak jauh darinya.
Dengan hati yang sedikit ragu, Nina memilih meja di sudut yang berdekatan dengan meja Fahri. Ia menatap layar ponselnya sejenak, mencoba meresapi ketenangan yang datang dengan kesendirian di kafe tersebut. Fahri, yang awalnya tidak menyadari ada seseorang yang duduk dekat dengannya, akhirnya mengangkat kepalanya. Dan ketika matanya bertemu dengan mata Nina, dunia seolah terhenti sejenak.
Nina tersenyum kecil. Fahri, meskipun merasa sedikit canggung, membalas senyuman itu dengan ringan. Ada ketegangan yang aneh di antara mereka, meskipun tidak ada alasan yang jelas mengapa itu ada. Mereka berdua, seolah merasa ada sesuatu yang belum terucapkan, namun mereka tidak tahu apa itu.
Beberapa menit berlalu dengan kesunyian yang nyaman. Nina mengambil kopi pesanannya, sementara Fahri kembali memusatkan perhatian pada layar laptopnya. Namun, tidak lama kemudian, suara Nina memecah kesunyian.
Nina (dengan suara lembut):
“Kamu sering datang ke sini?”
Fahri mengangkat alis, sedikit terkejut, namun tersenyum. “Ya, hampir setiap malam. Tempat ini cukup tenang untuk berpikir.”
Nina (menyeringai kecil):
“Aku juga suka tempat ini. Ada sesuatu yang menenangkan. Tapi, aku rasa ini pertama kalinya aku datang di malam seperti ini.”
Fahri merasa ada kehangatan dalam kata-kata Nina yang membuatnya merasa lebih nyaman. Percakapan itu berkembang begitu alami, seperti dua orang yang sudah lama saling kenal, meskipun sebenarnya baru bertemu untuk pertama kalinya.
Fahri:
“Apa yang membuatmu memilih tempat ini? Aku rasa ini bukan tempat yang biasa dikunjungi banyak orang.”
Nina (tersenyum):
“Mungkin karena aku butuh sesuatu yang sederhana. Aku baru saja kembali dari perjalanan panjang, dan tempat ini… terasa seperti rumah.”
Fahri melihat ke mata Nina yang penuh cerita, seolah ingin menceritakan lebih banyak. Meskipun baru bertemu, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan, sebuah ikatan yang seolah sudah terjalin meskipun baru saja mereka bertatap muka.
Fahri (dengan nada hati-hati):
“Aku bisa mengerti. Terkadang, yang kita butuhkan hanya tempat untuk kembali dan mengingatkan kita akan siapa kita.”
Mereka melanjutkan obrolan mereka, membicarakan hal-hal ringan: pekerjaan, perjalanan, dan kehidupan di kota besar yang selalu sibuk. Namun, dalam percakapan itu, ada kehangatan yang perlahan tumbuh, seolah-olah mereka tidak lagi hanya dua orang asing di kafe yang sama. Mereka mulai berbicara tentang cita-cita, mimpi, dan bahkan ketakutan-ketakutan mereka. Sesuatu yang tidak biasa terjadi, mengingat mereka baru saja bertemu.
Nina (dengan sedikit tawa):
“Aku rasa aku terlalu banyak berbicara. Maaf kalau aku membuatmu bosan.”
Fahri tertawa, merasa lebih nyaman. “Tidak, aku justru senang mendengarnya. Kadang kita perlu berbicara dengan seseorang yang tidak kita kenal, agar bisa lebih jujur.”
Nina (tersenyum lebar):
“Mungkin kamu benar. Aku merasa aneh, tapi juga nyaman. Seperti… sudah lama kenal, padahal baru saja bertemu.”
Fahri menatap Nina, merasakan hal yang sama. Ada rasa kebersamaan yang tumbuh begitu cepat, seolah waktu mengalir dengan cara yang berbeda ketika mereka bersama. Percakapan itu, meskipun tidak ada yang luar biasa, terasa sangat berarti.
Kafe itu semakin sepi, hanya beberapa orang yang masih duduk menikmati kopi mereka. Malam semakin larut, dan waktu seolah berjalan lebih lambat. Fahri melihat jam tangannya—sudah hampir tengah malam, namun dia tidak merasa lelah. Tidak seperti biasanya, malam ini ia merasa ingin berbicara lebih banyak. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk terus berbicara dengan Nina.
Fahri (dengan serius):
“Aku merasa, seperti ada sesuatu yang akan berubah malam ini. Entah kenapa, aku merasa hidupku mungkin akan sedikit berbeda setelah percakapan ini.”
Nina menatap Fahri, matanya menyiratkan rasa yang sama. Tanpa kata-kata lebih, mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar, sebuah ikatan yang sedang terbentuk tanpa mereka sadari.
Nina:
“Aku juga merasakannya, Fahri. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru, atau mungkin… sesuatu yang tak terduga.”
Fahri tersenyum, merasakan kedalaman dalam setiap kata Nina. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi mereka sadar bahwa malam itu, mereka telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. Mungkin cinta, mungkin hanya sebuah koneksi yang mendalam, tetapi mereka tahu bahwa pertemuan ini akan selalu dikenang sebagai momen yang tak terlupakan dalam hidup mereka.
Saat mereka meninggalkan kafe itu, mereka berdua merasa ringan. Seperti ada sesuatu yang baru yang telah dimulai, sesuatu yang akan menguji mereka, namun juga memberi harapan untuk masa depan.
Malam itu berakhir, tetapi perasaan yang mereka rasakan tak mudah dilupakan. Fahri dan Nina berpisah dengan senyuman, masing-masing merasakan bahwa waktu yang mereka habiskan bersama, meski singkat, telah mengubah sesuatu dalam diri mereka. Mereka mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti: mereka tak akan pernah melupakan pertemuan yang tak terduga ini.
Suasana di kafe itu semakin larut, namun kekhususan pertemuan ini seolah membekukan waktu. Fahri dan Nina tak lagi berbicara dengan kecanggungan yang awalnya terasa. Mereka mulai berbagi cerita tentang kehidupan mereka, masing-masing dengan pengalaman dan mimpi yang berbeda. Nina menceritakan tentang perjalanannya keliling Eropa, tentang kota-kota yang ia kunjungi, dan bagaimana hal itu mengubah cara pandangnya terhadap hidup.
Nina (dengan semangat):
“Aku pergi ke Paris, dan ada satu momen yang benar-benar mengesankan. Di sana, di bawah Menara Eiffel, aku merasa seakan dunia ini kecil sekali. Semua yang aku pikirkan sebelumnya tentang hidup, tentang apa yang harus aku lakukan, seolah tak lagi penting.”
Fahri mengangguk, mendengarkan dengan seksama. Ia belum pernah pergi ke Eropa, tetapi kata-kata Nina membuatnya seolah bisa merasakannya. Ada sebuah kerinduan dalam suara Nina—kerinduan untuk mencari makna hidup, untuk menemukan kebahagiaan yang mungkin selama ini terabaikan.
Fahri (tersenyum tipis):
“Aku pernah merasa begitu. Terkadang, aku juga merasa terjebak dalam rutinitas yang sama, seolah waktu terus berputar dan aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku inginkan.”
Mata Nina menatapnya tajam, seperti ingin memahami lebih jauh. Ia merasakan kedalaman dalam kata-kata Fahri. Di sinilah titik ketertarikan mereka mulai tumbuh, bukan hanya karena perasaan fisik, tetapi karena mereka merasa ada semacam kekosongan yang sama dalam hidup mereka yang mereka coba isi dengan mencari makna.
Nina (dengan nada penasaran):
“Apa yang sebenarnya kamu inginkan dari hidupmu, Fahri? Apa yang membuatmu merasa puas?”
Fahri terdiam sesaat, seolah mencari jawabannya di dalam dirinya. Ia menatap secangkir kopi yang hampir habis, mengangkatnya, namun kemudian menurunkannya lagi tanpa meminumnya. Ia merasa bingung. Selama ini, ia terjebak dalam rutinitas kerja yang begitu padat, hingga jarang bertanya pada dirinya sendiri tentang tujuan hidupnya.
Fahri (akhirnya berkata dengan pelan):
“Aku belum tahu pasti. Mungkin itu alasan kenapa aku merasa kesepian meskipun dikelilingi banyak orang. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku, tapi aku tak tahu apa.”
Nina (tersenyum bijak):
“Aku mengerti. Terkadang kita hanya perlu waktu untuk merenung, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Tapi satu hal yang pasti, kita tidak bisa menemukan itu dengan terjebak di tempat yang sama.”
Kata-kata Nina seperti sebuah petunjuk, seolah mengingatkan Fahri bahwa hidupnya tidak hanya tentang pekerjaan dan rutinitas yang membosankan. Mungkin ia perlu membuka diri, melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan mempercayai bahwa pertemuan malam ini bisa menjadi awal dari sebuah perubahan besar.
Semakin lama mereka berbicara, semakin banyak yang mereka ungkapkan, namun ada beberapa hal yang masih terpendam. Fahri merasa seperti ada sesuatu yang tidak boleh dia katakan, sesuatu yang terpendam dalam dirinya yang membuatnya merasa cemas. Mungkin perasaan yang ia rasakan kepada Nina sudah mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam. Namun, dia tidak ingin terburu-buru, apalagi setelah mengenal Nina hanya dalam beberapa jam saja.
Namun, di sisi lain, Nina juga merasakan hal yang sama. Setiap senyuman Fahri, setiap kata yang keluar dari mulutnya, semakin membuat hatinya berdebar. Ada sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pria ini, meskipun ia tahu bahwa jarak waktu dan ruang bisa menghalangi mereka. Ia tidak tahu mengapa, tetapi sesuatu dalam dirinya merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—ini adalah awal dari sebuah kisah yang tak terduga.
Nina (mendekatkan wajahnya sedikit, seolah serius):
“Fahri, ada satu hal yang aku ingin tahu. Kamu bilang tadi kalau kamu merasa terjebak dalam rutinitas. Tapi, bagaimana kalau rutinitas itu sebenarnya yang memberi kita kestabilan? Apa yang membuatmu ingin keluar dari zona nyamanmu?”
Fahri terdiam sejenak, memikirkan pertanyaan Nina. Ia menatap mata Nina dengan serius, merasa bahwa ia tidak bisa lagi menahan perasaan yang menggelora dalam dirinya. Satu perasaan yang ia simpan dalam hati sejak pertama kali melihatnya. Ada sesuatu dalam diri Nina yang memicu perasaan itu, membuatnya ingin mengejar sesuatu yang lebih besar daripada sekadar rutinitas hidupnya.
Fahri (dengan sedikit keraguan):
“Mungkin… aku ingin merasa lebih hidup. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang, dan aku harus menemukannya. Tapi aku tidak tahu apa.”
Nina (menatapnya dalam-dalam):
“Mungkin, jawabannya ada di luar sana. Mungkin kamu harus mulai berani melangkah keluar dari zona nyaman itu. Menemukan kehidupan yang lebih berarti.”
Ada keheningan sejenak di antara mereka, tetapi bukan keheningan yang canggung. Itu adalah keheningan yang penuh dengan pengertian. Mereka berdua tahu bahwa ada hal besar yang baru saja dimulai, meskipun mereka tidak tahu arah pasti pertemuan ini akan mengarah kemana. Tapi satu hal yang pasti, keduanya merasa seperti hidup mereka telah berubah dalam waktu yang sangat singkat.
Ketika percakapan mereka mulai berakhir, Fahri dan Nina merasa seperti ada yang belum selesai, ada yang belum mereka sampaikan. Meskipun mereka baru saja bertemu, perasaan itu begitu kuat, seolah-olah mereka sudah mengenal satu sama lain selama bertahun-tahun. Ketika tiba saatnya untuk berpisah, keduanya merasa cemas dan ragu—mungkin perasaan ini hanya sesaat, tetapi mungkin juga ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.
Fahri (tersenyum canggung, namun tulus):
“Aku senang bisa berbicara denganmu malam ini, Nina. Rasanya seperti… sudah lama kita kenal.”
Nina (tersenyum lembut):
“Aku juga. Mungkin kita bisa bertemu lagi, siapa tahu.”
Mereka berdua saling menatap, dan untuk beberapa detik, dunia seolah berhenti berputar. Kemudian, tanpa kata-kata lebih, mereka berpisah. Fahri berjalan menuju pintu keluar, sementara Nina duduk beberapa detik lagi di mejanya, masih terhanyut dalam perasaan yang baru saja ia rasakan.
Saat pintu kafe menutup di belakang mereka, mereka tahu bahwa mereka telah menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari yang mereka bayangkan. Dan meskipun malam itu berakhir, perasaan mereka terhadap satu sama lain tidak akan mudah memudar.*
Bab 2: Kenangan yang Membekas
Fahri dan Nina semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, menjalin komunikasi yang intens dan saling mengenal lebih dalam. Momen-momen indah yang mereka lewati bersama menjadi kenangan yang tidak akan terlupakan, namun ada juga momen-momen kecil yang menumbuhkan rasa cemas karena mereka tahu bahwa cinta mereka akan segera diuji oleh jarak dan waktu.
Meskipun hubungan semakin dekat, mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak akan bisa selalu bersama karena kesibukan atau mungkin pekerjaan yang memisahkan mereka.
Apakah mereka bisa tetap menjaga keutuhan hubungan meski terpisah oleh jarak?
Setelah pertemuan yang tak terlupakan di kafe, hidup Fahri dan Nina berjalan seperti biasa. Fahri kembali ke rutinitas hariannya, bekerja di kantor, menghadapi tumpukan pekerjaan, dan berusaha menenangkan pikirannya yang mulai tercabik oleh kenangan akan Nina. Namun, setiap kali dia melangkah keluar dari gedung kantornya, hatinya selalu tersentuh oleh bayangan senyuman Nina, pandangan matanya yang penuh arti, dan suara lembutnya yang seolah-olah terus menggema di telinganya.
Fahri mencoba untuk bertahan dalam kesibukannya, namun di setiap langkah yang dia ambil, kenangan tentang Nina tak bisa dia hindari. Kadang-kadang, ia merasa seperti kembali ke malam itu—di kafe yang sepi, berbicara tentang kehidupan, tentang mimpi dan ketakutan mereka, dan tentang segala hal yang baru saja mereka ungkapkan dalam percakapan singkat yang terasa begitu mendalam.
Fahri (berbicara pada diri sendiri):
“Apakah ini hanya perasaan sesaat? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu? Kenapa pertemuan ini begitu membekas?”
Fahri mencoba meyakinkan dirinya bahwa pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka. Tapi saat malam tiba, perasaan itu kembali. Ia membuka kembali aplikasi pesan di ponselnya, menatap nama Nina yang masih tertera di daftar kontaknya. Hati kecilnya mengatakan untuk mengirim pesan, tetapi keraguan menahan langkahnya. Apa yang akan dia katakan? Apa yang bisa mereka bicarakan setelah semua yang mereka ungkapkan?
Di sisi lain, Nina juga tak dapat mengabaikan perasaan yang sama. Setiap kali dia melihat pesan dari teman-temannya, entah kenapa hatinya selalu teringat pada Fahri. Ia tidak tahu mengapa, tetapi saat mereka berbicara, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang jauh lebih dalam yang menghubungkan mereka—sesuatu yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Nina (berbicara pada diri sendiri):
“Mungkin ini hanya rasa rindu, bukan cinta. Aku baru bertemu dia. Tapi kenapa aku merasa dia seperti sudah lama ada dalam hidupku?”
Setelah beberapa hari, keduanya akhirnya menghubungi satu sama lain melalui pesan singkat, berbagi cerita tentang hari-hari mereka, sedikit lebih mendalam tentang pekerjaan mereka dan harapan-harapan yang tersisa di hati masing-masing.
Hari-hari berlalu, dan percakapan antara Fahri dan Nina semakin intens. Mereka mulai berbicara lebih sering, bahkan tanpa ada topik yang khusus. Percakapan ringan yang awalnya hanya tentang pekerjaan dan cuaca, berkembang menjadi pembicaraan tentang kenangan masa lalu, tentang keluarga, dan bahkan tentang hal-hal yang paling pribadi. Fahri merasa nyaman dengan Nina. Mungkin ini adalah perasaan yang selama ini ia cari, seseorang yang bisa diajak berbicara tanpa perlu berpura-pura. Begitu juga dengan Nina. Dia merasa Fahri adalah seseorang yang bisa dia percayai, seseorang yang tidak hanya mendengarkan, tetapi juga mengerti.
Namun, semakin dalam perasaan mereka, semakin banyak juga keraguan yang muncul. Jarak antara mereka yang begitu jauh, tuntutan pekerjaan, dan ketidakpastian masa depan membuat mereka mulai meragukan apakah perasaan ini bisa bertahan dalam waktu yang lama. Mereka sadar bahwa hubungan ini akan diuji—bukan hanya oleh jarak, tetapi juga oleh perbedaan tujuan hidup yang mungkin muncul.
Fahri (menulis pesan):
“Nina, aku tidak tahu apakah aku bisa menjaga perasaan ini. Jarak kita begitu jauh, dan aku takut aku tidak bisa memberikan apa yang kamu butuhkan.”
Nina (membalas):
“Aku juga merasa hal yang sama, Fahri. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus berhenti begitu saja hanya karena jarak?”
Percakapan ini berlangsung lama, dan keduanya merasa ragu, tetapi mereka tidak bisa begitu saja melepaskan perasaan yang mulai tumbuh ini. Mereka menyadari bahwa meskipun pertemuan pertama mereka singkat, tetapi kenangan yang tercipta antara mereka begitu kuat. Setiap pesan yang mereka kirimkan menjadi penting, setiap percakapan terasa seperti kesempatan untuk lebih mengenal satu sama lain.
Seiring berjalannya waktu, Fahri dan Nina mulai merasakan bahwa meskipun mereka semakin dekat dalam hati, kenyataan tetap menghalangi mereka. Jarak yang memisahkan mereka semakin terasa. Kehidupan mereka kembali terjebak dalam rutinitas yang monoton. Fahri sering kali terjebak dalam pertemuan bisnis yang tak ada habisnya, sementara Nina berjuang dengan pekerjaannya yang membuatnya semakin sibuk.
Suatu malam, setelah sekian lama tidak bertemu secara langsung, mereka akhirnya berencana untuk bertemu kembali. Lokasi yang dipilih adalah sebuah taman kota yang sering mereka kunjungi ketika mereka masih bertemu sebelumnya. Di sana, mereka duduk di bangku yang sama tempat pertama kali mereka menghabiskan waktu bersama.
Nina (melihat ke arah Fahri, dengan mata sedikit berkaca-kaca):
“Fahri, aku selalu ingat malam itu. Bagaimana kita berbicara tentang segala hal, tentang impian kita, tentang kenangan yang bahkan belum terjadi.”
Fahri (dengan senyuman lembut):
“Aku juga. Malam itu terasa begitu nyata. Tapi sekarang… aku merasa seperti semuanya semakin jauh. Ada begitu banyak hal yang harus kita hadapi, dan aku tidak tahu apakah kita bisa melewatinya.”
Kenangan itu kembali menghantui mereka. Fahri dan Nina sama-sama merasakan kehangatan pertemuan pertama mereka, namun semakin lama, kenyataan yang keras mulai membayangi perasaan mereka. Mereka ingin lebih, tetapi apakah itu cukup untuk mengalahkan jarak yang memisahkan?
Keputusan untuk melanjutkan hubungan mereka semakin rumit. Mereka berdua tahu bahwa perasaan yang mereka miliki tidak bisa diabaikan begitu saja, tetapi kenyataan hidup mulai menggoyahkan tekad mereka. Fahri mulai merasa khawatir bahwa hubungan ini hanya akan menambah beban dalam hidupnya, sementara Nina mulai merasa takut bahwa cintanya mungkin hanya akan berakhir dengan luka. Apakah mereka akan terus bertahan dengan kenangan indah yang tercipta, atau akankah mereka memilih untuk melepaskan semuanya demi kebaikan masing-masing?
Pada suatu malam, Fahri menulis sebuah pesan panjang kepada Nina, mengungkapkan semua kebimbangannya. Dia tak ingin melukai Nina, tetapi di sisi lain, ia merasa terjebak dalam perasaan yang semakin sulit untuk dijelaskan.
Fahri (melalui pesan):
“Aku merasa seperti kita berada di dua dunia yang berbeda, Nina. Kita memiliki impian yang berbeda, kita memiliki tujuan yang berbeda. Aku ingin sekali berjuang untuk hubungan ini, tetapi aku tidak tahu apakah aku sanggup bertahan dengan semua ketidakpastian yang ada. Aku tidak ingin mengikatmu pada sesuatu yang tidak pasti.”
Nina membaca pesan itu dengan hati yang berat. Dia tahu Fahri berbicara dari hati, tetapi dia juga merasakan betapa perasaan mereka begitu kuat. Seharusnya mereka bisa menghadapinya, bukan? Namun, dalam hati Nina, ada juga keraguan yang sama. Apakah mereka cukup kuat untuk mengatasi semua tantangan yang ada di depan mereka?
Nina (membalas pesan):
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan, Fahri. Aku juga takut, tapi aku tidak ingin melepaskan apa yang sudah kita mulai. Apakah kamu benar-benar siap untuk meninggalkan kenangan kita begitu saja?”
Puncak dari bab ini adalah saat Fahri dan Nina harus membuat keputusan besar. Mereka harus memilih untuk melanjutkan hubungan ini atau melepaskannya demi kebahagiaan masing-masing. Setelah melalui perasaan ragu dan keraguan, akhirnya mereka memutuskan untuk bertahan, meski mereka tahu tantangan yang menanti. Mereka memutuskan untuk menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka akan diuji, dan mereka harus berjuang untuk tetap menjaga perasaan satu sama lain.
Namun, meskipun keputusan mereka telah dibuat, keduanya tetap merasakan beban yang besar di hati mereka. Kenangan yang membekas itu akan tetap ada—menjadi pengingat akan pertemuan pertama yang tak terlupakan dan perjuangan yang harus mereka hadapi untuk tetap bersama.
Hari-hari berlalu, dan meskipun mereka telah berkomitmen untuk menjaga hubungan ini, kenyataan hidup tetaplah keras. Jarak antara Fahri dan Nina semakin terasa seiring dengan ketegangan yang menggelayuti setiap percakapan mereka. Mereka menyadari bahwa kenangan pertama mereka di kafe itu—kenangan yang penuh dengan percakapan mendalam, canda, dan kebersamaan—seakan semakin menjauh. Walaupun mereka saling mengirim pesan dan sesekali berbicara di telepon, ada rasa hampa yang tak bisa diabaikan.
Di malam yang tenang, Fahri duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Kepalanya dipenuhi dengan pikiran tentang Nina. Rasanya seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, bagian yang ia temui dalam diri Nina, namun tidak bisa digenggam erat oleh jarak.
Fahri (memandang ke langit, dengan suara pelan):
“Kenapa perasaan ini begitu kuat? Bukankah kita baru bertemu? Bukankah ini terlalu cepat untuk merasakan seperti ini?”
Namun, meskipun perasaan itu membingungkan, ia tidak bisa menahan keinginannya untuk mengenal Nina lebih jauh. Setiap pesan, setiap percakapan yang mereka miliki, memberikan kenangan yang semakin dalam, kenangan yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkan perempuan ini. Dan meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan itu tak pernah memudar.
Sementara itu, Nina juga merasakan kegelisahan yang serupa. Setiap hari, ia terjaga dalam kebisuan malam, memikirkan Fahri. Tetapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa bertemu secara langsung membuatnya meragukan segalanya. Dalam hatinya, Nina bertanya-tanya apakah perasaan yang ia rasakan ini benar-benar cinta, atau hanya keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih dari hidupnya yang monoton.
Nina (berbicara dengan sahabat dekatnya, Lisa):
“Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, Lisa. Seperti ada sesuatu yang menarikku ke arah Fahri, tapi di sisi lain, aku takut. Apa yang kita punya, apakah itu cukup? Aku takut jika aku terlalu terburu-buru…”
Lisa (memberikan pandangan bijak):
“Mungkin ini adalah perasaan yang alami, Nina. Terkadang kita tidak bisa menahan perasaan yang datang begitu kuat. Tapi apakah kamu siap untuk membuat komitmen? Karena cinta itu bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang keputusan dan perjuangan.”
Nina terdiam, memikirkan kata-kata sahabatnya. Ia tahu bahwa untuk menjaga hubungan ini, ia harus berjuang. Namun, bagaimana jika perjuangan itu berakhir dengan luka? Apakah perasaan ini cukup kuat untuk mengatasi jarak yang semakin lebar?
Beberapa minggu kemudian, hidup Nina dan Fahri terkejut dengan kehadiran seseorang dari masa lalu mereka masing-masing. Fahri bertemu dengan mantannya, seorang wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya, sementara Nina menerima kunjungan dari seorang pria yang dulu pernah ia cintai sebelum ia bertemu Fahri.
Perasaan yang tadinya mengalir mulus kini menjadi semakin rumit. Mantan Fahri, Arini, tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya. Tanpa ada yang dia duga, Arini mengajak berbicara tentang masa lalu mereka. Meski mereka berdua telah berpisah beberapa tahun lalu, Arini masih tampak memegang perasaan yang kuat terhadap Fahri.
Arini (dengan nada ragu):
“Fahri, aku tahu mungkin ini sudah terlalu lama. Tapi, aku merasa ada hal yang belum selesai di antara kita. Aku… aku masih berpikir tentangmu.”
Fahri terkejut, dan meskipun ia tidak ingin menghadapinya, perasaan masa lalu itu kembali muncul. Ia merasa bingung. Di satu sisi, ia tahu bahwa hubungannya dengan Nina adalah sesuatu yang baru dan menggairahkan. Namun di sisi lain, ada perasaan yang belum tuntas dengan Arini—perasaan yang terkubur dalam waktu, tapi tetap ada.
Fahri (menghela napas panjang):
“Arini, aku… aku tidak tahu harus bilang apa. Kita sudah berpisah dan aku rasa kita berdua sudah menemukan jalan masing-masing.”
Namun, Arini tidak menyerah. Dia mencoba memikat kembali hati Fahri, meskipun tahu bahwa hubungannya dengan Nina telah mulai tumbuh. Fahri merasa terjebak. Hatinya kini terbelah antara masa lalu dan masa depan yang tidak pasti.
Di sisi lain, Nina juga menghadapi situasi yang mirip. Seorang pria dari masa lalunya, Adrian, muncul kembali. Adrian adalah pria yang dulu pernah ia cintai, namun hubungan mereka berakhir begitu saja karena alasan yang tidak jelas. Setelah bertahun-tahun, Adrian kembali datang dengan alasan ingin “menyelesaikan” sesuatu yang belum ia dapatkan.
Adrian (tersenyum penuh arti):
“Nina, aku tidak pernah benar-benar melupakanmu. Aku tahu kamu sedang bersama seseorang sekarang, tapi aku ingin kita berbicara lagi. Ada banyak hal yang kita tinggalkan tanpa penjelasan.”
Nina terkejut, tetapi ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa perasaan lama itu kembali muncul. Namun, di dalam hatinya, ia merasa bahwa Fahri adalah bagian dari hidupnya yang baru, bagian yang ingin ia pertahankan. Ia merasa tertarik untuk mendengarkan Adrian, tetapi kesetiaannya kepada Fahri semakin kuat.
Nina (dengan tegas):
“Adrian, aku menghargai apa yang kita miliki dulu. Tetapi, sekarang aku sudah memilih jalan yang berbeda. Maafkan aku, aku tidak bisa kembali.”
Kedua pertemuan dengan masa lalu itu akhirnya membuat Fahri dan Nina merenung lebih dalam. Mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya harus menghadapinya dengan perasaan masing-masing, tetapi juga dengan kenyataan bahwa hubungan mereka akan selalu diuji oleh hal-hal dari luar. Baik itu masa lalu, ketidakpastian, atau bahkan perasaan yang datang dan pergi begitu saja.
Fahri menulis pesan panjang kepada Nina setelah kejadian dengan Arini. Dia tidak ingin Nina merasa terabaikan, namun ia tahu bahwa ia harus berbicara terbuka dengan Nina tentang apa yang baru saja terjadi.
Fahri (pesan kepada Nina):
“Nina, aku ingin kamu tahu tentang apa yang terjadi. Arini datang kemarin, dan aku merasa bingung. Masa lalu itu datang kembali, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku ingin kamu tahu bahwa perasaanku padamu tetap kuat, meskipun semua ini terjadi. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan membiarkan masa lalu menghalangi kita.”
Nina membalas pesan itu dengan rasa cemas. Meskipun ia merasa kecewa, ia juga tahu bahwa Fahri harus menghadapi masa lalunya dengan cara yang benar. Ia juga mengirimkan pesan yang jujur kepada Fahri.
Nina (pesan kepada Fahri):
“Fahri, aku tahu ini bukan hal yang mudah. Aku juga menghadapi kebingunganku sendiri. Adrian datang, dan aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku memilihmu. Aku ingin berjuang untuk kita.”
Akhirnya, setelah melewati semua ujian itu, Fahri dan Nina mencapai titik yang lebih jelas tentang hubungan mereka. Mereka berdua tahu bahwa ini bukan perjalanan yang mudah, tetapi mereka ingin melangkah bersama. Mereka memutuskan untuk tidak membiarkan masa lalu atau rasa ragu menghalangi perasaan mereka. Mereka sadar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang keputusan yang mereka buat dan komitmen untuk menghadapi apapun yang datang di masa depan.*
Bab 3: Cinta Diuji oleh Waktu
Setelah berjanji untuk tetap menjaga hubungan, Fahri dan Nina terpisah oleh jarak. Komunikasi menjadi semakin sulit dan rindu semakin mendalam. Pada saat ini, ujian cinta mereka dimulai, baik secara fisik maupun emosional. Mereka harus berjuang untuk tetap menjaga cinta yang mereka miliki, meskipun waktu dan jarak membuat semuanya lebih sulit.
Waktu-waktu di mana mereka harus mengatasi jarak fisik, dengan adanya telepon, pesan teks, atau bahkan pertemuan sesekali.
Keraguan mulai muncul, apakah cinta mereka akan bertahan? Adakah godaan dari orang lain atau tantangan pekerjaan yang mempengaruhi mereka?
Keraguan, kecemasan, dan rindu yang semakin kuat, ditambah dengan usaha untuk tetap terhubung.
Ketika mereka terpisah, baik Fahri dan Nina menghadapi godaan dan kesulitan yang menguji kepercayaan mereka satu sama lain. Mereka harus menghadapi situasi yang mengarah pada keraguan—apakah mereka bisa tetap saling percaya meskipun ada jarak yang memisahkan? Apakah mereka bisa mengatasi rasa takut kehilangan?
Situasi di mana kepercayaan mereka diuji, mungkin melalui pertemuan dengan orang lain atau situasi yang membuat salah satu dari mereka merasa terabaikan.
Masalah kepercayaan muncul. Apakah mereka bisa tetap setia meskipun terpisah jarak? Bagaimana mereka mengatasi rasa cemburu atau kecurigaan yang muncul?
Mengatasi ketakutan dan keraguan dengan komunikasi yang terbuka dan saling memahami.
Setelah melalui serangkaian ujian, seperti jarak yang memisahkan dan ketegangan akibat kesibukan masing-masing, hubungan Fahri dan Nina semakin mendalam. Namun, meskipun mereka saling mencintai, ada satu hal yang masih mengganjal: kepercayaan. Kepercayaan ini tidak hanya datang dari kehadiran fisik, tetapi juga dari rasa aman yang mereka berikan satu sama lain. Namun, seperti halnya hubungan jarak jauh lainnya, kepercayaan bisa diuji oleh banyak hal—terutama ketidakpastian dan kecurigaan yang tidak terucapkan.
Suatu hari, Nina mendapatkan pesan yang tak terduga. Sebuah pesan yang dikirim oleh Arini, mantan pacar Fahri. Pesan tersebut tidak mengancam atau bernada kasar, namun itu menyentuh sebuah sisi lain dari kehidupan Fahri yang belum pernah Nina ketahui. Arini mengaku masih ada perasaan yang belum selesai dan berharap bisa berteman dengan Fahri, yang tentu saja mengingatkan Nina pada ketakutannya: “Apa benar Fahri sudah melupakan masa lalunya?”
Nina, yang sudah berusaha mempercayai Fahri sepenuhnya, merasakan keresahan. Tanpa berpikir panjang, ia mulai merasa cemas dan gelisah. Apakah Fahri benar-benar mencintainya, atau hanya sekadar terjebak dalam kenangan lama?
Nina (memikirkan pesan dari Arini, berbicara pada dirinya sendiri):
“Apa yang harus aku lakukan? Kenapa tiba-tiba Arini muncul lagi? Mungkin aku terlalu cepat percaya padanya.”
Ketika Fahri menghubunginya, Nina tidak langsung mengungkapkan perasaan cemasnya. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun ketegangan itu bisa terasa melalui nada bicaranya.
Nina (dengan nada hati-hati):
“Fahri, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku menerima pesan dari Arini tadi. Dia bilang masih ada perasaan yang belum selesai denganmu… Aku hanya ingin tahu, apakah kamu benar-benar sudah melupakan masa lalu itu?”
Fahri yang terkejut mendengar hal ini, merasa cemas. Ia tahu bahwa kepercayaan Nina adalah sesuatu yang sangat berharga, dan ia tidak ingin kehilangan itu. Namun, ada perasaan tidak nyaman yang muncul karena masa lalunya masih menjadi masalah di antara mereka.
Fahri (menanggapi dengan tegas):
“Nina, aku sudah melupakan Arini. Apa yang dia katakan tidak ada artinya bagiku sekarang. Aku hanya ingin kita fokus ke masa depan kita bersama. Kamu harus percaya padaku.”
Namun, meskipun ia mengatakan hal itu, keraguan mulai tumbuh dalam hati Nina. Walaupun ia ingin mempercayai Fahri, keraguan itu tak bisa hilang begitu saja. Kepercayaan itu seperti benang tipis yang bisa terputus kapan saja, jika tidak dijaga dengan hati-hati.
Beberapa hari setelah perbincangan itu, Nina mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam sikap Fahri. Ia merasa ada yang disembunyikan, meski Fahri tetap berusaha untuk terlihat normal. Terkadang, ia menghindar, atau memilih untuk tidak terlalu banyak berbicara tentang apa yang terjadi di tempat kerjanya. Nina merasa tidak nyaman, namun ia tidak ingin terlihat seperti orang yang terlalu mencurigakan.
Di sisi lain, Fahri juga merasakan hal yang sama. Ketegangan mulai muncul, meskipun mereka berdua berusaha untuk menjaga hubungan mereka tetap kuat. Dia merasa tertekan, bukan karena perasaan cintanya terhadap Nina berkurang, tetapi karena rasa bersalah yang timbul karena Nina merasa tidak sepenuhnya aman dalam hubungan mereka.
Fahri tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk mengembalikan rasa aman itu pada Nina. Ia memutuskan untuk mengajak Nina untuk bertemu, langsung berbicara dan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi dalam dirinya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak pernah berpaling dari Nina, dan bahwa kepercayaannya terhadap Nina lebih kuat daripada segala hal yang pernah terjadi sebelumnya.
Fahri (menghubungi Nina melalui pesan):
“Nina, kita harus bicara. Aku tahu kamu merasa ada yang salah, dan aku ingin memperjelas semuanya. Aku tidak ingin hubungan kita dihantui oleh kecurigaan ini.”
Nina menerima ajakan itu dengan hati yang ragu. Ia ingin percaya pada Fahri, namun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. Apakah Fahri benar-benar mencintainya? Apakah ia bisa mempertahankan kepercayaan dalam hubungan mereka?
Pada hari yang telah disepakati, Fahri dan Nina bertemu di sebuah kafe yang menjadi tempat favorit mereka. Suasana di sekitar mereka terasa tenang, namun di dalam hati mereka masing-masing, kegelisahan terus melanda. Begitu mereka duduk, ada keheningan yang tidak biasa di antara mereka.
Fahri (dengan suara lembut):
“Nina, aku tahu kamu merasa ada yang berubah. Aku tidak bisa terus menyembunyikan ini. Arini datang kepadaku bukan karena aku ingin kembali padanya. Aku tahu itu membuatmu merasa tidak nyaman, dan aku menyesal jika itu membuatmu merasa terabaikan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku hanya mencintaimu. Hanya kamu.”
Nina menatap mata Fahri dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat kejujuran dalam tatapan itu, meskipun hatinya masih merasa sedikit ragu.
Nina (dengan suara pelan, hampir berbisik):
“Aku ingin percaya padamu, Fahri. Tapi kadang aku merasa seperti aku tidak cukup bagimu. Aku merasa terasingkan. Mungkin aku hanya takut… takut jika aku salah mempercayaimu.”
Fahri (memegang tangan Nina dengan lembut):
“Aku mengerti rasa takutmu. Aku juga takut kehilanganmu, Nina. Tapi aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah berpaling darimu. Aku memilih kamu, dan hanya kamu. Jika ada hal yang membuatmu meragukan itu, aku siap untuk menjelaskan semuanya.”
Nina menatap tangan Fahri yang memegangnya, dan sedikit demi sedikit, ia mulai merasa ada secercah harapan. Mungkin mereka bisa mengatasi semua rintangan ini jika mereka saling terbuka dan tidak menyimpan keraguan di dalam hati.
Meskipun perasaan Nina masih terombang-ambing, ia memutuskan untuk mencoba. Ia tahu bahwa hubungan ini tidak akan berjalan mulus tanpa adanya kepercayaan yang kokoh. Kepercayaan bukanlah hal yang mudah dibangun, tetapi jika mereka terus berjuang untuk itu, mereka mungkin bisa melaluinya.
Nina (dengan tegas):
“Aku ingin mencoba mempercayaimu lagi, Fahri. Kita akan membangun semuanya bersama-sama, langkah demi langkah. Tapi aku butuh waktu. Waktu untuk benar-benar merasa aman.”
Fahri mengangguk, merasa lega mendengar kata-kata Nina. Ia tahu bahwa ini adalah titik balik mereka, saat mereka harus membuktikan bahwa hubungan mereka lebih kuat dari sekadar kata-kata.
Fahri (dengan penuh keyakinan):
“Aku akan menunggumu, Nina. Aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa aku hanya mencintaimu. Tidak ada yang lebih penting bagiku daripada kepercayaanmu.”
Setelah pertemuan itu, mereka berdua mulai berusaha membangun kembali kepercayaan yang sempat goyah. Fahri lebih sering menghubungi Nina, bukan hanya untuk berbicara tentang pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, tetapi juga tentang perasaan mereka masing-masing. Mereka belajar untuk saling terbuka dan berbicara tentang kekhawatiran yang ada, bahkan jika itu menyakitkan.
Nina (berbicara dengan sahabatnya, Lisa):
“Aku merasa lebih baik setelah bicara dengan Fahri. Meskipun aku masih memiliki keraguan, aku tahu bahwa kita akan bisa mengatasi ini. Kepercayaan itu tidak bisa langsung datang, tapi aku ingin memberi kesempatan pada hubungan ini.”*
Bab 5: Menghadapi Realitas Hidup
Tuntutan pekerjaan, perbedaan prioritas, dan tantangan kehidupan sehari-hari mulai menambah beban di hubungan mereka. Mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa meskipun cinta ada, hidup nyata sering kali membawa halangan.
Hari-hari penuh rutinitas yang kadang menyita perhatian mereka, kesibukan yang membuat mereka merasa semakin jauh.
Ketidakseimbangan dalam prioritas hidup yang mengarah pada ketegangan dalam hubungan mereka. Apakah mereka mampu mencari keseimbangan antara kehidupan pribadi dan hubungan cinta mereka?
Mereka belajar untuk berkompromi dan menemukan cara agar hubungan tetap terjaga meski dengan kesibukan yang padat.
Setelah perjalanan panjang dalam membangun kembali kepercayaan satu sama lain, Fahri dan Nina akhirnya kembali ke rutinitas sehari-hari mereka. Hubungan mereka tidak lagi hanya tentang perasaan dan janji-janji indah, tetapi tentang bagaimana mereka bisa bertahan menghadapi kenyataan hidup yang lebih besar. Waktu yang mereka habiskan bersama semakin sedikit, dan kesibukan masing-masing mulai menguji komitmen mereka.
Fahri, yang sebelumnya bekerja di perusahaan internasional dengan jam kerja yang sangat padat, kini harus menghadapi tekanan yang semakin berat. Proyek besar yang harus diselesaikan, ditambah dengan persaingan yang semakin ketat, menjadikan pekerjaan bukan lagi sekadar tugas, tetapi juga beban mental yang sangat besar.
Fahri (dalam percakapan dengan rekan kerja):
“Aku merasa tertekan, dan aku tidak tahu bagaimana mengatur semuanya. Proyek ini bukan hanya tentang angka, tapi tentang mempertahankan eksistensi di sini. Aku harus bekerja lebih keras, tapi di sisi lain, aku juga merasa seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri.”
Nina pun tidak jauh berbeda. Meskipun ia memiliki pekerjaan yang lebih fleksibel dibandingkan Fahri, ia harus menghadapi kenyataan bahwa impian kariernya mungkin tidak bisa tercapai secepat yang ia inginkan. Sebagai seorang wanita muda yang berkarier, ia sering kali harus menghadapi diskriminasi halus, beban ganda antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta harapan tinggi dari keluarga dan lingkungannya.
Nina (berbicara dengan teman dekatnya, Lisa):
“Aku merasa terkekang, Lisa. Di satu sisi, aku ingin sukses di karierku, tapi di sisi lain, aku merasa ada begitu banyak pengorbanan yang harus aku buat. Keluarga dan masyarakat selalu mengingatkan bahwa sebagai wanita, aku harus bisa menyeimbangkan segalanya—kerja, rumah tangga, dan juga cinta. Apakah itu adil?”
Lisa, yang sudah berpengalaman menghadapi tantangan serupa, hanya bisa memberikan dukungan moral. Namun, Nina merasa semakin terasing dengan dirinya sendiri, di tengah tuntutan-tuntutan yang datang tanpa henti.
Meskipun hubungan Fahri dan Nina semakin stabil, mereka berdua harus menghadapi kenyataan pahit bahwa dunia tidak selalu memberikan ruang untuk mereka berdua. Fahri harus lebih sering bepergian keluar kota untuk urusan pekerjaan, dan Nina pun harus memprioritaskan pekerjaannya yang juga semakin menuntut perhatian.
Suatu hari, ketika Fahri kembali ke rumah setelah perjalanan bisnis panjang, ia mendapati Nina sedang duduk sendirian di ruang tamu, wajahnya terlihat lelah dan kosong.
Fahri (dengan khawatir):
“Nina, ada apa? Kamu terlihat capek sekali.”
Nina (dengan nada pelan):
“Aku hanya merasa sedikit … kosong, Fahri. Aku bekerja keras setiap hari, dan aku merasa seperti ada yang hilang dalam hidupku. Aku bekerja keras untuk membuktikan sesuatu—bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk orang lain.”
Fahri (mendekat dan memegang tangan Nina):
“Aku mengerti, Nina. Aku merasa begitu juga. Dunia ini memang tidak mudah, dan kadang kita terjebak dalam ekspektasi orang lain. Tapi kita harus tetap menjaga satu sama lain, bahkan ketika dunia luar begitu keras.”
Namun, meskipun kata-kata Fahri terdengar menghibur, Nina masih merasa ada kekosongan dalam dirinya. Ia merasa bahwa segala yang ia lakukan tidak cukup. Semua pengorbanannya, kerja kerasnya, hanya membuatnya merasa semakin lelah dan kurang dihargai.
Hal yang sama berlaku untuk Fahri. Saat ia kembali ke pekerjaannya setelah beberapa hari bersama Nina, ia merasa bahwa tuntutan pekerjaannya semakin mempengaruhi hubungannya dengan Nina. Ia harus membagi waktunya antara pekerjaan yang menuntut perhatian penuh dan hubungan yang mulai kehilangan arah karena waktu yang terbatas.
Seiring berjalannya waktu, ketegangan mulai muncul. Fahri mulai merasa bahwa ia tidak bisa memenuhi ekspektasi Nina. Nina juga merasa bahwa Fahri terlalu terfokus pada pekerjaannya, meninggalkan sedikit ruang untuk hubungan mereka. Mereka berdua ingin membangun kehidupan bersama, tetapi kenyataan hidup yang keras sering kali menghalangi mereka untuk menghabiskan waktu bersama. Hal ini semakin memperburuk hubungan mereka.
Pada suatu malam, setelah mereka berbicara tentang bagaimana kehidupan mereka berubah, percakapan itu berubah menjadi debat besar. Fahri merasa tersudutkan oleh tuntutan Nina, sementara Nina merasa bahwa Fahri tidak cukup memberikan perhatian padanya.
Nina (dengan nada kesal):
“Kenapa kamu tidak pernah punya waktu untuk kita? Apa pekerjaanmu lebih penting daripada aku? Aku merasa seperti kamu tidak peduli lagi!”
Fahri (merasa frustrasi):
“Nina, bukan itu maksudku! Aku bekerja keras agar kita bisa memiliki kehidupan yang lebih baik. Tapi aku juga merasa tertekan, dan aku tidak tahu bagaimana bisa membuatmu bahagia jika aku terus terjebak dalam pekerjaan ini.”
Nina (dengan suara melunak, namun penuh kekecewaan):
“Aku hanya ingin kamu ada untukku, Fahri. Aku tidak butuh banyak, hanya waktu kita bersama tanpa gangguan pekerjaan dan dunia luar. Kenapa itu terlalu sulit?”
Malam itu, mereka berdua terdiam, masing-masing merasa tidak ada jalan keluar dari ketegangan ini. Hubungan mereka diuji oleh kenyataan hidup yang keras, di mana keterbatasan waktu dan tuntutan eksternal sering kali menjadi lebih penting daripada hubungan itu sendiri.
Ketegangan ini terus berlanjut. Fahri dan Nina mulai merasa terjepit antara keinginan pribadi dan tanggung jawab mereka terhadap pekerjaan dan keluarga. Mereka mulai meragukan apakah mereka bisa tetap bersama dalam kondisi seperti ini.
Fahri, yang merasa terperangkap dalam pekerjaannya, mulai berpikir untuk mengambil keputusan besar. Apakah ia harus mengubah kariernya? Ia merasa bahwa jika ia terus mengejar kesuksesan di dunia yang sama, ia mungkin akan kehilangan segalanya—termasuk Nina. Namun, mengorbankan kariernya untuk cinta juga terasa seperti keputusan yang terlalu drastis.
Di sisi lain, Nina merasakan hal yang sama. Ia mulai mempertanyakan tujuannya dalam hidup. Apakah karier benar-benar memenuhi kebutuhannya? Apakah semua yang ia kejar bisa memberi kebahagiaan yang sejati? Cinta dan keluarga, meskipun penting, mulai terasa lebih sulit didapatkan karena tuntutan eksternal yang terus datang.
Nina (berbicara kepada sahabatnya, Lisa):
“Aku merasa bingung, Lisa. Aku ingin mengejar impian karierku, tetapi di sisi lain, aku merasa begitu terasing dari Fahri. Bagaimana caranya aku bisa menyeimbangkan semuanya?”
Lisa (memberikan nasihat):
“Terkadang kita harus memilih, Nina. Kadang hidup memberi kita pilihan yang sulit. Kamu harus menemukan apa yang paling penting bagimu dan berani mengambil keputusan. Cinta itu penting, tapi hidup ini juga tentang menemukan makna dalam apa yang kita lakukan.”
Setelah melalui berbagai perenungan dan perbincangan panjang, Fahri dan Nina akhirnya menyadari bahwa kehidupan nyata akan selalu datang dengan tantangannya masing-masing. Tidak ada yang bisa menghindar dari kenyataan bahwa hidup akan menguji mereka dalam banyak hal.
Namun, di tengah-tengah ketegangan ini, mereka menemukan satu hal yang penting: komitmen terhadap satu sama lain lebih kuat daripada segala rintangan. Mereka harus membuat keputusan besar tentang bagaimana mereka ingin menjalani hidup ini, dan bagaimana mereka bisa menghadapinya bersama.
Fahri (dengan tekad):
“Aku tidak ingin kehilangan kamu, Nina. Aku akan mencari cara untuk menyeimbangkan semuanya. Aku akan mulai lebih memperhatikan kita.”
Nina (dengan mata yang penuh harapan):
“Aku juga, Fahri. Aku ingin kita berdua bahagia, bukan hanya dalam karier, tetapi juga dalam hidup ini. Kita harus saling mendukung untuk mencapainya.”
Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi mereka memutuskan untuk terus berjalan bersama. Keputusan mereka untuk menghadapi kenyataan hidup dengan saling mendukung menjadi titik awal bagi hubungan yang lebih kuat dan lebih matang.
Menghadapi realitas hidup bukan hanya tentang pekerjaan atau tantangan eksternal. Ini adalah ujian untuk melihat apakah kita bisa bertahan dalam ketidakpastian dan kesulitan, dan apakah kita bisa terus berjalan bersama orang yang kita cintai meskipun dunia di luar kita penuh dengan rintangan. Fahri dan Nina belajar bahwa cinta bukan hanya tentang kebahagiaan semata, tetapi tentang saling menerima dan berkomitmen untuk tetap berdiri teguh satu sama lain, apapun yang terjadi.
Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa hidup adalah serangkaian pilihan yang harus dihadapi bersama, dan hanya dengan menghadapi realitas hidup secara terbuka dan jujur, mereka bisa membangun masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri mereka, tetapi untuk hubungan mereka juga.*
Bab 6: Keputusan yang Mengubah Segalanya
Setelah mengalami banyak ujian, Fahri dan Nina dihadapkan pada keputusan besar yang akan mengubah arah hubungan mereka. Akankah mereka melanjutkan hubungan ini meski penuh tantangan, atau memilih jalan terpisah? Mereka masing-masing mulai menyadari bahwa cinta mereka tidak hanya perlu dipertahankan, tetapi juga dipertaruhkan dengan keputusan yang penuh pertimbangan.
Waktu yang penuh tekanan saat mereka harus membuat pilihan besar. Apakah mereka akan terus berjuang, atau memilih hidup terpisah dengan kenangan indah yang mereka miliki?
Ketegangan antara hati yang ingin mempertahankan cinta dan akal yang mengingatkan akan kesulitan yang harus mereka hadapi di masa depan.
:Keputusan yang penuh risiko, yang akhirnya membuka jalan untuk masa depan baru, apakah mereka akan tetap bersama atau berpisah dengan perasaan yang tak terlupakan