Daftar Isi
BAB 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
Nina, seorang wanita muda yang penuh impian dan cita-cita. Ia adalah tipe orang yang optimis, tapi terkadang terlalu tertutup tentang perasaannya. Sejak kecil, Nina sudah terbiasa mengandalkan dirinya sendiri, namun ketika ia bertemu dengan Fahri, hidupnya mulai berubah.
Fahri, seorang pria yang cerdas dan penuh pesona, namun memiliki banyak luka di masa lalu. Ia adalah sosok yang tenang, namun sangat perhatian pada orang yang ia cintai.
Mereka pertama kali bertemu saat Nina menjalani studi di luar negeri. Di tengah kehidupan yang asing, mereka berdua bertemu tanpa diduga di sebuah acara kampus. Tertarik dengan kecerdasan dan kedalaman pembicaraan Fahri, Nina merasa ada ikatan yang kuat sejak pertama kali bertemu.Ada sesuatu yang tak terucapkan antara mereka, meskipun keduanya mencoba menutupi perasaan masing-masing. Percakapan-percakapan kecil mereka berubah menjadi pertemuan yang lebih sering, sampai akhirnya keduanya sadar bahwa mereka mulai menyukai satu sama lain.
Cerita dimulai dengan pengenalan tokoh utama, Nina, seorang gadis muda yang penuh semangat dan cerdas. Nina baru saja menyelesaikan kuliah di Jakarta dan mendapat kesempatan untuk melanjutkan studinya ke luar negeri, di sebuah universitas terkenal di Eropa. Meskipun begitu, ia merasa cemas meninggalkan tanah air, keluarganya, dan kehidupan yang selama ini ia kenal. Namun, di balik kecemasan itu, ada semangat untuk mengejar impian dan meraih masa depan yang lebih cerah.
Nina memiliki ciri khas sebagai seorang wanita yang mandiri dan tangguh, tetapi di dalam hatinya, ia memiliki kerinduan yang mendalam akan keluarganya dan tanah airnya. Dunia baru yang ia masuki membuatnya merasa terasing, tetapi ia berusaha untuk tetap kuat.
Di sisi lain, kita diperkenalkan dengan Fahri, seorang pemuda yang memiliki masa lalu kelam. Fahri adalah seorang mahasiswa PhD di bidang teknik, yang baru saja kembali ke kampus setelah liburan musim panas. Meskipun dia memiliki penampilan yang tenang dan serius, ada luka yang belum sembuh di hatinya. Fahri kehilangan kekasihnya beberapa tahun lalu dalam sebuah kecelakaan, dan sejak itu, ia memutuskan untuk fokus pada studinya dan menjaga jarak dengan hubungan yang lebih pribadi.
Fahri adalah tipe pria yang lebih suka menyendiri dan tidak banyak berbicara, tetapi ada sisi lembut dan perhatian yang ia sembunyikan dalam dirinya. Ia selalu merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk dicintai lagi, dan itu membuatnya menghindari hubungan emosional dengan orang lain.
Cerita mengambil latar waktu di musim gugur di Eropa, ketika daun-daun mulai berguguran, menciptakan suasana yang melankolis. Suasana kampus yang sibuk dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia memberikan nuansa kosmopolitan yang membuat Nina merasa sedikit asing. Kampus itu penuh dengan sejarah, dengan bangunan-bangunan tua yang anggun, dan pepohonan yang mengubah warna setiap kali musim berganti.
Pertemuan pertama mereka terjadi di kafe universitas, tempat favorit mahasiswa untuk berkumpul, belajar, atau hanya sekadar melepas penat. Nina, yang tengah duduk di meja pojok dengan secangkir kopi, melihat seorang pria duduk sendirian di meja sebelah, menatap layar laptopnya tanpa henti. Nina merasa ada sesuatu yang menarik dari sosok pria itu, namun ia tidak bisa menjelaskan mengapa.
Fahri, yang sedang duduk menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi, merasakan tatapan yang diarahkan padanya. Ia sempat mengangkat wajah dan melihat Nina sesaat sebelum kembali menatap layar laptopnya. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, namun ada ketertarikan diam-diam yang tumbuh tanpa mereka sadari.
Nina merasa aneh. Mungkin karena suasana kampus yang asing atau karena perasaan rindu terhadap Indonesia, ia merasa sedikit terisolasi. Tetapi, sesuatu tentang pria itu menarik perhatiannya. Fahri, dengan segala kesendiriannya, tidak menyadari bahwa ia telah menjadi objek perhatian Nina.
Hari-hari berikutnya, Nina dan Fahri sering bertemu secara tidak sengaja di berbagai sudut kampus, meski tidak pernah berbicara. Mereka hanya saling memberi senyuman singkat, kadang dengan tatapan mata yang saling bertemu namun segera mengalihkan pandangan. Nina merasa ada sesuatu yang spesial, meskipun tidak pernah ada percakapan yang berarti antara mereka.
Suatu hari, ketika Nina sedang duduk di bangku taman kampus yang terletak dekat dengan gedung perpustakaan, ia melihat Fahri berjalan menuju perpustakaan dengan langkah cepat. Nina yang sedang membaca buku merasa penasaran dan tidak sengaja menjatuhkan buku yang ia pegang. Buku itu jatuh tepat di depan kaki Fahri, yang kemudian berhenti sejenak dan mengambilnya.
Fahri:
“Maaf, apakah ini milikmu?”
Nina (tersenyum canggung):
“Oh, iya. Terima kasih.”
Fahri meletakkan buku itu di meja Nina dan duduk di bangku taman yang tidak jauh dari Nina. Mereka berdua akhirnya berada dalam satu ruang yang sama, meskipun masih dalam keheningan. Nina merasa canggung, namun ada ketertarikan yang muncul dalam dirinya.
Fahri (setelah beberapa saat):
“Kamu sering di sini?”
Nina:
“Ya, hampir setiap hari. Saya suka membaca di sini.”
Fahri (mengangguk):
“Saya juga sering ke perpustakaan. Tapi, tidak begitu banyak yang bisa dibaca di sini.”
Percakapan itu mulai mengalir dengan alami. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang studi mereka, kampus, dan kehidupan di Eropa. Nina merasa sangat nyaman berbicara dengan Fahri, meskipun dia sebelumnya tidak pernah merasa begitu dekat dengan siapa pun di kampus ini. Fahri juga merasa hal yang sama. Meski ia biasanya sangat tertutup, ada sesuatu dalam diri Nina yang membuatnya ingin membuka diri.
Semakin sering mereka bertemu, semakin kuat perasaan di antara mereka, meskipun keduanya mencoba untuk tidak mengakui perasaan tersebut. Nina tidak ingin terlihat terlalu cepat jatuh cinta, apalagi dalam situasi yang masih baru seperti ini. Fahri juga ragu untuk membuka hati, mengingat masa lalunya yang penuh dengan kekecewaan.
Namun, setiap kali mereka bertemu, ada ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka. Percakapan mereka semakin intens dan mendalam. Mereka mulai membahas hal-hal yang lebih pribadi—seperti impian, ketakutan, dan harapan untuk masa depan. Bahkan, Fahri yang jarang sekali membuka diri, mulai menceritakan sedikit tentang masa lalunya, tentang hubungannya yang gagal, dan bagaimana ia merasa tidak pantas untuk cinta yang sejati.
Fahri (dengan nada serius):
“Saya tidak tahu, Nina. Mungkin saya terlalu banyak membawa beban masa lalu. Saya takut jika saya memberi ruang untuk seseorang dalam hidup saya, beban itu akan kembali menghancurkan.”
Nina (dengan lembut):
“Tapi, kadang kita harus memberi kesempatan pada diri kita untuk bahagia. Mungkin kita tidak akan pernah tahu jika kita terus menghindar.”
Percakapan ini menjadi titik awal bagi keduanya untuk saling memahami lebih dalam. Meski tidak ada pengakuan langsung tentang perasaan mereka, Nina dan Fahri mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar persahabatan di antara mereka. Rindu mulai tumbuh di hati mereka, meskipun mereka belum bisa mengatakannya dengan kata-kata.
Suatu malam, setelah sebuah acara kampus yang membahas tentang peluang kerja di luar negeri, mereka duduk bersama di sebuah kedai kopi kecil di dekat kampus. Hujan turun dengan deras di luar, membuat suasana semakin intim di dalam kedai.
Fahri (memandang keluar jendela):
“Kadang, saya merasa seperti terjebak dalam waktu yang tak bisa saya kendalikan. Kita semua seolah memiliki arah yang jelas, tetapi jalan yang saya pilih malah membuat saya semakin jauh dari yang saya inginkan.”
Nina (melihatnya dengan penuh perhatian):
“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Fahri. Kita semua sedang mencari arah kita masing-masing. Saya pun masih merasa asing di sini, di tempat yang jauh dari rumah.”
Keheningan sesaat menghiasi percakapan mereka. Hujan di luar semakin deras, namun keheningan itu tidak terasa canggung, melainkan lebih mendalam. Fahri akhirnya menoleh ke Nina, dan untuk pertama kalinya, mereka berbicara tanpa menyembunyikan perasaan mereka.
Fahri:
“Saya tidak tahu mengapa, tapi saya merasa nyaman berbicara denganmu. Entah kenapa, kamu membuat semuanya terasa lebih mudah.”
Nina (tersenyum):
“Saya juga merasa begitu. Mungkin kita sudah terlalu banyak menyimpan rindu dan ketakutan kita sendiri, sehingga kita lupa untuk berbagi.”
Di sanalah, di kedai kopi kecil itu, mereka mulai menyadari bahwa perasaan mereka satu sama lain bukan hanya sebuah kebetulan. Rindu, yang selama ini tersembunyi, perlahan-lahan muncul. Namun, mereka belum siap untuk mengakuinya. Mereka tahu bahwa perasaan itu masih rapuh, tetapi mereka juga tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan yang mempertemukan mereka.
Di kedai kopi kecil itu, suasana hujan yang turun dengan deras semakin menambah kedekatan di antara mereka. Fahri dan Nina semakin tenggelam dalam percakapan, meskipun topik mereka masih terkesan ringan. Mereka saling bertukar cerita tentang hal-hal kecil yang mereka suka dan tidak suka, hingga mereka mulai lebih memahami satu sama lain. Pada saat itu, sebuah kejadian kecil membuat semuanya terasa berbeda.
Nina:
“Kadang saya merasa rindu dengan kebersamaan keluarga, dengan kehangatan rumah. Di sini, semua terasa asing. Saya merasa seperti hilang dalam keramaian dunia yang baru.”
Fahri (dengan nada lembut):
“Saya mengerti, Nina. Juga kadang merasa seperti hidup ini hanya tentang mengejar hal-hal besar, tanpa ada waktu untuk berhenti dan menikmati momen kecil yang sebenarnya lebih berarti.”
Nina menatap Fahri, ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya merasa lebih terhubung. Mereka tidak hanya berbicara tentang kekosongan yang mereka rasakan, tetapi juga tentang pencarian mereka akan makna dalam hidup yang semakin terasa sulit ditemukan. Ada keterbukaan dalam percakapan ini, seperti mereka menemukan ruang aman untuk berbagi tanpa penilaian.
Tiba-tiba, tangan Nina menyentuh tangan Fahri, saat dia mencoba mengatur cangkir kopi di meja yang sempat terguncang. Sentuhan itu singkat, tetapi cukup untuk membuat keduanya terkejut. Kedua mata mereka bertemu, dan meskipun tidak ada kata-kata yang diucapkan, ada getaran halus yang menyelimuti keduanya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi keduanya merasakan sebuah hubungan yang tak terucapkan.
Fahri:
“Maaf… saya… saya tidak bermaksud mengganggu.”
Nina (tersenyum canggung):
“Tidak apa-apa. Itu hanya kebetulan.”
Namun, keduanya tahu bahwa itu bukan kebetulan. Ada perasaan yang tak terucapkan, seperti sebuah daya tarik yang mengikat mereka, meskipun mereka berdua berusaha menahan diri dari perasaan itu.
Setelah malam itu, mereka berdua melanjutkan rutinitas mereka di kampus. Meskipun mereka semakin sering berbicara, tidak ada yang secara eksplisit mengungkapkan perasaan mereka. Nina merasa bingung dengan perasaan yang semakin kuat terhadap Fahri, namun dia tahu bahwa jarak, waktu, dan tujuan hidup mereka yang berbeda bisa menjadi penghalang besar. Fahri pun merasakan hal yang sama, namun dia tidak ingin membuka hati terlalu dalam karena pengalamannya di masa lalu.
Setiap kali mereka bertemu, baik di kampus maupun di kedai kopi, ada ketegangan yang tak terucapkan, seperti mereka sedang berusaha menahan perasaan yang kian mendalam. Fahri merasa ragu untuk membuka hatinya lagi setelah perasaan terluka yang pernah ia alami. Ia takut jika ia terlalu terikat, ia akan terluka lagi. Nina, di sisi lain, merasa bahwa hubungan ini bisa menjadi sesuatu yang berharga, namun ia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang mungkin tidak bisa ia pertahankan.
Suatu sore, setelah pertemuan di ruang kuliah, mereka duduk di bangku taman kampus. Hujan yang baru saja reda meninggalkan udara segar yang terasa menenangkan. Mereka kembali berbicara tentang hidup mereka, dan kali ini, percakapan itu sedikit lebih mendalam.
Nina:
“Fahri, aku pernah merasa seperti terjebak dalam keraguan. Aku takut, takut jika aku terlalu berharap terlalu banyak pada sesuatu yang tidak pasti.”
Fahri (menatapnya dengan serius):
“Aku juga merasa hal yang sama. Hidup ini kadang terasa penuh dengan ketidakpastian. Aku pernah membuka hati, dan itu sangat menyakitkan. Sekarang, aku merasa lebih baik jika tidak terlalu dekat dengan orang lain.”
Nina (dengan lembut):
“Aku paham. Tapi, kadang hidup memang membuat kita berada dalam ketidakpastian. Tidak ada yang bisa memastikan masa depan, tapi kita bisa memilih untuk hidup dalam kenyataan sekarang.”
Percakapan itu terasa berat, tapi juga memperdalam ikatan mereka. Mereka berdua mulai menyadari bahwa mereka memiliki ketakutan yang sama, ketakutan akan kehilangan dan terluka, tapi juga harapan akan kebahagiaan yang bisa mereka raih jika mereka berani mengambil langkah pertama.
Seiring berjalannya waktu, perasaan mereka semakin tumbuh, meskipun mereka berdua masih terjebak dalam ketakutan yang sama. Suatu sore, setelah satu semester berlalu, kampus mengadakan acara amal yang besar. Ada banyak kegiatan yang diikuti oleh mahasiswa, termasuk kegiatan olahraga dan bazar. Nina dan Fahri terlibat dalam satu tim untuk merencanakan sebuah proyek seni yang akan dipamerkan dalam acara tersebut. Keadaan ini memaksa mereka untuk lebih sering bekerja sama, dan perasaan mereka mulai berkembang lebih dalam.
Suatu hari, ketika mereka sedang bekerja di ruang proyek, tangan mereka kembali bertemu. Sentuhan itu lebih lama daripada yang sebelumnya, kali ini bukan karena kebetulan, tetapi karena mereka saling merasakan kebutuhan untuk terhubung lebih dalam. Fahri, yang biasanya sangat tertutup, tiba-tiba menatap Nina dengan penuh ketulusan.
Fahri:
“Nina, saya rasa kita tidak bisa terus seperti ini. Setiap kali saya melihat kamu, saya merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan. Tapi saya tidak tahu apakah saya siap untuk itu.”
Nina (dengan suara lembut):
“Saya juga merasakannya, Fahri. Tetapi… kita harus saling memberi kesempatan, bukan? Mungkin ini adalah kesempatan kita untuk mempercayai satu sama lain.”
Fahri menatap Nina dalam diam sejenak. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Nina, dan keduanya berada dalam momen yang penuh ketegangan, di mana dunia seolah berhenti. Dalam momen yang begitu singkat itu, mereka merasa bahwa semua keraguan dan ketakutan mereka menguap begitu saja. Mereka tahu bahwa ini adalah titik balik, titik di mana perasaan yang telah mereka pendam akhirnya menemukan jalan untuk keluar.
Saat itulah, tanpa ada kata-kata yang diucapkan, mereka akhirnya saling berpegangan tangan. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan perasaan yang mereka alami pada saat itu, tetapi mereka tahu bahwa mereka telah melewati batasan mereka. Perasaan rindu yang selama ini terpendam mulai meledak, dan mereka tahu bahwa ini bukanlah pertemuan biasa. Mereka telah menemukan satu sama lain dalam keheningan dan ketegangan yang telah lama terpendam.*
BAB 2: Jarak yang Memisahkan
Setelah Nina kembali ke Indonesia, mereka memutuskan untuk menjaga komunikasi meskipun jarak memisahkan. Mereka mulai berkomunikasi lewat telepon, pesan singkat, dan video call. Namun, semakin lama, komunikasi mereka semakin terhambat oleh kesibukan masing-masing.
Fahri yang tinggal di luar negeri mulai merasa semakin kesepian dan merindukan Nina. Sedangkan Nina, meskipun awalnya mencoba untuk tegar, mulai merasakan kehilangannya. Mereka berdua merasa bahwa meskipun komunikasi tetap ada, ada sesuatu yang hilang—yaitu kehadiran fisik satu sama lain.
Rindu yang semakin mendalam mulai menekan hati mereka. Ada saat-saat di mana mereka mulai meragukan apakah hubungan ini akan bertahan. Mereka tidak tahu berapa lama lagi mereka bisa menjaga cinta ini dengan hanya berlandaskan pada rindu dan komunikasi digital.
Di sisi lain, Nina mulai bertemu dengan orang baru yang memikat hatinya, namun bayangan Fahri tak pernah hilang. Sementara Fahri mulai merasa semakin terasing di dunia barunya dan bertanya-tanya apakah ia harus kembali ke Indonesia untuk mencari Nina atau melanjutkan hidupnya di luar negeri.
Mereka berdua saling mengungkapkan betapa besar rindu mereka. Fahri mengungkapkan bahwa ia sudah tidak sanggup lagi menjalani hubungan yang hanya berdasarkan pada jarak. Mereka harus membuat keputusan: apakah mereka akan melanjutkan hubungan ini, atau mengakhiri semuanya karena terlalu banyak rintangan.
Setelah pertemuan yang mendalam di bab sebelumnya, di mana Nina dan Fahri mulai membuka hati mereka satu sama lain, mereka menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka tak bisa bebas dari hambatan. Sebagai mahasiswa internasional yang sedang mengejar impian mereka, kehidupan mereka terpisah oleh jarak geografis yang tak terhindarkan.
Nina menerima tawaran beasiswa penuh untuk studi lanjutan di Eropa, sementara Fahri juga memiliki komitmen pada proyek risetnya yang membuatnya harus lebih banyak tinggal di kampus atau bepergian ke luar negeri untuk konferensi-konferensi ilmiah. Meskipun mereka mulai merasakan ketertarikan yang kuat satu sama lain, mereka tahu bahwa dunia mereka begitu berbeda.
Pada awalnya, mereka mencoba untuk mengabaikan kenyataan tersebut, percaya bahwa mereka dapat menghadapinya bersama-sama. Namun, ketika Nina harus pulang ke Indonesia selama liburan semester panjang, mereka mulai merasakan betapa besar jarak yang memisahkan mereka.
Nina (saat mengucapkan selamat tinggal):
“Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Fahri. Aku takut kita akan semakin jauh, semakin terpisah oleh waktu dan jarak.”
Fahri (menatap Nina dengan serius):
“Kita akan bertahan, Nina. Aku tidak ingin kehilangan kamu, meskipun aku tahu ini tidak mudah. Jarak hanya sebuah tantangan. Jika kita benar-benar saling peduli, kita pasti bisa melewatinya.”
Namun, meski keduanya berusaha tegar, ada keraguan yang mulai menyusup dalam hati mereka. Jarak fisik antara mereka, ditambah dengan kesibukan masing-masing, semakin menguji kekuatan hubungan yang baru mereka bangun.
Setelah Nina kembali ke Indonesia, mereka berdua merasa bahwa dunia mereka semakin terpisah. Setiap percakapan melalui video call terasa semakin kering, dan pesan-pesan singkat yang mereka kirimkan tampak seperti rutinitas yang dipaksakan. Waktu berbeda menjadi salah satu masalah utama—Nina sering kali merasa kelelahan setelah hari yang panjang di kampus, sementara Fahri yang sudah memasuki masa ujian juga merasakan tekanan dari tugas-tugasnya.
Namun, meskipun begitu, mereka berdua saling merindukan. Fahri yang biasanya tertutup, kini lebih sering mengirim pesan singkat, membagikan apa yang terjadi di sekitarnya, meskipun tidak selalu langsung menerima balasan. Nina, yang awalnya sangat bersemangat dan optimis, mulai merasakan kecemasan. Dia merasa terasingkan, terutama ketika melihat foto-foto pertemuan teman-temannya dengan keluarga mereka, atau cerita-cerita sederhana tentang kehidupan yang mereka jalani di tanah air.
Satu malam, setelah percakapan singkat melalui video call, Nina duduk di tepi ranjangnya dan menatap layar teleponnya. Meski mereka sudah berbicara lebih dari 30 menit, rasanya tetap ada sesuatu yang hilang. Jarak itu tak hanya mengukur fisik mereka, tapi juga hati mereka.
Nina (dalam hati):
“Apakah kita bisa tetap bertahan dengan kondisi seperti ini? Aku merasa seperti hidup di dua dunia yang berbeda—dunia yang aku tinggalkan di Indonesia, dan dunia baru yang sedang aku jalani di sini. Fahri juga ada di dunia yang berbeda, dan meskipun kita ingin berjuang, apakah kita bisa?”
Waktu berlalu, dan meskipun mereka terus berusaha menjaga komunikasi, ada hal yang mulai muncul di dalam diri masing-masing—rasa rindu yang tak terungkapkan. Di Indonesia, Nina merasakan kehilangan yang besar. Keluarganya, sahabat-sahabatnya, bahkan makanan dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang hanya bisa ditemui di rumah. Ia merasa sangat jauh, dan setiap kali berbicara dengan Fahri, ia merasa seolah ada dinding tak terlihat yang menghalangi mereka untuk benar-benar terhubung.
Nina (mengirim pesan suara kepada Fahri):
“Aku kangen, Fahri… rasanya aneh di sini. Meskipun aku bersama keluargaku, aku tetap merasa ada sesuatu yang hilang. Aku rindu… kamu.”
Mendengar pesan itu, Fahri merasa terenyuh. Rindu yang sama muncul dalam dirinya. Meskipun ia belum mengungkapkan perasaannya secara langsung, ia merasa bahwa hubungan mereka telah berkembang begitu jauh. Ia tak hanya merasa kehilangan, tetapi juga khawatir jika hubungan mereka akan memudar karena jarak yang memisahkan. Fahri memutuskan untuk menulis surat untuk Nina, meskipun ia merasa sedikit canggung dengan ekspresi perasaan yang belum pernah ia ungkapkan.
Fahri (dalam suratnya):
“Nina, aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ini. Jarak ini terasa begitu menyakitkan, dan aku tahu kamu juga merasakannya. Tapi, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak ingin kita berhenti berjuang. Aku ingin kita tetap berjalan bersama, meskipun dunia kita sangat berbeda. Aku akan menunggumu, sampai kita bisa bertemu lagi.”
Namun, meskipun ada keinginan kuat untuk menjaga hubungan ini tetap hidup, kenyataan hidup kembali muncul. Fahri semakin sibuk dengan studi dan tugasnya, sementara Nina terjebak dalam rutinitas keluarga dan tuntutan akademik. Ada hari-hari yang penuh keraguan, saat mereka merasa kesulitan untuk menemukan waktu yang tepat untuk berkomunikasi, dan rasa lelah yang teramat sangat sering mengganggu.
Nina (mengirim pesan kepada Fahri):
“Fahri, aku merasa seperti semuanya semakin jauh. Aku tahu kita berdua sibuk, tetapi aku tidak tahu apakah kita bisa terus seperti ini. Aku takut kita akan kehilangan satu sama lain.”
Malam itu, mereka berdua kembali berbicara melalui pesan teks. Mereka mencoba untuk menyembunyikan ketakutan mereka dengan kata-kata yang penuh harapan, tetapi di dalam hati mereka berdua, rasa cemas semakin besar. Apakah mereka akan tetap bertahan? Apakah ini hanya sementara? Ada ketakutan bahwa jarak akan membuat mereka semakin terpisah, semakin sulit untuk mempertahankan apa yang telah mereka bangun bersama.
Meskipun begitu, keduanya mulai belajar untuk bertahan dengan cara yang berbeda. Fahri lebih sering mengirim pesan atau surat singkat, bukan hanya untuk berbicara tentang kegiatan sehari-harinya, tetapi untuk mengingatkan Nina bahwa dia selalu ada untuknya. Nina, di sisi lain, berusaha lebih aktif dalam menjaga komunikasi, meskipun terkadang ia merasa lelah dan terisolasi. Rindu itu tak pernah hilang, meskipun jarak semakin membuat segalanya terasa sulit.
Suatu malam, setelah hampir seminggu tidak berkomunikasi, Nina membuka aplikasi pesan dan menemukan pesan dari Fahri. Pesan itu singkat, namun penuh makna:
Fahri:
“Aku tidak akan berhenti menunggu kita, Nina. Aku tahu ini berat, tapi aku ingin kita mencoba untuk bertahan. Karena aku percaya, pada akhirnya, kita akan menemukan jalan untuk kembali bersama.”
Pesan itu, meskipun singkat, mengingatkan Nina akan komitmen mereka satu sama lain. Perasaan mereka tidak pernah hilang, bahkan ketika jarak mencoba menghalangi mereka. Di saat-saat penuh ketidakpastian ini, mereka berdua mulai belajar untuk mengatasi rasa rindu dan ketakutan dengan cara yang lebih kuat. Mereka belajar bahwa kepercayaan dan harapan adalah kunci utama yang akan menjaga hubungan mereka tetap hidup, meskipun terpisah oleh jarak dan waktu.
Namun, perjalanan mereka tidaklah mudah. Setiap kali jarak semakin terasa, baik Nina maupun Fahri harus menghadapi kenyataan bahwa hidup mereka berbeda. Nina yang harus kembali menjalani kehidupan di Jakarta, bertemu dengan teman-teman lama, dan terlibat dalam kegiatan yang membawa kesenangan dan kebahagiaan sementara, merasa semakin rindu akan Fahri. Di sisi lain, Fahri yang sibuk dengan tugas-tugas akademiknya, merasa bahwa meskipun dia sangat ingin bertemu dengan Nina, kehidupan yang terlalu sibuk dan ambisius membuatnya sulit untuk fokus pada hubungan jarak jauh.
Namun, meskipun perasaan rindu terus menggema, ada kekuatan yang tidak terlihat yang semakin menguatkan mereka berdua. Setiap kali mereka berbicara, mereka menemukan cara untuk saling mendukung, meskipun dengan cara yanga merasa lelah da
Meskipun mereka berusaha untuk tetap berkomunikasi, jarak fisik dan waktu yang berbeda semakin membuat hubungan mereka terasa rapuh. Setiap kali mereka berbicara, percakapan itu sering kali terasa terlalu singkat atau tidak memadai. Fahri mulai merasa kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang sama seperti saat mereka bertemu langsung. Nina, di sisi lain, merasa terisolasi. Meskipun ia berada di tengah keluarganya dan teman-temannya, ia tak bisa mengabaikan rasa kehilangan yang terus mengganggu.
Ada hari-hari ketika mereka hanya berbicara beberapa menit, berbicara tentang kegiatan sehari-hari atau pekerjaan mereka masing-masing, tetapi ada juga hari-hari yang penuh dengan kesunyian. Nina sering kali merasa bingung dan cemas ketika tidak mendapatkan kabar darinya. Rasa cemas itu datang begitu saja, membuatnya terbayang-bayang dalam ketidakpastian, seperti seolah-olah hubungan ini hanya ada dalam bayang-bayang saja.
“Fahri, aku merasa semakin jauh. Rasanya kita sudah semakin sulit berkomunikasi, semakin jarang berbicara. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kamu benar-benar baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, Nina. Jangan khawatir. Tapi aku juga merasa kesulitan. Ada banyak hal yang harus aku urus di sini, dan kadang-kadang aku merasa begitu lelah. Aku tidak ingin kamu merasa ditinggalkan. Aku benar-benar ingin terus menjaga hubungan ini.”
Namun, meskipun percakapan ini terdengar baik-baik saja, Nina tetap merasa perasaan itu kian memudar. Jarak membuat mereka semakin merasa terpisah, meskipun mereka berdua masih berusaha menjaga harapan.
Rindu adalah perasaan yang paling kuat di antara mereka berdua. Ketika mereka tidak dapat berbicara selama beberapa hari, perasaan itu semakin menekan dada mereka. Nina, yang sebelumnya bisa menghabiskan waktu dengan kegiatan kampus dan teman-temannya, kini merasa kosong tanpa adanya kabar dari Fahri. Begitu juga dengan Fahri, yang meskipun sibuk, merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya ketika Nina tidak ada.
Pada suatu malam yang penuh hujan, Nina duduk sendiri di kamarnya. Ia menatap foto lama mereka yang diambil pada hari pertemuan pertama mereka di kampus, sebuah momen yang kini terasa sangat jauh. Ia merindukan suara Fahri, cara dia tersenyum, cara dia mengajaknya bicara seakan dunia hanya milik mereka berdua.
“Kenapa ini terasa begitu berat? Kenapa aku merasa semakin terasing? Bukankah kita sudah berusaha sebaik mungkin? Tapi, rasanya setiap hari aku semakin merasa jauh darimu, Fahri. Apakah ini semua hanya ilusi?”
Tetesan hujan dari luar jendela semakin memperburuk perasaan itu. Di luar sana, dunia bergerak maju, sementara di dalam hatinya, ada perasaan kosong yang mulai mengisi setiap sudut pikirannya.
Sementara itu, di tempat lain, Fahri juga sedang terjebak dalam perasaan yang serupa. Dia merasa cemas, tapi tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Keputusannya untuk tetap menjaga hubungan ini semakin sulit, terutama ketika segala hal di sekitarnya semakin terasa menantang. Tugas kuliah, penelitian, dan kesibukannya di luar negeri membuatnya merasa tertekan.
“Aku tahu aku tidak bisa memberi banyak waktu seperti dulu, Nina. Aku merasa sangat terbebani dengan semua yang terjadi di sini. Aku tidak ingin kamu merasa terbengkalai, tapi aku juga tidak ingin kita berhenti. Aku berjanji, aku akan berusaha lebih baik.”“Aku mengerti, Fahri. Aku juga berusaha. Tapi terkadang aku merasa… aku merasa kita semakin terpisah. Aku tidak tahu bagaimana bisa terus seperti ini…”
Keduanya merasa cemas, tetapi masing-masing mencoba untuk menenangkan diri sendiri, berharap bahwa waktu dan usaha akan membuktikan segalanya. Namun, ketakutan akan kehilangan dan rindu yang tak terungkapkan semakin meresap dalam hubungan mereka.
Di tengah segala ketidakpastian ini, momen-momen keheningan justru memberi mereka waktu untuk merenung. Keduanya mulai mencari cara untuk mengisi kekosongan ini dengan hal-hal kecil. Nina mulai menulis di jurnal pribadinya, mencurahkan semua perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan kepada Fahri. Fahri juga mulai mencoba meluangkan waktu untuk menulis surat-surat yang tak terucapkan, meskipun itu hanya untuk dirinya sendiri.
Namun, ada saat-saat ketika rasa rindu menjadi terlalu kuat. Mereka tidak bisa menahan perasaan mereka lebih lama. Di suatu malam, setelah lebih dari dua minggu tanpa komunikasi yang memadai, Nina memutuskan untuk menghubungi Fahri, meskipun hatinya penuh dengan ketakutan dan kebingungan.
“Fahri, aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Rasanya aku sudah sangat rindu padamu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Tapi, aku juga merasa kita semakin jauh. Aku takut… jika kita terus begini, kita akan kehilangan satu sama lain. Aku hanya ingin tahu… apakah kita bisa melewati ini bersama-sama?”
Fahri, yang sedang berada di luar kampus dalam perjalanan pulang, membaca pesan Nina dengan perasaan campur aduk. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa berat perasaan yang ia rasakan. Ia merasa sangat rindu, tetapi juga sangat terhimpit oleh segala beban yang ada.“Nina, aku juga sangat rindu padamu. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku tahu ini sulit, tetapi aku ingin kita terus berusaha. Jarak ini memang membuat segalanya terasa lebih berat, tapi aku percaya kita bisa melewatinya. Aku tidak akan menyerah, dan aku berharap kamu juga begitu.”
“Aku juga tidak ingin menyerah. Kita harus tetap berjuang, meskipun rasanya sangat berat. Terima kasih sudah memberi aku harapan.”
Keduanya saling mengirimkan pesan singkat yang penuh dengan kata-kata yang menenangkan, tetapi di dalam hati mereka, ada perasaan yang lebih dalam—perasaan yang lebih sulit diungkapkan, tetapi semakin menguatkan tekad mereka untuk bertahan.
Jarak yang memisahkan mereka semakin terasa berat, tetapi di sisi lain, mereka juga mulai menyadari bahwa cinta mereka tumbuh lebih kuat setiap harinya. Rindu itu bukan hanya sebuah perasaan yang mengikat mereka, tetapi juga sebuah komitmen yang semakin dalam. Meskipun jarak memisahkan mereka, mereka menemukan cara untuk menghargai setiap momen kecil yang mereka miliki bersama, meskipun itu hanya melalui pesan singkat, panggilan video, atau surat-surat yang mereka tulis satu sama lain.
Namun, keduanya tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah. Setiap hari adalah ujian baru bagi mereka untuk tetap berhubungan, dan mereka harus berjuang untuk menjaga kepercayaan satu sama lain. Jarak memang memisahkan mereka, tetapi cinta mereka tidak pernah berhenti berkembang.
Pada akhirnya, mereka tahu bahwa komitmen mereka satu sama lain adalah hal yang paling penting. Meskipun tak ada jaminan bahwa mereka akan selalu bersama, mereka berdua sepakat untuk terus berusaha dan membuktikan bahwa meskipun dunia mereka terpisah oleh jarak, mereka bisa tetap menjaga cinta mereka hidup, bahkan ketika rindu itu semakin menggigit.*
Bab 3: Ujian Rindu dan Kepercayaan
Alya merasa bingung dan semakin tertekan dengan jarak yang makin menjauhkan mereka. Sementara itu, Rian merasa kesulitan untuk menghadapi kenyataan bahwa ia tidak bisa selalu ada di sisi Alya.
Percakapan mereka yang semakin jarang dan ketegangan yang terjadi membuat Alya bertanya-tanya apakah mereka bisa melanjutkan hubungan ini.
Rian mulai merasa cemas tentang masa depan hubungan mereka, apakah semuanya hanya akan berakhir karena perbedaan jarak dan waktu.
Ketegangan meningkat ketika Alya merasa kesepian dan terabaikan, sementara Rian merasa terjepit oleh kewajiban kuliah dan pekerjaan part-time di luar negeri.
Mereka menghadapi ujian besar dalam hal kepercayaan, terutama ketika Alya mendengar kabar bahwa Rian mungkin berkenalan dengan orang lain di luar negeri.
Setelah beberapa bulan menjalani hubungan jarak jauh, Nina dan Fahri mulai merasakan ujian terbesar mereka: rindu yang semakin tak terhindarkan. Meskipun keduanya memiliki komitmen untuk terus menjaga hubungan ini, kenyataan jarak dan waktu seringkali membuat mereka merasa terasingkan.
Nina merasakan rindu yang menggerogoti. Setiap kali ia bangun pagi, ia merindukan suara Fahri yang menyapa, senyumnya yang menghangatkan hati, dan kebersamaan mereka yang sudah mulai terasa seperti kenangan. Namun, kenyataan berkata lain: Fahri jauh di sana, dengan kesibukan yang semakin menumpuk. Meskipun mereka masih berkomunikasi, ada jarak emosional yang terasa semakin dalam.
“Fahri, aku rindu. Aku rindu saat-saat kita hanya bisa duduk bersama, bercerita tentang apapun tanpa harus khawatir dengan waktu. Sekarang, kita seperti dua orang yang terjebak dalam dunia masing-masing, bukan? Aku merasa kita semakin jauh.”
“Aku tahu, Nina. Aku juga merindukanmu. Aku merasa seperti tidak bisa cukup untukmu dengan segala kesibukanku di sini. Tapi aku janji, aku berusaha untuk selalu ada, meskipun hanya dalam kata-kata.”
Namun, seiring berjalannya waktu, rindu itu menjadi ujian yang sulit mereka tanggung. Mereka berdua mulai merasakan keraguan. Apakah mereka masih bisa mempertahankan hubungan ini? Apakah jarak akan memisahkan mereka lebih jauh lagi? Rindu, yang dulunya terasa indah, kini berubah menjadi beban yang menguji ketahanan hubungan mereka.
Pada suatu malam, setelah beberapa hari tidak berkomunikasi dengan Fahri, Nina terbangun dari tidur dan merasakan kekosongan yang luar biasa. Ia merasa tidak bisa melanjutkan hidup dengan hanya berfokus pada kesibukan akademiknya. Keinginannya untuk berbicara dengan Fahri, untuk merasakan kehadirannya kembali, semakin kuat. Tetapi, seperti biasa, ketakutannya untuk mengganggu Fahri dengan kesibukannya membuatnya menahan diri.
Di sisi lain, Fahri juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia berpikir tentang Nina, ada rasa cemas yang mulai meresap. Mereka berdua terjebak dalam kerinduan yang dalam namun tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Mereka masing-masing ingin memberi ruang bagi satu sama lain untuk berkembang, tetapi rasa kehilangan dan keraguan mulai merusak kepercayaan mereka.“Nina, aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku katakan. Aku tahu kita sedang menghadapi jarak yang besar, tetapi aku merasa kita semakin jauh, bahkan lebih dari sebelumnya. Aku takut… aku takut aku akan kehilanganmu.”
Fahri menekan tombol ‘hapus’ dan mengubah pesan itu menjadi lebih singkat. Kecemasannya tentang hubungan ini semakin mendalam. Dia tidak ingin Nina merasa terbebani dengan rasa rindunya, tetapi ia juga tidak bisa menahan perasaan itu. Ketakutan akan kehilangan Nina menjadi begitu kuat sehingga membuatnya ragu apakah mereka bisa bertahan lebih lama.
Seiring waktu, meskipun mereka berusaha untuk menjaga komunikasi, kepercayaan yang mereka bangun mulai diuji. Nina yang sudah semakin terisolasi di Indonesia, merasa bahwa Fahri yang sibuk dengan kehidupan akademiknya tidak lagi memberikan perhatian yang sama seperti dulu. Fahri di sisi lain, merasa bahwa Nina mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman baru dan keluarganya. Meskipun mereka tidak secara langsung mengungkapkannya, kecurigaan dan ketidakpercayaan mulai menyusup.
Nina (dalam pesan):
“Fahri, aku tahu kamu sibuk, tapi kenapa aku merasa semakin terabaikan? Seperti ada jarak yang bukan hanya fisik, tapi juga emosional.”
“Aku tidak pernah berniat untuk mengabaikanmu, Nina. Aku hanya merasa bahwa aku harus fokus pada studiku sekarang, dan aku takut jika aku terlalu banyak memikirkan hubungan kita, itu akan mengganggu segala hal. Tapi aku janji, kamu tidak akan pernah aku lupakan.”
Meskipun pesan ini terdengar menenangkan, perasaan ketidakpercayaan mulai mencuat. Nina merasa kehilangan Fahri dalam cara yang lebih dalam daripada hanya jarak fisik. Kehilangan kedekatan emosional membuatnya bertanya-tanya, apakah mereka masih memiliki sesuatu yang sama seperti dulu.
Suatu hari, Fahri mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Indonesia untuk sebuah konferensi akademik. Ini adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Nina. Ia merasa akhirnya bisa bertemu langsung dengan Fahri setelah berbulan-bulan terpisah. Namun, pertemuan ini justru mengungkapkan keraguan yang lebih dalam.
Saat bertemu di bandara, Nina merasa canggung. Mereka tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan setelah begitu lama terpisah. Meski ada pelukan hangat dan senyuman di wajah mereka, ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Mereka merasa asing satu sama lain, seperti dua orang yang bertemu setelah sekian lama.
Nina (dalam pikiran):
“Kenapa semuanya terasa berbeda? Aku merindukanmu, tetapi rasanya tidak seperti dulu lagi. Kenapa kita menjadi begitu canggung satu sama lain?”
“Nina, aku tahu ini tidak mudah. Aku merasa seperti aku telah kehilangan banyak dari diriku sendiri dalam beberapa bulan terakhir ini. Aku tidak tahu apakah kita masih bisa kembali seperti dulu.”
“Aku merasakan hal yang sama, Fahri. Aku merindukanmu, tetapi aku juga merasa bahwa kita sudah berubah. Kita tidak seperti dulu, kan?”
Namun, meskipun ada ketegangan dan perasaan canggung, mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini adalah titik balik yang sangat penting. Mereka harus menghadapinya, meskipun kenyataan bahwa hubungan mereka tidak lagi seperti dulu harus diterima.
Setelah beberapa hari bersama, Nina dan Fahri menghabiskan banyak waktu untuk merenung dan berbicara tentang hubungan mereka. Mereka menyadari bahwa rindu yang begitu dalam tidak cukup untuk menjaga hubungan tetap kuat. Mereka harus memperbarui komitmen mereka satu sama lain. Namun, itu bukanlah hal yang mudah.
Fahri (berbicara setelah pertemuan panjang):
“Nina, aku tahu aku telah gagal memberikan yang terbaik untukmu dalam beberapa bulan terakhir. Aku terfokus pada studi dan banyak hal lainnya. Tapi, aku ingin kita mulai lagi dari awal. Aku ingin kita membangun kembali kepercayaan itu.”
“Aku juga ingin itu, Fahri. Tapi aku takut, takut kita akan semakin jauh. Rindu ini membuatku takut kehilangan kamu.”
Namun, mereka berdua sepakat untuk menghadapi rindu ini bersama-sama. Kepercayaan yang tergoyah akhirnya mulai dibangun kembali dengan perlahan. Mereka menyadari bahwa meskipun jarak terus menjadi ujian, rindu dan kepercayaan adalah hal yang harus mereka rawat dengan hati-hati.
Setelah percakapan yang panjang dan penuh emosi, mereka berdua menyadari bahwa perjalanan mereka tidak mudah, tetapi mereka masih ingin berjuang untuk satu sama lain. Mereka sepakat untuk melakukan apa pun agar bisa tetap bersama, meskipun perjalanan itu tidak akan mudah.
Nina (berbicara dengan penuh keyakinan):
“Aku tahu, kita akan terus berjuang, meskipun itu sangat berat. Aku ingin kita membuktikan bahwa kita bisa melawan rindu dan jarak ini. Aku percaya pada kita.”
Fahri (menatap Nina dengan penuh cinta):
“Aku juga percaya, Nina. Tidak ada yang lebih berharga bagiku selain kita.”*
BAB 4: Menghadapi Tantangan Baru
Kehidupan mereka bersama mulai berjalan, tetapi tantangan baru muncul. Meskipun mereka berdua berusaha keras untuk mempertahankan hubungan mereka, ada banyak aspek dalam kehidupan nyata yang membuat hubungan mereka teruji—karier yang sibuk, perbedaan budaya, dan ekspektasi dari orang lain.
Nina dan Fahri harus belajar untuk saling mendukung dan mengatasi masalah yang datang tanpa membiarkan perasaan rindu menguasai mereka lagi. Mereka harus mengubah cara mereka berkomunikasi dan saling menghargai.
Mereka mulai merencanakan masa depan bersama. Fahri memutuskan untuk membuka usaha di Indonesia, sementara Nina juga mencari cara untuk mengembangkan kariernya. Mereka mulai membangun impian bersama—memiliki rumah bersama, memiliki keluarga, dan terus berjuang untuk hubungan yang lebih kuat.
Mereka mengatasi banyak rintangan dengan kesabaran dan cinta yang lebih matang. Mereka menyadari bahwa meskipun hidup mereka tidak sempurna, cinta mereka adalah kekuatan yang tak tergoyahkan.
Setelah pertemuan yang penuh emosi dan pembicaraan mendalam, Fahri dan Nina memutuskan untuk kembali menjalani hubungan mereka dengan penuh kesadaran dan komitmen. Namun, kehidupan mereka kembali menghadapi tantangan besar begitu mereka kembali ke rutinitas masing-masing. Mereka menyadari bahwa meskipun mereka telah memperbaharui komitmen mereka, dunia mereka masih dipenuhi oleh tantangan-tantangan baru yang harus mereka hadapi.
Bagi Nina, kembali ke kehidupan kampusnya setelah seminggu penuh dengan pertemuan yang emosional dengan Fahri terasa seperti pulang ke realitas. Dia merasa kehilangan sedikit semangat yang ia rasakan selama beberapa bulan terakhir, tetapi kini perasaan itu muncul kembali—rasa kesepian yang terkadang menghampiri, terutama setelah menghabiskan waktu begitu lama bersama Fahri. Keadaan yang tak bisa diprediksi ini membuatnya merasa seperti terjepit antara kebahagiaan yang sementara dan kenyataan yang sulit diterima.
Nina harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun ia merasa dekat dengan Fahri, ada banyak aspek kehidupan yang tak bisa mereka kontrol. Tugas kuliah, teman-teman, dan komitmen terhadap keluarga adalah hal-hal yang tak bisa diabaikan begitu saja. Meski sudah berusaha menenangkan diri, ada kalanya keraguan kembali muncul dalam pikirannya.
Nina (dalam pesan kepada Fahri):
“Aku merasa hidup ini kembali seperti dulu, penuh dengan keraguan dan kesibukan. Aku ingin semuanya lebih mudah, tetapi entah kenapa, rasanya semakin berat.”
Fahri juga tidak jauh berbeda. Setelah kembali ke negara tempat ia melanjutkan studi, ia merasa tertekan oleh kenyataan bahwa kehidupannya yang sibuk tidak memberi banyak ruang untuk hubungan jarak jauh. Keterbatasan waktu dan tuntutan akademis membuatnya merasa seperti harus memilih antara fokus pada masa depan karier atau memperjuangkan hubungan dengan Nina. Meski begitu, perasaannya pada Nina tetap menjadi prioritasnya, tetapi semakin hari ia merasa bahwa ia semakin terisolasi dari dunia di sekitarnya.
Fahri (menulis di jurnalnya):
“Kenapa aku merasa terjepit? Kenapa aku merasa seperti harus memilih? Hubungan ini penting bagiku, tetapi sepertinya segala sesuatunya semakin jauh.”
Salah satu tantangan terbesar yang mereka hadapi adalah komunikasi yang kembali terganggu. Meskipun mereka telah sepakat untuk berusaha lebih keras, realita kehidupan sehari-hari semakin menghalangi mereka untuk menjaga komunikasi dengan lancar. Fahri, yang disibukkan dengan tugas akademis, sering kali terlambat membalas pesan, atau kadang malah tidak membalas sama sekali. Di sisi lain, Nina merasa cemas dan mulai berpikir negatif ketika hal ini terjadi.
Nina (dalam pesan teks):
“Fahri, kenapa kamu semakin sulit dihubungi? Aku merasa seperti tidak penting lagi bagimu.”
Fahri (membalas dengan penjelasan):
“Maafkan aku, Nina. Aku sangat sibuk akhir-akhir ini, tetapi aku berusaha untuk tetap ada untukmu. Aku tidak ingin kamu merasa seperti itu, tapi terkadang beban kuliah membuatku kewalahan.”
Namun, meskipun Fahri mencoba menjelaskan, Nina merasakan ketidakpastian. Setiap kali Fahri tak membalas pesan atau terlambat memberikan respon, rasa takut kehilangan kembali menghantui dirinya. Jarak bukanlah satu-satunya tantangan yang mereka hadapi, tetapi kehilangan koneksi emosional yang mereka rasakan mulai memberi tekanan besar pada hubungan mereka.
Kepercayaan, yang telah diperjuangkan dengan susah payah setelah ujian jarak dan waktu, kembali diuji dengan berbagai kejadian yang menyentuh perasaan mereka. Salah satu yang cukup besar adalah ketika Nina mendengar gosip tentang Fahri yang terlibat dalam kegiatan yang tidak jelas di luar kampus. Salah satu temannya, yang kebetulan juga mengetahui Fahri, memberi tahu Nina tentang sebuah pertemuan yang terjadi di luar negeri antara Fahri dan beberapa teman wanita.
Nina (dalam hati, penuh keraguan):
“Apakah itu benar? Kenapa aku merasa tidak tenang? Kenapa aku merasa ragu lagi? Aku tidak ingin percaya gosip, tetapi aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.”
Kepercayaan Nina mulai tergoyah. Ia merasa marah dan bingung, tetapi tidak ingin terburu-buru menyimpulkan tanpa bukti. Namun, rasa cemas semakin meresap, dan Nina memutuskan untuk mengonfrontasi Fahri tentang hal ini.
Nina (mengirim pesan teks kepada Fahri):
“Fahri, aku mendengar tentang sesuatu yang tidak mengenakkan. Apa benar kamu bertemu dengan beberapa wanita di luar negeri? Aku hanya ingin tahu kebenarannya.”
Fahri (membaca pesan Nina dengan hati-hati):
“Nina, aku tidak pernah ingin membuatmu merasa cemas. Itu benar bahwa aku bertemu dengan teman-temanku, beberapa dari mereka adalah wanita, tapi itu hanya pertemuan biasa. Tidak ada yang lebih dari itu. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini. Aku minta maaf kalau itu membuatmu merasa tidak nyaman.”
Namun, meskipun penjelasan Fahri terdengar meyakinkan, Nina merasa kesulitan untuk mengembalikan rasa percaya itu. Rasa takut akan kehilangan dan keraguan yang muncul lagi membuatnya merasa terjebak dalam perasaan yang sulit dijelaskan. Pada titik ini, mereka berdua mulai merasakan bahwa kepercayaan adalah hal yang paling sulit dipertahankan dalam hubungan jarak jauh.
Di tengah ujian kepercayaan yang mengganggu, mereka mulai menyadari bahwa mereka perlu beradaptasi dengan kenyataan baru. Fahri merasakan bahwa ia harus lebih terbuka kepada Nina mengenai kehidupan pribadinya, dan tidak hanya berfokus pada akademis dan pertemanannya saja. Begitu juga dengan Nina, ia harus belajar untuk lebih percaya pada Fahri dan tidak membiarkan keraguan menguasai dirinya.
Fahri (melalui video call):
“Nina, aku tahu ini sulit. Aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat serius dengan hubungan ini. Aku tidak ingin ada lagi keraguan di antara kita. Aku berjanji akan lebih terbuka dan berusaha lebih keras.”
Nina (menatapnya dengan lembut):
“Aku juga, Fahri. Aku ingin percaya, tapi aku takut jika aku terlalu berharap, aku akan terluka lagi. Tapi, aku tahu kita harus memberi ruang untuk satu sama lain. Kita harus mulai dari awal lagi.”
Fahri (dengan penuh keyakinan):
“Kita akan berusaha bersama, Nina. Aku tidak akan menyerah pada kita.”
Pada akhirnya, mereka berdua menyadari bahwa untuk bisa bertahan dalam hubungan ini, mereka harus menghadapi tantangan dengan keberanian. Tantangan baru, baik itu kepercayaan yang goyah, jarak yang memisahkan, atau keraguan yang datang, harus dihadapi dengan komitmen dan saling mendukung.
Setelah melalui pembicaraan panjang, mereka akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah besar dalam hubungan mereka. Fahri akan berusaha untuk lebih terlibat dalam kehidupan Nina, sementara Nina berjanji untuk lebih sabar dan memberi ruang bagi Fahri untuk berkembang. Mereka menyadari bahwa perubahan itu perlu agar hubungan ini dapat bertahan dalam jangka panjang.
Fahri:
“Kita harus belajar untuk memberi lebih banyak, bukan hanya menerima. Aku ingin kita saling mendukung, tidak hanya ketika semuanya mudah, tapi juga saat sulit.”
Nina:
“Aku setuju. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketakutan atau keraguan. Aku ingin kita menghadapi ini bersama-sama, apapun tantangannya.”
Setelah melalui serangkaian percakapan dan ujian emosional, Fahri dan Nina mulai menyadari bahwa mereka tidak bisa terus menerus hidup dalam ketidakpastian. Mereka perlu membangun kembali pondasi hubungan mereka, tidak hanya berdasarkan perasaan, tetapi juga dengan rencana yang lebih konkret untuk masa depan. Jarak yang terus menguji mereka akhirnya menjadi titik tolak untuk merenung dan berpikir secara lebih matang tentang bagaimana hubungan ini bisa bertahan.
Fahri (dalam percakapan melalui video call):
“Nina, aku tahu kita telah banyak berjuang sejauh ini. Tapi aku merasa kita harus mulai merencanakan lebih banyak untuk masa depan kita. Aku ingin tahu, apakah kita punya gambaran bersama tentang bagaimana kita bisa menghadapi jarak ini?”
Nina (tersenyum, namun ada kelelahan di matanya):
“Aku rasa kamu benar, Fahri. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku ingin tahu apakah kita akan selalu seperti ini, atau apakah suatu saat nanti kita bisa berada di tempat yang sama. Aku tidak ingin merasakan kesepian ini selamanya.”
Fahri (mengangguk, menyadari beratnya kata-kata Nina):
“Aku juga, Nina. Aku sudah memikirkan banyak hal. Mungkin kita harus mulai menyusun rencana yang lebih serius. Mungkin kita bisa merencanakan pertemuan lebih sering, atau bahkan memikirkan bagaimana kita bisa berada di kota yang sama suatu saat nanti.”
Nina:
“Mungkin kita bisa mencari cara untuk mengurangi jarak ini. Mungkin aku bisa melanjutkan kuliah di tempat yang lebih dekat denganmu, atau kamu yang bisa pindah ke tempat yang lebih mudah dijangkau. Kita tidak tahu apakah ini akan berhasil, tapi aku pikir kita harus mencobanya.”
Dengan berbicara tentang masa depan yang lebih konkret, mereka mulai merasa ada harapan baru yang muncul. Rencana jangka panjang menjadi sesuatu yang lebih bisa dijangkau, memberikan mereka visi yang lebih jelas tentang apa yang bisa mereka capai bersama. Mereka berdua sepakat untuk tidak lagi membiarkan jarak menjadi penghalang utama dalam hubungan mereka, dan mulai berpikir bagaimana mereka bisa lebih sering bertemu.
Meski mereka menyusun rencana untuk masa depan, tantangan nyata yang mereka hadapi adalah bagaimana mengelola waktu di tengah kesibukan masing-masing. Fahri yang sibuk dengan tugas akademik, sering merasa terjebak dalam rutinitas yang padat, sementara Nina, meskipun lebih bebas waktunya, merasa terkadang kesepian karena tidak ada orang di dekatnya yang bisa ia ajak berbagi perasaan. Meskipun komunikasi mereka semakin baik, kualitas waktu bersama tetap menjadi tantangan yang sulit.
Pada suatu malam, Fahri dan Nina melakukan panggilan video panjang, tetapi Nina merasa cemas karena percakapan mereka berakhir begitu cepat.
Nina:
“Fahri, aku merasa meskipun kita selalu berkomunikasi, kadang aku masih merasa kurang. Seperti ada sesuatu yang hilang. Kita hanya ngobrol tentang hal-hal biasa, tapi aku ingin lebih dari itu.”
Fahri (menatap layar dengan serius):
“Aku mengerti, Nina. Aku rasa kita berdua perlu lebih banyak waktu berkualitas bersama, tidak hanya lewat pesan atau video call yang terburu-buru. Aku ingin kita bisa merasakan kehadiran satu sama lain, meski hanya lewat percakapan.”
Nina (dengan nada lembut):
“Aku ingin itu juga, Fahri. Aku ingin merasakan kehadiranmu, mendengar ceritamu secara langsung. Aku tidak ingin kita terjebak dalam rutinitas yang hanya mengandalkan komunikasi digital.”
Fahri:
“Mungkin kita bisa merencanakan waktu-waktu tertentu untuk benar-benar fokus pada satu sama lain. Tanpa gangguan, tanpa pekerjaan atau hal lain yang menghalangi kita.”
Mereka sepakat untuk menciptakan kebiasaan baru: mengatur waktu khusus untuk berbicara tanpa gangguan, memberi ruang bagi perasaan mereka untuk tumbuh. Hal ini memberi mereka kesempatan untuk merasakan kedekatan emosional yang lebih dalam, yang sangat penting dalam hubungan jarak jauh.
Namun, meskipun mereka sudah menyusun rencana dan berusaha keras untuk menjalani hubungan ini, tantangan lain datang dari luar, terutama dari keluarga dan teman-teman mereka. Nina mendengar komentar dari temannya yang meragukan hubungan jarak jauh mereka, sementara Fahri merasa tertekan oleh harapan keluarganya agar ia lebih fokus pada studi dan karier daripada pada hubungan romantis.
Teman Nina (dalam percakapan santai):
“Nina, aku tahu kamu sangat mencintai Fahri, tapi bagaimana kalau hubungan jarak jauh ini hanya akan membuatmu semakin terpuruk? Apa kamu benar-benar siap untuk itu?”
Nina (terdiam sejenak, merenung):
“Aku juga kadang bertanya-tanya. Tapi, jika aku menyerah sekarang, aku akan menyesal seumur hidup. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia.”
Di sisi lain, Fahri merasakan tekanan yang besar dari keluarganya, terutama ibunya, yang ingin dia fokus pada studi dan kariernya tanpa terbebani oleh hubungan jarak jauh. Ia sering kali merasa tidak cukup memberi perhatian pada Nina karena terlalu terfokus pada tugas-tugas akademiknya.
Ibu Fahri (dalam percakapan telepon):
“Fahri, kamu harus fokus pada masa depanmu. Jangan biarkan hubunganmu menghalangi impianmu. Nina juga harus mengerti kalau kamu sedang berjuang untuk sesuatu yang lebih besar.”
Fahri (menyendiri setelah percakapan itu):
“Aku tahu, Bu. Tapi aku juga tidak ingin kehilangan Nina. Aku merasa dua hal ini saling bertentangan. Aku harus membuat keputusan yang tepat.”
Di titik ini, Fahri dan Nina mulai merasa bahwa hubungan mereka harus melalui uji tekanan dari luar, baik dari teman, keluarga, maupun ekspektasi masing-masing. Mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya berjuang melawan jarak dan waktu, tetapi juga harapan dan norma sosial yang sering kali menguji ketahanan hubungan mereka.
Pada titik ini, keduanya merasa bahwa mereka harus membuat keputusan besar: apakah mereka akan bertahan dengan perjuangan ini ataukah mereka akan memilih untuk melepaskan? Mereka berdua tahu bahwa jalan yang mereka pilih akan sangat sulit, tetapi juga tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mempertahankan hubungan yang sudah mereka bangun dengan susah payah.
Fahri:
“Nina, aku tahu kita sudah melewati banyak hal. Tapi aku tidak bisa menjanjikan semuanya akan sempurna. Kita harus siap menghadapi lebih banyak ujian di masa depan.”
Nina:
“Aku tahu, Fahri. Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan. Tapi aku percaya kita bisa melalui semua ini. Aku ingin kita mencoba, tidak hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan yang lebih cerah.”
Akhirnya, mereka memutuskan untuk berjuang bersama, meskipun itu tidak mudah. Mereka sepakat bahwa mereka harus mengatasi segala tantangan—baik yang datang dari dalam hubungan mereka sendiri, maupun dari tekanan dunia luar. Dengan komitmen yang lebih kuat, mereka melangkah maju, yakin bahwa setiap tantangan adalah peluang untuk memperkuat cinta mereka.
Di akhir bab ini, Fahri dan Nina menyadari bahwa perjalanan mereka tidak akan pernah mudah, tetapi mereka berdua tidak lagi takut menghadapi masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka akan selalu penuh dengan tantangan—baik dari jarak, perbedaan waktu, dan tekanan sosial. Namun, mereka juga percaya bahwa selama mereka saling mendukung dan memahami satu sama lain, mereka bisa menghadapinya bersama.*
BAB 5: Cinta yang Abadi
Setelah beberapa tahun, hubungan Nina dan Fahri semakin kuat. Mereka menikah dan membangun keluarga kecil yang bahagia. Rindu yang dulu terasa begitu menyesakkan kini menjadi kenangan indah yang menguatkan hubungan mereka.
Mereka berbagi kehidupan dengan penuh cinta dan kebahagiaan, dan mereka tahu bahwa meskipun mereka telah menghadapi banyak ujian, cinta mereka akan selalu bertahan.
Cerita diakhiri dengan mereka berjalan bersama di tengah jalan yang penuh dengan kenangan indah, mengenang perjalanan cinta mereka yang penuh dengan rindu dan pengorbanan. Mereka menyadari bahwa meskipun jarak dan waktu bisa memisahkan, cinta sejati akan selalu kembali menemukan jalannya.
Setelah melalui serangkaian ujian dalam hubungan mereka, baik jarak, waktu, dan keraguan yang datang dari luar, Fahri dan Nina akhirnya menyadari bahwa cinta mereka telah melalui transformasi yang jauh lebih dalam daripada sekadar ikatan fisik atau emosional. Mereka telah melewati banyak hal bersama yang mengajarkan mereka untuk saling mengerti dan menerima kekurangan satu sama lain.
Fahri sekarang lebih mampu melihat hubungan mereka dengan lebih bijak. Nina, yang tadinya merasa bahwa cinta adalah tentang kepemilikan dan kehadiran fisik, kini mulai memahami bahwa cinta sejati adalah tentang kepercayaan, pengorbanan, dan komitmen yang mendalam. Mereka berdua tidak lagi terjebak dalam ilusi bahwa cinta hanya ada saat mereka bersama secara fisik. Kini, mereka mulai mengerti bahwa cinta yang abadi adalah cinta yang dapat bertahan meski jarak dan waktu memisahkan mereka.
Pada suatu malam yang tenang, Fahri dan Nina duduk bersama, berbicara tentang perjalanan mereka. Mereka mulai merasakan bahwa hubungan mereka telah berubah menjadi sesuatu yang lebih daripada sekadar hubungan jarak jauh yang penuh tantangan.
Fahri (mendalam):
“Nina, aku mulai menyadari sesuatu. Cinta bukan hanya tentang berada di dekat satu sama lain. Kita telah belajar untuk menghargai jarak, untuk menyadari pentingnya ruang pribadi, dan bagaimana saling memberi dukungan meski tidak selalu bersama.”
Nina (tersenyum, mengangguk):
“Aku juga merasa begitu, Fahri. Dulu aku berpikir kalau kita harus selalu bersama, saling mengisi setiap waktu. Tapi sekarang aku tahu bahwa cinta kita justru semakin kuat saat kita saling memberi ruang untuk berkembang, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan.”
Fahri:
“Cinta yang abadi bukan tentang kita selalu bersama, kan? Itu tentang bagaimana kita bisa tetap bersama meski banyak yang mencoba memisahkan kita, tentang bagaimana kita bisa mengatasi segala hal yang datang tanpa pernah menyerah.”
Nina:
“Aku setuju. Kita sudah melewati banyak hal bersama, dan meski tantangan terus datang, aku merasa kita semakin kuat. Cinta ini tidak bergantung pada seberapa sering kita bertemu, tetapi pada seberapa dalam kita bisa mengerti dan mendukung satu sama lain.”
Di tengah perubahan dalam hubungan mereka, Fahri dan Nina juga mulai menyadari bahwa cinta yang abadi bukanlah sesuatu yang statis. Cinta sejati akan selalu berkembang dan menuntut pemahaman serta pengertian lebih dalam. Mereka tidak lagi melihat satu sama lain hanya berdasarkan gambaran ideal yang ada di kepala masing-masing. Mereka belajar menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain tanpa rasa takut.
Nina (berbicara dengan penuh renungan):
“Aku tidak lagi berharap kamu menjadi seperti yang kubayangkan dulu, Fahri. Dulu aku merasa cinta itu adalah segalanya, harus sempurna dan sesuai harapan. Tapi aku kini menyadari bahwa keterbukaan adalah kunci—terutama dalam menerima kekurangan masing-masing.”
Fahri (tersenyum, dengan mata yang berbinar):
“Dan aku belajar bahwa cinta yang abadi tidak mengandalkan kesempurnaan. Kita justru lebih kuat karena kita menerima bahwa kita bukan orang yang sempurna. Ada banyak hal yang masih harus kita pelajari, baik dari diri kita sendiri maupun dari hubungan ini.”
Penerimaan ini membawa mereka ke pemahaman yang lebih dalam bahwa cinta sejati adalah proses. Cinta yang abadi bukanlah cinta yang langsung ditemukan atau dihasilkan dalam waktu singkat, tetapi sesuatu yang dibangun melalui waktu, pengertian, dan usaha terus-menerus. Setiap perubahan yang mereka alami, baik itu perubahan pribadi maupun dalam hubungan mereka, menjadi langkah menuju hubungan yang lebih dalam dan lebih bermakna.
Namun, meski mereka sudah melalui banyak ujian, ketakutan masih kadang datang menyelinap. Ketakutan akan kehilangan, kecemasan akan masa depan, dan bahkan keraguan tentang apakah hubungan mereka dapat bertahan. Semua ketakutan ini adalah hal yang wajar dalam hubungan yang sedang berkembang, terutama hubungan jarak jauh yang penuh tantangan. Meskipun sudah menyadari pentingnya cinta yang abadi, mereka tetap harus menghadapi rasa takut yang datang tanpa diundang.
Pada suatu malam, ketika Fahri kembali ke kota untuk bertemu Nina, mereka berjalan berdua di sepanjang taman kota yang tenang, menikmati waktu bersama setelah beberapa bulan tidak bertemu.
Nina (dengan tatapan penuh kejujuran):
“Fahri, ada satu hal yang selalu menghantui pikiranku. Aku takut jika hubungan ini tidak akan bertahan. Aku takut kita akan berpisah, dan aku tidak tahu bagaimana aku bisa menghadapinya.”
Fahri (menatapnya dengan penuh pengertian):
“Aku tahu itu, Nina. Aku juga takut. Tapi aku percaya bahwa kita bisa menghadapinya bersama. Takut itu wajar, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita memilih untuk tetap bersama, meskipun rasa takut itu ada.”
Nina (terdiam sejenak, lalu tersenyum):
“Aku ingin percaya pada kita, Fahri. Aku tahu kita bisa melewati ini semua. Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tetapi aku yakin kita akan terus bersama, karena kita memiliki satu sama lain.”
Percakapan malam itu menjadi titik balik bagi mereka berdua. Rasa takut yang semula begitu menguasai mereka perlahan mulai memudar, digantikan oleh keyakinan dan kepercayaan yang lebih besar pada satu sama lain. Mereka sadar bahwa meskipun masa depan penuh ketidakpastian, kehadiran mereka satu sama lain adalah sesuatu yang bisa mereka pegang.
Seiring berjalannya waktu, Fahri dan Nina semakin menyadari bahwa cinta yang abadi bukan hanya sekadar tentang bertahan di saat-saat sulit, tetapi juga tentang menciptakan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Mereka memutuskan untuk membuat rencana baru bersama, merancang mimpi dan tujuan yang akan mereka capai bersama.
Fahri (dengan semangat baru):
“Aku rasa kita harus mulai berpikir lebih jauh tentang masa depan kita, Nina. Bukan hanya tentang hubungan kita, tetapi juga tentang tujuan hidup kita, apa yang ingin kita capai bersama.”
Nina (terpikir sejenak):
“Aku setuju. Mungkin kita bisa merencanakan sebuah perjalanan bersama, atau bahkan memikirkan bagaimana kita bisa saling mendukung dalam karier kita masing-masing. Aku ingin kita berjalan bersama ke arah yang lebih baik.”
Mereka mulai membuat daftar mimpi dan tujuan yang ingin mereka capai dalam hidup. Tidak hanya tentang bagaimana mereka akan mengatasi jarak, tetapi juga tentang bagaimana mereka akan berkembang sebagai individu dan sebagai pasangan. Mereka belajar bahwa mimpi bersama adalah salah satu kunci penting untuk menjaga hubungan tetap hidup dan kuat.
Seiring dengan perjalanan mereka, Fahri dan Nina semakin menyadari bahwa cinta sejati tidak terbatas oleh waktu atau tempat. Cinta mereka telah melewati banyak ujian, dan meskipun mereka berdua berada di tempat yang berbeda, perasaan mereka tetap terhubung dengan kuat. Mereka sadar bahwa cinta sejati tidak memerlukan keberadaan fisik yang konstan, tetapi kehadiran emosional yang selalu ada.
Fahri (melalui pesan teks, saat berada di luar negeri):
“Nina, aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kita jauh, kamu selalu ada dalam pikiranku. Cinta kita tidak bergantung pada seberapa sering kita bertemu, tetapi pada seberapa kuat kita saling mendukung.”
Nina (membalas dengan tulus):
“Aku merasakannya, Fahri. Tidak peduli di mana kita berada, cinta kita akan selalu ada. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diubah oleh jarak atau waktu.”
Mereka merasa bahwa cinta yang abadi adalah cinta yang lebih besar daripada sekadar perasaan sementara atau hubungan fisik. Itu adalah sesuatu yang terjalin dalam kepercayaan, pengorbanan, dan kemauan untuk berjuang bersama. Tidak peduli apa yang terjadi, mereka tahu bahwa cinta mereka akan selalu bertahan.
Di tengah perjalanan mereka yang terus berkembang, Fahri dan Nina akhirnya mulai memahami bahwa komunikasi yang efektif adalah kunci untuk hubungan yang abadi. Setelah melalui banyak ketegangan, kesalahpahaman, dan percakapan yang penuh dengan ketegangan emosional, mereka menyadari bahwa komunikasi yang terbuka dan jujur adalah pondasi dari hubungan yang sehat.
Pada suatu malam, setelah beberapa hari merasa canggung akibat salah paham kecil yang sempat mereka alami, Fahri memutuskan untuk berbicara secara terbuka dengan Nina tentang apa yang ada dalam pikirannya.
Fahri (melalui telepon):
“Nina, aku merasa akhir-akhir ini kita mulai saling menjauh. Aku tahu itu mungkin karena kesibukan masing-masing, tapi aku juga merasa kita kurang komunikasi, dan itu membuatku khawatir.”
Nina (dengan suara sedikit cemas):
“Aku juga merasa begitu, Fahri. Aku merasa meskipun kita berbicara, ada sesuatu yang hilang. Kadang aku merasa kita tidak benar-benar mendengarkan satu sama lain. Aku takut kita mulai kehilangan koneksi yang dulu kita miliki.”
Fahri (menghela napas panjang):
“Aku minta maaf kalau aku terlalu sibuk dengan urusan lain dan tidak memberikan perhatian yang cukup. Aku tahu itu bisa membuatmu merasa terabaikan.”
Nina (dengan suara lembut):
“Aku mengerti, Fahri. Kita berdua memang sibuk, tapi aku rasa kita perlu lebih banyak meluangkan waktu untuk satu sama lain. Kita harus bisa saling mendengar lebih baik, bukan hanya berbicara. Kita bisa lebih terbuka tentang apa yang kita rasakan.”
Percakapan malam itu menjadi titik balik bagi mereka. Keterbukaan dan kejujuran mengembalikan kedekatan mereka yang sempat terabaikan. Mereka menyadari bahwa komunikasi bukan hanya soal berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan dengan empati dan memahami perasaan satu sama lain.
Fahri (dengan senyum yang penuh harapan):
“Aku ingin hubungan kita tetap seperti dulu. Aku ingin kita tidak hanya bisa berbicara tentang hal-hal besar, tapi juga hal-hal kecil yang mungkin kita abaikan. Aku ingin kita bisa berbagi lebih banyak.”
Nina (tersenyum, merasa lega):
“Aku pun ingin itu, Fahri. Aku ingin kita menjadi pasangan yang saling mendukung, yang saling memahami tanpa perlu banyak kata. Kita harus selalu berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita untuk satu sama lain.”
Seiring berjalannya waktu, mereka berdua semakin menyadari bahwa cinta yang abadi bukan hanya ditemukan dalam kebahagiaan atau saat-saat indah saja, tetapi juga dalam cara mereka menghadapi kesulitan dan keterbatasan dengan kepala dingin. Setiap kesulitan yang mereka hadapi, baik itu masalah keluarga, pekerjaan, atau kesehatan, menjadi ujian yang mempererat hubungan mereka.
Pada suatu ketika, Nina menghadapi masalah besar dalam pekerjaannya yang baru. Ia merasa terjebak dalam situasi yang membuatnya merasa tidak dihargai dan tidak bisa berkembang. Dia merasa cemas dan bingung harus mengambil keputusan apa. Saat berbicara dengan Fahri, ia mendapati kenyataan bahwa meskipun mereka jauh, dukungan yang diberikan Fahri mampu memberinya kekuatan untuk melangkah maju.
Nina (melalui video call, terlihat cemas):
“Fahri, aku merasa sangat tertekan. Pekerjaanku semakin sulit, dan aku tidak merasa dihargai di tempat kerja. Aku merasa seperti aku tidak punya pilihan selain menyerah, tapi aku juga tahu itu akan mengecewakan banyak orang.”
Fahri (melihatnya dengan empati, mendengarkan dengan penuh perhatian):
“Nina, aku bisa merasakan betapa beratnya yang kamu rasakan. Terkadang kita memang harus melewati kesulitan untuk bisa menemukan jalan keluar. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mempertimbangkan apa yang benar-benar kamu inginkan, bukan hanya karena apa yang orang lain harapkan darimu.”
Nina (mencoba menenangkan diri):
“Aku tahu, Fahri. Tapi kadang aku merasa takut membuat keputusan besar. Aku takut jika aku memilih jalan yang salah, aku akan menyesal.”
Fahri:
“Keputusan itu memang tidak mudah, Nina. Tapi aku percaya kamu akan menemukan jalan yang benar untuk dirimu sendiri. Ingat, apapun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu, apapun keputusanmu.”
Nina (tersenyum kecil, merasa lebih tenang):
“Terima kasih, Fahri. Aku merasa lebih baik setelah mendengarmu. Aku akan coba berpikir dengan kepala dingin dan membuat keputusan yang terbaik.”
Dukungan ini mempererat hubungan mereka, dan Nina akhirnya berhasil membuat keputusan besar untuk pindah ke pekerjaan yang lebih sesuai dengan passion-nya. Kepercayaan yang mereka bangun memberikan mereka kekuatan untuk menghadapi tantangan hidup bersama.
Seiring berjalannya waktu, Fahri dan Nina tidak hanya melewati kesulitan, tetapi juga berhasil meraih keberhasilan yang mereka impikan bersama. Mereka memutuskan untuk merayakan pencapaian mereka, tidak hanya sebagai individu, tetapi sebagai pasangan yang sudah melalui banyak hal bersama.
Suatu hari, Fahri merencanakan kejutan untuk Nina—perjalanan ke tempat yang mereka berdua impikan untuk dikunjungi. Tempat itu adalah sebuah desa kecil di pantai, di mana mereka bisa menikmati ketenangan bersama tanpa gangguan dunia luar.
Fahri (setelah tiba di destinasi mereka):
“Nina, aku ingin kita merayakan segala hal yang telah kita lewati. Tidak hanya pencapaian kita, tetapi juga cinta kita yang terus berkembang. Kita sudah melalui begitu banyak, dan aku ingin kita selalu ingat bahwa kita bisa mengatasi apapun bersama.”
Nina (terharu, matanya berbinar):
“Fahri, aku sangat berterima kasih. Aku tahu kita masih memiliki banyak hal yang harus dilewati, tapi aku merasa sangat beruntung memiliki seseorang sepertimu. Cinta kita bukan hanya sekedar kata-kata, tapi sesuatu yang kita bangun setiap hari.”
Fahri:
“Ya, kita sudah membangun sesuatu yang sangat berharga, Nina. Aku ingin terus berjalan bersamamu. Kita sudah saling percaya, saling mendukung, dan itulah yang membuat cinta ini abadi.”
Mereka merayakan keberhasilan mereka dengan penuh kebahagiaan. Di sana, di tempat yang tenang, mereka menyadari bahwa cinta yang abadi bukan hanya tentang bertahan dalam waktu lama, tetapi juga tentang terus berkembang, menghargai perjalanan yang telah mereka lewati, dan berkomitmen untuk masa depan yang lebih baik.
Meskipun perjalanan mereka belum selesai, Fahri dan Nina menyadari bahwa mereka kini memiliki fondasi yang lebih kuat daripada sebelumnya. Mereka telah belajar untuk menghargai perbedaan, mengatasi ketakutan, dan membangun komunikasi yang jujur. Mereka tahu bahwa cinta sejati bukan hanya tentang menemukan pasangan yang sempurna, tetapi tentang saling menerima, berkompromi, dan mendukung satu sama lain dalam setiap fase kehidupan.
Dalam banyak hal, mereka telah menjadi satu tim yang tidak bisa dipisahkan, karena mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak hanya terbentuk dari kebahagiaan dan kesenangan, tetapi juga dari kesulitan dan pengorbanan yang telah mereka lakukan bersama.
Nina (saat duduk di tepi pantai, menatap matahari terbenam):
“Aku merasa cinta kita semakin kuat, Fahri. Seperti matahari yang terbenam, tapi selalu kembali muncul di pagi hari. Cinta ini tidak pernah berakhir, hanya berubah menjadi lebih dalam.”
Fahri (tersenyum, menggenggam tangan Nina):
“Aku setuju. Cinta kita adalah perjalanan, bukan tujuan. Dan aku akan selalu berjalan bersamamu, melewati apapun yang ada di depan.”
Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang makna sejati dari cinta, Fahri dan Nina melangkah ke babak baru dalam hubungan mereka. Mereka tidak lagi melihat cinta sebagai sesuatu yang datang dan pergi, tetapi sebagai sesuatu yang mereka bangun, rawat, dan pelihara bersama setiap hari. Cinta mereka telah bertransformasi menjadi sesuatu yang lebih kuat, lebih abadi, dan lebih bermakna dari yang pernah mereka bayangkan sebelumnya.***
———–THE END———