Daftar Isi
Bab 1 Pertemuan Kembali
Hari itu, matahari bersinar dengan terik, namun tak mampu mengusir rasa dingin yang mengalir di dalam tubuh Mia. Sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir kali melihatnya—Zane, pria yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan harapan, namun juga dengan luka yang tak kunjung sembuh. Mia berjalan cepat, langkahnya terdengar berat meskipun suasana sekitar tampak biasa saja. Ia tak pernah mengira, setelah sekian lama, takdir akan mempertemukan mereka lagi dalam keadaan seperti ini.
Mia menyeka keringat yang menetes di pelipisnya dengan ujung lengan baju. Di hadapannya, sebuah kafe yang nyaman tampak ramai dengan pengunjung, namun ia tak bisa benar-benar menikmati suasana. Fokusnya teralihkan oleh bayangan Zane yang kembali mengisi pikirannya. Setelah kejadian beberapa tahun lalu, Mia memutuskan untuk menjauh dari segala hal yang mengingatkannya pada Zane, bahkan berusaha untuk tidak terjebak dalam kenangan pahit itu.
Namun hari ini, takdir seolah-olah mempermainkannya. Tadi pagi, saat ia sedang bersiap untuk menghadiri pertemuan bisnis, sebuah pesan singkat muncul di layar ponselnya: *”Kita harus bicara, Mia.”* Pesan itu datang tanpa peringatan, tanpa kata-kata lembut seperti dulu. Hanya kalimat singkat yang membuat jantung Mia berdegup kencang, merasakan kembali ketegangan yang dulu sempat ada.
Mia menghela napas, lalu melangkah memasuki kafe. Suasana di dalam cukup tenang, hanya ada beberapa orang yang duduk di sudut sambil bercengkerama. Mia merasa canggung, seperti berada di tempat yang tidak seharusnya ia tuju. Matanya menyapu ruangan, dan saat itu, ia melihat sosok yang sudah lama ingin ia lupakan. Zane. Duduk dengan santai di meja pojok, wajahnya tidak banyak berubah, kecuali kini ada guratan-guratan halus di wajahnya yang menunjukkan waktu telah memberi bekas.
Zane menoleh, dan mata mereka bertemu. Sejenak, dunia seakan berhenti berputar. Mia merasa seolah ada beban berat di dada yang membuatnya sulit bernapas. Zane tersenyum tipis, namun senyumnya tidak lagi membawa kehangatan seperti dulu. Senyum itu lebih seperti senyum seorang pria yang tahu betul bagaimana cara menyakiti perasaan orang lain. Mia merasa dirinya seperti kembali ke masa lalu, saat mereka masih saling mencintai, sebelum segala kebohongan dan pengkhianatan merusak segalanya.
Mia melangkah ke arah Zane, kaki seolah terasa berat. Setiap langkahnya membawa kembali kenangan yang berusaha ia kubur dalam-dalam. Saat Mia duduk di kursi seberang Zane, suasana di sekitar mereka seakan berubah menjadi hampa. Hanya ada suara napas mereka yang terdengar jelas, seperti mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tak bisa mereka hindari.
Zane menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Mia dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah di matanya, tapi juga ada sesuatu yang lebih dalam, yang seakan ingin menguji keteguhan Mia.
“Sudah lama tidak bertemu,” kata Zane akhirnya, suaranya terdengar serak. Mia menatapnya dengan tajam, berusaha menahan segala perasaan yang mulai menggelegak di dalam dada.
“Ya, sudah lama,” jawab Mia singkat. Suaranya datar, meskipun hatinya tengah bergejolak. “Apa yang ingin kamu bicarakan, Zane?” Ia berusaha keras untuk tidak memberi ruang bagi perasaan lama yang mulai muncul.
Zane menghela napas, lalu menatapnya dengan penuh penyesalan. “Mia, aku tahu ini mungkin tidak mudah untukmu,” katanya pelan. “Tapi aku ingin menjelaskan semuanya. Aku ingin minta maaf atas apa yang terjadi dulu.”
Mia merasakan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Maaf? Setelah sekian lama, setelah semua yang terjadi, ia hanya bisa tertawa dalam hati mendengar kata-kata itu. Maaf, kata yang paling sering ia dengar, namun tidak pernah benar-benar dipahami.
“Apa yang perlu kamu jelaskan, Zane?” Mia menatapnya dengan tatapan tajam. “Kamu sudah cukup jelas dengan apa yang terjadi dulu. Aku sudah cukup lama berusaha melupakan semuanya, jadi tolong… jangan coba menghidupkan masa lalu yang seharusnya sudah mati.”
Zane terdiam. Mia bisa melihat keraguan di wajahnya. Mungkin Zane tidak siap dengan reaksi Mia yang keras. Namun, Mia tidak peduli lagi. Ia sudah cukup lama menanggung sakitnya sendiri tanpa ada penjelasan yang layak.
“Apakah kamu masih membenciku?” Zane bertanya, dengan suara yang lebih rendah, seolah takut mendapat jawaban yang pasti.
Mia menatap Zane dengan mata penuh amarah. “Aku tidak tahu. Aku rasa, aku lebih membenci diriku sendiri karena pernah mempercayaimu.” Kata-kata itu keluar begitu saja, tanpa bisa ia tahan. Tentu saja, ia masih marah. Masih merasa dikhianati. Tidak ada kata maaf yang bisa menghapus luka itu.
Zane menundukkan kepala. “Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi,” katanya, “Tapi aku ingin memberimu kesempatan untuk mendengarkanku. Aku tidak bisa hidup dengan perasaan bersalah seperti ini.”
Mia menatapnya sejenak, ada rasa yang sulit diungkapkan. Perasaan itu bukan lagi cinta, tapi lebih kepada luka yang tak terobati. “Zane,” kata Mia, suara mulai terdengar pelan, “Aku sudah lama melepaskanmu. Aku sudah cukup lama memaafkan diriku sendiri untuk mencintaimu.”
Namun, dalam hatinya yang terdalam, Mia tahu. Pertemuan ini bukan sekadar tentang masa lalu, tapi tentang bagaimana keduanya harus berhadapan dengan kenyataan yang telah lama mereka hindari. Waktu mungkin telah berubah, tetapi perasaan mereka tetap membekas, meskipun berbeda.
Zane menatapnya lama, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi Mia tahu, pertemuan ini bukan untuk mencari jawaban. Ini adalah awal dari perjalanan yang lebih panjang. Dendam, penyesalan, dan masa lalu yang tidak bisa dilupakan, semuanya akan saling bertemu kembali.*
Bab 2 Dendam yang Tertahan
Setelah sekian lama, pertemuan itu terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Dia berdiri di depan pintu kafe, mengamati setiap detil wajah yang sudah lama tidak dilihatnya. Wajah yang dulunya menjadi tempatnya pulang, sekarang terasa asing. Senyumnya, dulu bisa membuat hatinya berdegup kencang, kini hanya membuatnya merasa sesak. Semua perasaan yang sempat terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul begitu saja, bagaikan gelombang yang menenggelamkan perasaan damai yang pernah ada.
Namanya Dita. Dulu, Dita adalah segala-galanya—cinta pertama yang begitu murni dan tulus. Namun, waktu dan kehidupan mempertemukan mereka kembali, di momen yang penuh kebencian, di saat yang seharusnya tak ada lagi ruang bagi kenangan indah yang pernah ada. Kenangan itu kini hanya menyisakan rasa pahit di lidah, membekas di setiap sudut hatinya. Dita adalah musuhnya sekarang, musuh yang berasal dari masa lalu, yang pernah dia percayai sepenuh hati.
Tatapan Dita yang pertama kali mereka bertemu kembali di kafe itu tidak menunjukkan rasa bersalah. Tidak ada penyesalan yang terukir di wajahnya, hanya ekspresi datar yang membuat hati Rian semakin panas. Rian tahu, Dita telah berpindah. Dia bukan lagi perempuan yang dulu mengenakan gaun putih di hari bahagia mereka. Perempuan itu kini lebih seperti seseorang yang tak lagi ada kaitannya dengan dirinya.
Rian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Di luar, hujan turun dengan lebat, namun itu tak cukup untuk menenangkan pikirannya. Bagaimana bisa orang yang dulu sangat ia cintai bisa mengkhianatinya seperti ini? Cinta yang ia berikan ternyata tidak lebih berharga daripada kebohongan yang Dita selipkan di belakangnya. Dita telah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, yang juga kini menjadi bagian dari masa lalu yang pahit. Semua itu membuat luka yang tak bisa sembuh.
“Kamu masih marah?” Suara Dita memecah keheningan yang tegang. Rian merasa jantungnya berdegup lebih cepat, namun kali ini, bukan karena cinta. “Aku hanya ingin tahu apakah kamu sudah bisa menerima semua yang terjadi,” lanjut Dita dengan nada suara yang lebih tenang.
Rian menatapnya dengan tatapan tajam. “Apa yang harus kuterima, Dita? Kau melukai aku. Kau menghancurkan segala yang pernah kita bangun bersama. Kenapa? Kenapa kau tidak cukup jujur sejak awal?” Suara Rian bergetar, namun ia mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Dendam ini terlalu dalam untuk diselesaikan dengan kata-kata biasa.
Dita menunduk sejenak, seakan meresapi kata-kata Rian yang penuh emosi. “Aku tahu aku salah. Aku tahu aku menghancurkan segalanya, tapi aku juga tak bisa mengubah masa lalu, Rian. Aku sudah terlalu jauh terjebak dalam kebohongan.” Dita menyentuh meja dengan tangan yang gemetar. “Tapi aku tidak bisa terus hidup dengan perasaan ini, perasaan bersalah yang menghantuiku setiap hari. Aku tahu aku tak pantas mendapatkan maafmu.”
Dita mengungkapkan penyesalannya, namun kata-kata itu sama sekali tidak menyentuh hati Rian. Ia telah terbakar oleh rasa kecewa yang sangat dalam. Rian telah merencanakan sesuatu. Rencana balas dendam yang telah ia pikirkan dengan matang. Tidak hanya untuk menghukum Dita, tetapi untuk memastikan bahwa rasa sakit yang telah ditinggalkan akan ia rasakan kembali. Rian tidak bisa begitu saja memaafkan, karena luka yang Dita buat terlalu dalam.
“Kenapa tidak kau perjuangkan kita dulu? Kenapa kau memilih untuk berlari dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa?” tanya Rian, mencoba menahan amarahnya.
“Karena aku takut, Rian,” jawab Dita dengan suara yang semakin serak. “Aku takut kehilangan dirimu, tapi aku juga takut menjadi orang yang kau harapkan. Aku bingung, dan aku membuat keputusan bodoh. Aku… aku khianati kepercayaanmu, dan itu membuatku hancur.” Matanya mulai berkaca-kaca, namun Rian tetap teguh. Ia tak ingin merasakan belas kasihan. Semua yang Dita katakan terasa seperti kebohongan lain.
Rian merasa cemas. Ia merasa ada sesuatu yang menggerogoti dirinya. Rencana balas dendamnya sudah hampir sempurna. Ia tahu Dita masih sangat tergantung pada pekerjaannya, dan ia bisa merusak semuanya. Tidak hanya Dita, tapi juga sahabat yang telah berkhianat. Sahabat yang dulu dianggapnya saudara. Semua ini akan berakhir dengan kesakitan yang lebih besar, dan itulah yang diinginkannya.
Namun, semakin ia merenung, semakin ia merasa perasaan ini mulai merusak dirinya. Ia tidak pernah membayangkan akan menjadi orang yang dipenuhi kebencian seperti ini. Apakah dendam ini benar-benar yang ia inginkan? Ia ingat kata-kata temannya yang pernah berkata, “Dendam hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.” Mungkinkah ia hanya terjebak dalam lingkaran kebencian yang tidak akan pernah berhenti?
Saat Dita bangkit untuk pergi, Rian menahan langkahnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan, Dita. Tapi aku pasti akan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan.” Suaranya tegas, dan meskipun ada sedikit rasa ragu, ia merasa ini adalah keputusan yang harus ia ambil.
Dita hanya mengangguk, lalu berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Rian dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Rencana balas dendam itu, meskipun masih ada di benaknya, mulai terasa kotor dan memuakkan. Namun, itu satu-satunya cara yang ia rasa bisa menenangkan gejolak di dalam dirinya.*
Bab 3 Rencana Balas Dendam
Rasa kesal dan kecewa yang menggelayuti hati Rian telah lama merasuk ke dalam tulang-tulangnya. Setiap kali ia memikirkan bagaimana segala sesuatu berakhir antara dirinya dan Alya, rasa itu semakin membakar dirinya. Semua kenangan indah yang mereka bangun bersama terasa seperti ilusi belaka, dan rasa sakit itu kini berubah menjadi kebencian yang sulit ia kendalikan. Alya, yang dulu menjadi wanita yang ia cintai sepenuh hati, kini bukan lebih dari musuh yang harus dihancurkan.
Setelah pertemuan yang menegangkan dua hari lalu, Rian tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi rencana-rencana balas dendam yang datang begitu liar, bahkan ia merasa dirinya terjebak dalam kebingungan. Namun, satu hal yang pasti: ia tidak bisa membiarkan Alya begitu saja melanjutkan hidupnya tanpa merasakan apa yang telah ia rasakan. Keputusan ini sudah bulat. Alya harus membayar, dan Rian akan menjadi orang yang memastikan itu terjadi.
Rian duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya yang kosong. Ada kekosongan dalam pikirannya, namun di balik kekosongan itu, sebuah ide mulai muncul. **”Apa yang paling membuat Alya terluka?”** ia bertanya pada dirinya sendiri. Wajah Alya yang biasa ia kenal begitu ceria dan penuh semangat kini hanya menyisakan bayangan samar. Namun, Rian tahu satu hal: Alya sangat bergantung pada opini orang lain, terutama di media sosial. Semua yang Alya lakukan selalu dipertontonkan kepada dunia. Ia ingin dihargai, dicintai, dan diakui—terutama oleh teman-temannya.
Rian tersenyum tipis, menyadari bahwa ia bisa memanfaatkan ini. **”Aku tahu persis bagaimana cara menyentuh titik lemahnya.”**
Ia segera mengambil ponselnya dan membuka aplikasi media sosial. Terpampang jelas di layar, akun Instagram Alya yang telah lama ia ikuti. Rian memerhatikan dengan seksama setiap foto yang diunggah Alya—semuanya penuh dengan kebahagiaan palsu. Ia melihat sebuah foto terbaru yang diposting Alya dengan pria lain. Di bawah foto itu, Alya menulis caption yang manis, menggambarkan kebahagiaan yang seolah sempurna. Rian merasa perasaan cemburunya kembali muncul, tetapi kali ini ia tak membiarkan emosi itu menguasai dirinya. Sebaliknya, ia mengamati foto itu dengan tenang.
“Jika Alya ingin terlihat bahagia di depan orang lain,”** pikir Rian, **”maka aku akan memastikan dia merasakan rasa malu yang mendalam.”**
Rencana pertama Rian adalah membuat Alya terlihat tidak konsisten di mata orang lain, terutama teman-temannya. Ia tahu bahwa di balik keindahan yang ditunjukkan di media sosial, Alya menyimpan banyak rahasia. Rahasia yang Rian tahu sangat pribadi—seperti hubungan gelap yang pernah terjalin antara Alya dan salah satu sahabat dekatnya. Rian mulai merencanakan bagaimana ia bisa mengungkapkan semua itu tanpa meninggalkan jejak yang bisa memberatkannya.
Ia mengirim pesan kepada seorang teman lama yang juga mengenal Alya, Fira. Fira adalah orang yang selalu tahu tentang kehidupan pribadi Alya, dan menurut Rian, Fira bisa menjadi kunci untuk menghancurkan citra Alya. “Aku butuh bantuanmu,” tulis Rian dalam pesan tersebut. “Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan tentang Alya.” Rian tahu, Fira sangat membenci Alya setelah suatu peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu, ketika Alya dengan tidak sengaja menghancurkan hubungan Fira dengan pacarnya.
Setelah menunggu beberapa saat, Fira membalas pesannya. “Apa yang kau rencanakan, Rian? Aku siap membantu, tapi kau harus menjelaskan lebih dulu.” Rian tersenyum puas, merasa langkah pertama menuju rencananya telah dimulai. Ia segera membalas, menjelaskan bagaimana ia berniat mengungkapkan sisi gelap Alya melalui sebuah skandal yang bisa menghancurkan reputasinya di depan publik.
Namun, Rian tahu bahwa itu belum cukup. Rencana besar itu harus dilakukan dengan hati-hati, memastikan bahwa ia tidak terjebak dalam permainannya sendiri. Ia harus menjauhkan diri dari segala jejak yang bisa mengarah kepadanya. Maka, ia pun mulai merencanakan langkah kedua: menciptakan ketidakpastian dalam hubungan Alya dengan pria baru yang sedang dekat dengannya. Rian tahu betul bagaimana Alya takut kehilangan kontrol, dan ia akan memanfaatkan ketakutan itu.
Ia menghubungi seseorang yang sudah lama mengenalnya, Dika—pria yang pernah dekat dengan Alya sebelum mereka berdua putus. Dika kini memiliki hubungan yang buruk dengan Alya setelah banyaknya perselisihan. Rian menawarkan Dika sebuah kesempatan untuk membuat Alya merasa cemas dan tertekan. “Alya perlu merasakan apa yang sudah aku rasakan,” ujar Dika di telepon, setuju dengan rencana tersebut.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan perencanaan matang. Rian terus memanipulasi situasi, menarik perhatian Alya ke dalam perangkapnya. Ia membuat Alya terjebak dalam lingkaran kebohongan yang dibuatnya, memanipulasi orang-orang yang ada di sekitar Alya untuk menambah beban emosionalnya. Ketegangan semakin meningkat, dan Rian merasa semakin dekat dengan tujuannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, ada satu perasaan yang tak bisa ia hindari: rasa hampa. Bahkan ketika ia melihat rencananya mulai terwujud, ia merasa tidak mendapatkan kepuasan apapun. Apakah ini benar-benar yang ia inginkan? Pertanyaan itu terus mengganggu benaknya, namun Rian bertekad untuk melanjutkan. **”Aku harus menyelesaikan ini,” pikirnya. “Hanya dengan cara ini aku bisa mendapatkan keadilan.”
Namun, benarkah itu yang ia cari? Atau apakah dendam ini hanya membebani dirinya sendiri? Rian masih belum tahu jawabannya, dan rencana balas dendam ini pun terus berkembang, semakin rumit dan semakin menyakitkan bagi keduanya.*
Bab 4 Pertarungan Emosional
Setelah sekian lama, waktu yang terasa seperti keabadian, akhirnya aku kembali berhadapan denganmu. Sosok yang pernah aku cintai begitu dalam, namun juga yang pernah menghancurkan hatiku. Wajahmu tidak banyak berubah, hanya matamu yang tampak lebih lelah. Namun, ada satu hal yang selalu tetap sama: ada sesuatu yang menggelora di dalam dadaku setiap kali aku melihatmu, campuran antara kemarahan dan rindu yang tak terungkapkan.
Kamu datang menghampiriku tanpa banyak kata, seperti yang sering kamu lakukan dulu, tanpa ada penjelasan apapun tentang mengapa semuanya bisa berakhir begitu saja. Aku tahu kamu tidak akan pernah memberiku penjelasan yang aku butuhkan, dan itu membuatku semakin ingin balas dendam. Setiap langkahmu semakin memperkuat rasa itu, rasa yang telah lama aku pendam.
Aku tak bisa menahan perasaan ini, rasa yang tumbuh dalam diam, menanti waktu yang tepat untuk keluar dan menghancurkan semuanya. Aku tidak ingin bertemu denganmu hanya untuk sekadar berbicara tentang masa lalu yang penuh kepalsuan. Aku ingin melihatmu menderita, merasakan sakit yang aku rasakan dulu. Itu yang terbersit pertama kali dalam pikiranku, ketika aku menyusun rencana ini.
Kamu memang tidak tahu apa yang sedang aku rencanakan. Selama ini, aku selalu berpura-pura tidak peduli, menjalani hidupku seolah semua sudah berakhir. Namun, tidak ada yang pernah benar-benar selesai, bukan? Aku tahu kamu merasakan hal yang sama, meski kamu berusaha menunjukkan bahwa hidupmu berjalan dengan baik tanpa aku. Tetapi aku bisa melihatnya di matamu. Kamu masih belum bisa benar-benar bebas.
Aku mulai merancang langkah-langkah kecil yang akan menghancurkanmu perlahan. Tidak ada yang terlalu besar, hanya sekedar menyusupkan kebingungan dan kecemasan ke dalam hidupmu. Berbicara dengan teman-temanmu, mengungkapkan hal-hal yang akan membuatmu merasa terguncang. Semua itu adalah permainan yang aku kuasai, dan aku akan memainkannya sebaik mungkin.
Namun, setiap kali aku melihatmu, perasaan itu bertumbuh, bertarung dengan dendam yang mulai menguasai diriku. Cinta yang dulu ada, kini terasa begitu pahit. Ada satu bagian dari diriku yang ingin meraih tanganmu dan menghapus semua kenangan buruk itu, hanya untuk kembali bersamamu. Tetapi bagian lain dari diriku tahu bahwa itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu yang penuh kebohongan. Aku harus kuat, harus berjuang untuk membuktikan bahwa aku tidak butuhmu lagi.
Di satu titik, kamu mulai mendekat. Tiba-tiba saja, aku merasa ada perubahan dalam sikapmu. Kamu tidak seperti dulu. Kamu tidak lagi berpura-pura tidak peduli padaku. Ada keraguan dalam langkahmu, seolah-olah kamu mulai mempertanyakan semua keputusan yang pernah kita buat bersama. Mungkin kamu merasa bersalah, mungkin kamu ingin memperbaiki semuanya, tetapi aku sudah terlalu jauh untuk kembali.
Ketika kamu mencoba mendekat dan berbicara, aku merasakan dorongan untuk menjauh, untuk terus menjaga jarak agar kamu tidak bisa menyentuh lagi tempat yang sudah kamu rusak. Namun, di dalam hatiku, ada bagian yang menginginkan kejelasan, sebuah jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini menghantuiku. Mengapa kamu meninggalkanku begitu saja? Mengapa kamu memilih untuk menyakiti hatiku?
Dan kamu, dengan tatapan yang penuh penyesalan, mencoba menjelaskan, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah cukup. Kata-katamu mengalir, tapi aku tidak mendengarnya dengan sepenuh hati. Aku tidak peduli dengan alasanmu lagi. Aku hanya peduli pada diriku sendiri, pada sakit yang aku rasakan, pada kenangan buruk yang masih menghantuiku.
Aku memutuskan untuk bermain dengan perasaanmu. Menggunakan semua trik yang pernah kamu ajarkan padaku. Aku bertindak seolah-olah aku tidak peduli, seolah-olah aku sudah melupakanmu sepenuhnya. Tetapi aku tahu kamu merasakannya. Kamu tahu ada sesuatu yang berbeda dalam diriku, dan itu membuatmu semakin bingung. Kamu semakin mendekat, mencoba memahami apa yang terjadi padaku, tetapi semakin kamu mendekat, semakin aku menjauh.
Namun, di dalam hatiku, ada perasaan lain yang mulai tumbuh. Setiap kali aku melihat kamu mencoba menggapai tanganku, ada keinginan untuk merasakan kembali sentuhan itu, merasakan hangatnya pelukanmu. Aku merasa rapuh, seperti seseorang yang berjuang untuk mempertahankan dirinya agar tidak jatuh ke dalam jurang yang dalam. Tetapi, aku tidak boleh terjatuh. Tidak lagi.
Bahkan saat aku berusaha keras untuk mempertahankan kebencian ini, ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan, perasaan yang tak pernah benar-benar pergi. Cinta. Cinta yang telah dihancurkan olehmu, tetapi tetap ada di sana, dalam setiap tatapan, dalam setiap kenangan yang muncul begitu saja. Aku benci perasaan ini, tapi aku tidak bisa menahannya.
Kamu semakin mendekat, semakin rapat, seolah ingin menarikku kembali ke dalam pelukanmu. Aku tahu itu adalah permainan yang harus aku menangkan, tetapi dalam hatiku, aku bertanya-tanya, apakah dendam ini benar-benar akan memberi kedamaian yang aku inginkan? Atau akankah itu hanya membuat semuanya semakin buruk?
Aku berdiri di ambang jurang, di antara dua perasaan yang saling bertarung: cinta yang tak pernah hilang, dan dendam yang ingin menghancurkan segalanya. Tidak ada jawaban yang jelas, hanya pertarungan batin yang terus berlangsung, antara ingin melepaskanmu dan ingin membalas segala rasa sakit yang pernah kamu sebabkan.*
Bab 5 Menghadapi Kenyataan
Seiring berjalannya waktu, perasaan dendam yang membara dalam diri Alana semakin menggerogoti hatinya. Setiap langkah yang diambilnya, setiap keputusan yang diambilnya, selalu dibayangi oleh bayangan Raka, mantan kekasih yang telah menyakitinya dengan pengkhianatan yang tidak bisa dimaafkan. Alana merasa terjebak dalam lingkaran kebencian yang tak berujung, dan meskipun ia tahu bahwa dendam tidak akan membawa kebaikan, ia tidak bisa berhenti.
Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, Alana kembali bertemu dengan Raka. Entah bagaimana cara takdir mempertemukan mereka lagi, tapi perasaan yang datang tak pernah berubah. Sebelum pertemuan itu, ia telah merencanakan segala sesuatunya. Semua langkah yang akan diambil, semua kata-kata yang akan diucapkannya, sudah disusun rapi dalam pikirannya. Setiap detail direncanakan untuk membuat Raka merasakan sedikit saja dari sakit yang ia rasakan dulu. Setiap tawa Raka, setiap kata manis yang terucap darinya, selalu terasa seperti cambuk yang menyayat hati.
Namun, pada pertemuan kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Raka yang berdiri di depannya tampak lelah, jauh lebih rapuh daripada yang Alana bayangkan. Wajahnya terlihat lebih tua dari yang seharusnya, dan matanya yang dulu penuh percaya diri kini dipenuhi dengan keputusasaan. Alana bisa merasakan adanya perubahan dalam dirinya yang sulit dijelaskan, tetapi itu ada.
Raka memulai percakapan dengan suara yang agak goyah, “Alana, aku tahu kamu masih marah padaku, dan aku… aku nggak bisa minta maaf cukup untuk apa yang telah aku lakukan. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku benar-benar menyesal.”
Alana mendengarkan kata-kata itu tanpa mengeluarkan suara. Dulu, ia sangat menginginkan pengakuan seperti itu dari Raka. Dulu, ia ingin mendengar kata-kata penyesalan itu agar hatinya bisa sedikit lebih tenang. Namun sekarang, kata-kata itu tidak membawa kedamaian sedikit pun. Alih-alih, mereka seperti pisau yang menusuk lebih dalam.
“Menyesal? Seberapa dalam penyesalanmu itu, Raka? Apakah itu cukup untuk membayar semua luka yang kau tinggalkan? Apakah itu bisa menggantikan semua kenangan indah yang kita bangun bersama, yang kini hanya menjadi bayang-bayang masa lalu?” Alana membalas dengan suara yang penuh emosi. Ia merasa marah, tapi juga ada rasa sakit yang tak tertahankan.
Raka terdiam sejenak, menghela napas panjang. “Aku tahu, aku tahu tidak ada yang bisa mengembalikan waktu. Aku tahu aku telah mengkhianatimu, dan itu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku merasa seolah-olah aku telah kehilangan diriku sendiri setelah kita berpisah. Tapi, Alana, aku juga harus menghadapi kenyataan bahwa aku telah melukai orang yang paling aku cintai.”
Alana memandangi Raka dengan tatapan kosong. Ia ingin sekali mengabaikan semua penyesalan itu, ingin melupakan semuanya. Tetapi, ada sesuatu dalam cara Raka berbicara, dalam cara dia menatapnya, yang membuat hatinya goyah. Keinginan untuk membalas dendam seakan memudar, seiring dengan rasa cemas yang mulai menyusup ke dalam hatinya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana, Raka,” Alana akhirnya mengeluarkan suara, lebih lemah dari yang ia harapkan. “Aku sudah terlalu lama terperangkap dalam perasaan ini, dalam kebencian ini. Aku merasa jika aku berhenti membenci, aku akan kalah. Tapi, mungkin aku sudah lelah.”
Raka mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang Alana rasakan. “Aku tak pernah bermaksud untuk membuatmu merasa seperti ini. Aku tahu kata-kata tidak akan pernah cukup. Tetapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menyesali apa yang telah aku lakukan.”
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Alana merasa ada kekosongan yang besar di dalam dirinya. Dulu, ia merasa bahwa dengan membalas dendam pada Raka, ia akan menemukan kedamaian. Tapi sekarang, ia menyadari bahwa dendam itu justru mengubah dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya lagi. Ia sudah terlalu jauh terperangkap dalam kebencian, hingga tak ada ruang lagi untuk maaf.
Raka melangkah sedikit mendekat, dan Alana bisa merasakan betapa rapuhnya pria itu. “Alana, jika ada satu hal yang bisa aku minta, itu adalah kesempatan untuk memperbaiki semuanya, meskipun aku tahu itu mungkin tak akan terjadi.”
Alana terdiam, menatap Raka dengan hati yang bergejolak. Bagaimana mungkin ia bisa menerima permintaan ini setelah semua yang terjadi? Tetapi, saat ia melihat mata Raka yang penuh penyesalan itu, ia tahu bahwa ia tak bisa terus menyalahkan seseorang yang juga menderita akibat tindakan mereka sendiri.
“Aku tidak tahu, Raka,” Alana berkata dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku butuh waktu. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan hatiku, untuk memaafkan, dan untuk melepaskan semua ini.”
Raka mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya, meski masih ada kesedihan yang mendalam. “Aku akan menunggu, Alana. Aku akan menunggu selama yang kamu butuhkan.”
Alana merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Mungkin, dalam perjalanan ini, ia tidak hanya harus melepaskan Raka, tapi juga dirinya sendiri. Ia harus belajar bahwa kebencian dan dendam bukanlah jalan menuju penyembuhan. Dengan atau tanpa Raka, ia harus menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.
Seiring langkahnya meninggalkan Raka, Alana tahu bahwa perjalanannya belum berakhir. Ini baru permulaan dari sebuah perubahan besar dalam hidupnya—perubahan yang akan membawanya menuju kebebasan dari masa lalu yang menyakitkan.*
Bab 6 Memaafkan atau Melupakan
Setelah berbulan-bulan menjalani kehidupan yang terpecah antara kebencian dan penyesalan, pagi itu terasa berbeda bagi Tessa. Saat membuka mata, tidak ada perasaan cemas yang menyelimutinya seperti hari-hari sebelumnya. Dendam yang sudah lama ia pelihara, yang membuatnya terjaga malam demi malam, seakan-akan mulai menguap. Hanya ada hening yang merayap di dalam hatinya. Ia berpikir, apakah ini pertanda bahwa dirinya sudah siap untuk melupakan? Atau mungkin, ini adalah titik di mana ia akhirnya harus memaafkan?
Tessa tahu, perjalanan ini tidak akan mudah. Apalagi ketika perasaan terhadap Leo—mantan kekasih yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati—masih mempengaruhi setiap langkahnya. Leo yang kini kembali dalam hidupnya, yang tanpa diduga, ternyata membawa kembali segala kenangan yang pernah terkubur. Setiap kali bertemu dengannya, luka lama seakan dibuka kembali, membuat Tessa merasa tidak pernah benar-benar sembuh.
Hari itu, Tessa duduk di balkon apartemennya, memandangi kota yang sibuk. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma hujan yang baru saja turun. Di sekelilingnya, kehidupan terus berjalan, seperti seharusnya. Namun, di dalam dirinya, Tessa merasa seolah-olah waktu itu berhenti. Pikiran-pikiran tentang masa lalu datang silih berganti, membingungkan dan menguras tenaganya. Ia masih ingat saat pertama kali Leo menghilang tanpa kabar, meninggalkan dirinya dengan seribu pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Leo yang dulu selalu menyebut dirinya sebagai cinta sejatinya, tiba-tiba menghilang, meninggalkan luka yang tak terperi. Kini, setelah sekian lama, dia kembali.
Tessa tahu bahwa ia sudah lama menginginkan kejelasan, ingin mendengar alasan Leo atas semua yang terjadi. Namun, apakah ia siap mendengar penjelasan itu? Apakah kata-kata Leo akan menghapus semua kepahitan yang telah lama tumbuh di hatinya? Ataukah, justru itu akan semakin memperdalam luka yang sulit ia sembuhkan?
Perasaan bingung itu mulai terjawab ketika Tessa memutuskan untuk pergi menemui Leo di sebuah kafe kecil yang mereka kunjungi bersama dulu. Ada perasaan cemas di dada Tessa, namun juga ada rasa lega yang tak terungkapkan. Seolah-olah, bertemu dengannya adalah sebuah keputusan besar yang harus dihadapi. Ketika Tessa memasuki kafe dan melihat Leo duduk di sudut dengan tatapan yang penuh harap, detak jantungnya mulai mempercepat. Leo tampak lebih tua, lebih matang, dan jauh lebih tenang dari yang ia ingat. Namun, ada sesuatu yang masih sama. Tatapan mata Leo yang dalam, yang seolah-olah bisa menembus jiwa Tessa, mengingatkannya pada semua kenangan indah dan pahit yang pernah mereka bagikan.
“Sudah lama sekali, Tessa,” kata Leo, suaranya rendah dan berat. Ia mencoba tersenyum, tetapi Tessa bisa melihat kesedihan yang terselip di balik senyuman itu. Leo tampak seperti orang yang telah banyak kehilangan, seakan hidupnya telah dijalani dengan penuh penyesalan.
Tessa duduk di hadapannya, mencoba menenangkan dirinya. “Leo, aku tidak tahu harus mulai dari mana. Semua yang terjadi… itu menyakitkan,” jawab Tessa, dengan suara yang sedikit tercekat. “Aku ingin tahu kenapa kamu pergi begitu saja. Tanpa kata, tanpa penjelasan apa pun.”
Leo mengangguk perlahan, mengerti betul apa yang Tessa rasakan. “Aku tahu. Aku tahu aku sangat salah. Aku pergi karena aku pikir aku tidak layak ada di hidupmu. Aku pikir aku hanya akan menyakitimu lebih banyak lagi.” Leo menatap Tessa dengan mata penuh penyesalan. “Aku terlalu takut dengan diriku sendiri, dan aku memilih pergi karena itu terasa lebih mudah waktu itu.”
Tessa merasa ada sebuah empati yang muncul, tetapi juga rasa sakit yang tak terhindarkan. “Tapi kenapa tidak ada penjelasan? Kenapa aku harus merasakan semua ini sendirian, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi?” Tessa bertanya, matanya mulai memerah. “Kenapa kamu meninggalkanku begitu saja?”
Leo terdiam, dan Tessa bisa melihat betapa beratnya untuknya mengungkapkan kenyataan. “Aku… aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Aku tidak tahu bagaimana mengatakan bahwa aku sudah rusak, Tessa. Aku sudah melukai diriku sendiri berkali-kali, dan aku takut aku akan melukaimu juga.”
Silence menyelimuti mereka berdua. Tessa merasa kelelahan, seperti baru saja bertarung dengan perasaan yang tidak bisa ia kendalikan. Di satu sisi, ia ingin berteriak dan mengungkapkan semua rasa sakit yang telah bertahun-tahun dipendam. Di sisi lain, ada rasa iba terhadap Leo yang kini berdiri di hadapannya, penuh penyesalan.
“Leo, aku… aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu,” kata Tessa akhirnya, dengan suara yang pelan. “Aku sudah berusaha untuk melupakan, tapi aku tidak bisa. Dendam ini sudah terlalu dalam.”
Leo menatap Tessa dengan penuh harap, tetapi ia tahu apa yang dikatakan Tessa bukanlah hal yang mudah untuk diubah. “Aku mengerti, Tessa. Aku tidak berharap kamu langsung memaafkanku. Tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyesal. Jika ada satu hal yang bisa aku lakukan untuk memperbaikinya, aku akan melakukannya tanpa ragu.”
Tessa menunduk, menyeka air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ia tahu bahwa memaafkan bukanlah perkara sederhana. Itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Memaafkan berarti melepaskan masa lalu, dan memberi ruang untuk kedamaian. Tapi apakah Tessa sudah siap untuk itu? Apakah dia siap melepaskan luka yang telah lama ia simpan?
Setelah beberapa lama, Tessa akhirnya berkata, “Mungkin aku belum siap untuk memaafkan, Leo. Tapi aku akan berusaha. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa memaafkanmu. Untuk diriku sendiri, bukan untukmu.”
Leo mengangguk, meski hatinya terasa berat. Namun, ia tahu bahwa itu adalah langkah pertama yang penting. Mereka tidak bisa kembali seperti dulu, tetapi mungkin, hanya mungkin, ada harapan untuk kedamaian.
Di luar, hujan mulai turun lagi, menambah suasana hati mereka yang penuh emosi. Tessa memutuskan untuk melangkah keluar dari kafe itu, meninggalkan Leo di dalam, tetapi dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Ia belum memaafkan, tetapi setidaknya, ia sudah mulai belajar untuk melepaskan.*
Bab 7: Epilog
Perjalanan panjang itu akhirnya tiba di ujungnya. Meskipun ada banyak luka yang masih terasa, ada juga secercah cahaya di ujung jalan yang gelap. Kini, aku bisa berdiri di sini, sendirian, di bawah langit malam yang penuh bintang, dengan hati yang lebih lapang daripada sebelumnya. Semua pertempuran yang telah aku lalui—baik dengan diriku sendiri maupun dengan dia—akhirnya membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat. Tapi, tidak ada kemenangan yang datang tanpa rasa sakit. Tidak ada pembebasan yang datang tanpa pengorbanan.
Aku masih teringat bagaimana semuanya dimulai. Ketika kami pertama kali bertemu, dunia terasa seperti tempat yang lebih cerah. Setiap detik yang kami habiskan bersama, setiap tawa yang kami bagi, seakan-akan memberikan makna baru pada hidupku. Dia adalah segalanya bagiku—cinta pertamaku, kekasih yang aku impikan selama bertahun-tahun. Namun, seperti yang sering terjadi dalam kisah-kisah cinta, ada hal-hal yang tidak bisa diprediksi. Ada sisi gelap yang muncul, perlahan, tapi pasti, menggerogoti hubungan kami dari dalam.
Saat hubungan itu berakhir, aku merasa seperti kehilangan bagian terbesar dari diriku. Aku merasa hancur. Aku merasa dibuang dan tidak berharga. Namun, rasa sakit itu bukanlah akhir dari ceritaku. Aku tahu bahwa aku harus bangkit dari kehancuran itu. Dan meskipun awalnya terasa mustahil, perlahan-lahan, aku mulai menyadari bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Dendam yang aku pelihara hanya memperburuk semuanya. Aku merasa seperti terperangkap dalam lingkaran setan yang tidak pernah memberi kesempatan untuk benar-benar melepaskan diriku.
Dalam kebimbangan dan kemarahan yang menguasai diriku, aku mulai merencanakan balas dendam. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan—rasa sakit yang mendalam, perasaan terkhianati, dan kehilangan yang tak terobati. Aku ingin dia tahu betapa hancurnya aku, betapa aku telah diperbudak oleh kenangan-kenangan itu. Tetapi semakin aku menjalani rencanaku, semakin aku merasa bahwa ini bukanlah jalan yang seharusnya kutempuh. Dendam tidak pernah memberikan rasa lega. Sebaliknya, itu hanya menambah beban di pundakku.
Aku memutuskan untuk bertemu dengannya lagi, untuk berbicara—sesuatu yang seharusnya sudah terjadi sejak lama. Kami bertemu di sebuah kedai kopi kecil, tempat yang pernah menjadi saksi bisu dari percakapan-percakapan manis kami dahulu. Ketika aku melihatnya, semua perasaan itu kembali datang—perasaan yang sudah lama terkubur dalam hati. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi kebencian yang menggerogoti hatiku. Tidak ada lagi keinginan untuk membalasnya. Hanya ada rasa kesedihan dan pengertian.
Dia pun tidak tampak seperti dirinya yang dulu. Matanya yang dulu penuh semangat kini tampak kosong, seolah-olah dia juga membawa beban yang berat. Kami duduk diam untuk beberapa saat, saling menatap tanpa kata. Waktu seakan berhenti, dan aku merasa dunia menjadi begitu sunyi. Pada saat itulah aku menyadari, bahwa kami berdua telah berubah. Kami tidak lagi menjadi orang yang sama yang dulu saling jatuh cinta. Kami adalah dua individu yang sudah terlalu lama terjebak dalam masa lalu, dan kini saatnya untuk melepaskan.
“Aku minta maaf,” katanya akhirnya, suaranya terdengar serak. “Aku tahu aku telah membuatmu menderita. Aku tidak bisa membenarkan apa yang telah aku lakukan, dan aku tidak akan meminta kamu untuk memaafkanku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyesal.”
Aku terdiam. Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa begitu berat. Aku tidak tahu apa yang harus kutanggapi. Semua amarah yang pernah aku rasakan seakan hilang begitu saja. Aku tahu bahwa perasaan itu tidak bisa dipaksakan untuk hilang begitu cepat, tetapi aku juga tahu bahwa membenci seseorang tidak akan pernah membebaskanku. Aku menatapnya dengan tatapan yang penuh kebingungan, tetapi juga sedikit pengertian.
“Aku juga menyesal,” jawabku, suara aku hampir tak terdengar. “Aku menyesal karena aku terlalu lama menyimpan dendam. Aku menyesal karena aku terlalu lama membiarkan diriku terperangkap dalam rasa sakit itu. Aku pikir, dengan membenci kamu, aku akan merasa lebih baik. Tapi kenyataannya, aku hanya semakin terluka.”
Kami berbicara lebih lama, mencoba untuk memahami satu sama lain. Tidak ada lagi kebencian, tidak ada lagi saling menyalahkan. Kami hanya dua manusia yang sedang berusaha untuk menyembuhkan diri mereka dari luka yang sama. Pada akhirnya, kami tahu bahwa tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, dan tidak ada yang bisa mengembalikan waktu yang telah hilang. Yang bisa kami lakukan adalah menerima kenyataan dan melangkah maju.
Aku meninggalkan kedai kopi itu dengan perasaan yang campur aduk—sedih, lega, dan sedikit bingung. Tetapi aku tahu satu hal: aku sudah mulai melepaskan masa lalu. Aku sudah memaafkan dia, dan yang lebih penting, aku sudah memaafkan diriku sendiri. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, apakah aku akan bisa melanjutkan hidup dengan orang lain, atau apakah aku akan kembali menemukan kebahagiaan. Tapi aku tahu satu hal pasti—aku sudah siap untuk melangkah maju. Dan itu, bagi diriku, adalah awal dari hidup baru.
Aku berjalan pulang di malam yang sunyi itu, mendongak ke langit yang dipenuhi bintang. Di sana, aku menemukan kedamaian. Mungkin tidak ada jawaban yang pasti untuk cinta dan kehilangan. Tapi yang kutahu adalah bahwa hidup terus berlanjut, dan kita selalu memiliki kesempatan untuk memulai lagi—untuk mencintai diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum kita bisa mencintai orang lain.
Dendam itu telah hilang, dan yang tersisa hanya harapan.***
—————THE END————-