Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

DARI JAUH AKU BERHARAP

DARI JAUH AKU BERHARAP

SAME KADE by SAME KADE
March 24, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 40 mins read
DARI JAUH AKU BERHARAP

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan Pertama dan Awal Cinta
  • Bab 2: Menjalani Jarak dan Waktu
  • Bab 3: Ujian Rindu dan Kepercayaan
  • Bab 4: Titik Balik dan Keputusan Besar

Bab 1: Pertemuan Pertama dan Awal Cinta

Cerita tentang pertama kali Alya dan Rian bertemu melalui aplikasi video call. Kesan pertama Alya tentang Rian yang ramah, cerdas, dan penuh semangat.

Rian yang kagum dengan kemampuan Alya untuk berbicara tentang berbagai topik dengan percaya diri, meski berada di tempat yang jauh darinya.

Mereka berbicara tentang karier, keluarga, dan hidup masing-masing, akhirnya membahas topik tentang impian mereka.

Mulai tumbuh perasaan antara keduanya meski tak langsung diungkapkan, karena mereka tahu hubungan ini sulit untuk dijalani.

Alya

Alya duduk di meja kerjanya di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menatap layar laptop yang memantulkan cahaya biru dari rapat virtual yang sedang berlangsung. Pagi itu cuaca mendung, tidak seperti biasa, langit Jakarta terasa lebih gelap dan gerimis perlahan mulai turun. Namun, Alya tidak mempedulikan hujan yang mulai merintik. Fokusnya tertuju pada pembicaraan yang sedang berlangsung di layar laptopnya. Sebagai seorang pengusaha muda, setiap kesempatan untuk memperluas jaringan dan belajar dari orang-orang yang lebih berpengalaman adalah kesempatan emas.

Namun, di tengah rapat yang penuh dengan pembahasan serius mengenai pengembangan bisnis, Alya tidak bisa menahan rasa penasaran ketika seorang pembicara baru bergabung dengan rapat—seorang pria muda dengan nama Rian yang muncul dari layar dengan latar belakang sebuah perpustakaan yang tampak cukup besar.

“Alya, apakah ada pertanyaan mengenai strategi pemasaran yang baru kita bahas?” suara pembicara lainnya terdengar dari layar, tetapi Alya tidak mendengarnya. Matanya masih tertarik pada Rian, pria itu terlihat tenang dan percaya diri, dengan rambut pendek yang rapi dan kacamata yang memberi kesan intelektual. Senyumnya yang ramah dan cara dia berbicara dengan percaya diri membuat Alya merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya.

Begitu rapat selesai, Alya segera membuka akun LinkedIn-nya. Ia merasa ingin menghubungi pria itu, bukan untuk membahas bisnis, melainkan karena perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya—sebuah rasa ingin tahu yang menggelitik. Dengan cepat, ia mengetikkan pesan singkat di LinkedIn, mengundang Rian untuk melanjutkan percakapan di luar rapat.

“Hi Rian, saya Alya, tadi kita ada di rapat yang sama. Saya tertarik dengan pendapat kamu mengenai strategi pemasaran tadi. Jika ada waktu, saya ingin mendengarkan lebih lanjut tentang pemikiran kamu.”

Tak butuh waktu lama, balasan dari Rian masuk ke kotak pesan Alya.

“Hi Alya, terima kasih atas pesanmu. Senang bisa berkenalan lebih dekat. Saya memang cukup tertarik dengan topik tersebut, jadi jika kamu ingin berbicara lebih lanjut, saya senang sekali bisa berbagi pemikiran. Bagaimana kalau kita jadwalkan percakapan lebih lanjut?”

Alya tersenyum membaca pesan itu. Tidak ada yang spesial dengan pesan tersebut, tetapi entah kenapa, ada semacam kedekatan yang ia rasakan. Mungkin karena Rian menjawab dengan cepat dan tampaknya antusias. Itu adalah awal dari segala sesuatu yang tidak pernah Alya bayangkan sebelumnya.

Rian duduk di ruang tamunya yang serba putih di Eropa, menghadap laptop yang baru saja ia tutup setelah rapat virtual itu. Meskipun di luar, cuaca sangat cerah, hati Rian merasa agak berat. Ia sudah lama tinggal jauh dari rumah, merantau untuk studi di Eropa, dan meskipun ia senang dengan kesempatan ini, ia merasa sedikit kesepian. Namun, sejak beberapa hari lalu, ia mulai mengikuti berbagai webinar dan rapat virtual terkait bisnis. Dalam acara yang baru saja selesai, ada seorang wanita bernama Alya yang menarik perhatiannya.

Rian sangat menghargai kecerdasan dan kepercayaan diri yang ditunjukkan Alya dalam diskusi. Ketika dia memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Alya melalui LinkedIn, ia merasa canggung, namun juga senang. Menjalin komunikasi dengan seseorang yang tampaknya memiliki pandangan yang tajam dan sikap yang sama-sama profesional adalah kesempatan yang baik untuk saling bertukar pikiran.

“Hi Alya, saya senang bisa berkenalan lebih jauh setelah rapat tadi. Jika kamu ingin mendiskusikan lebih lanjut tentang apa yang kita bicarakan, saya sangat terbuka untuk itu.”

Rian menunggu beberapa menit, dan akhirnya, pesan balasan dari Alya masuk. Hatinya berdebar sedikit, namun ia berusaha tetap tenang. Ketika membaca pesan balasan Alya yang menunjukkan minat, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia sering berkomunikasi dengan orang-orang dari berbagai belahan dunia, namun ada rasa ketertarikan lebih yang ia rasakan pada Alya. Suara dalam dirinya bertanya, apakah ini hanya sekadar keinginan untuk berbagi ide, ataukah ada sesuatu yang lebih.

Beberapa hari kemudian, mereka berdua mulai melakukan percakapan lebih lanjut melalui video call. Mereka berbicara tentang berbagai hal—tentang pekerjaan mereka, tentang masa depan, dan tentang kehidupan di kota mereka masing-masing. Alya berbicara tentang kehidupan di Jakarta, tentang kesibukannya, dan ambisinya untuk membangun bisnis. Sementara Rian berbicara tentang kehidupannya di luar negeri, tentang bagaimana ia berjuang menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di Eropa.

“Aku benar-benar ingin bisa mengunjungi tempat-tempat baru di Eropa, tapi jadwal kerja kadang membuat aku hampir tidak punya waktu,” ujar Alya, sambil tersenyum.

Rian tertawa kecil. “Sama, pekerjaan juga sering mengikatku. Tapi aku rasa, itu bagian dari proses untuk mencapai impian, kan?”

Alya mengangguk setuju. Mereka berdua berbicara dengan sangat nyaman. Tak terasa, percakapan yang dimulai dengan topik serius berlanjut ke obrolan yang lebih ringan. Mereka mulai berbicara tentang hobi masing-masing—Alya yang menyukai seni, terutama seni lukis, dan Rian yang mengaku sangat menikmati kegiatan hiking dan bersepeda di alam bebas.

Rian:
“Kamu suka seni, ya? Aku juga cukup tertarik dengan seni, terutama fotografi. Tapi lebih banyak lihat-lihat saja sih, belum terlalu mendalam.”

Alya:
“Sama. Aku hanya menikmati melukis sebagai bentuk ekspresi. Tapi entah kenapa, rasanya ada kedamaian kalau aku sedang melukis atau melihat lukisan.”

Percakapan terus mengalir, dan meskipun tidak ada yang menyebutkan tentang perasaan atau harapan, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara keduanya. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan—sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional.

Setelah beberapa minggu berkomunikasi hampir setiap hari, Alya dan Rian merasa semakin dekat. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang hal-hal pribadi, tentang keluarga, tentang pengalaman hidup mereka. Mereka tertawa bersama, kadang berbicara serius tentang impian mereka yang ingin dicapai dalam hidup. Namun, di balik itu semua, Alya mulai merasakan adanya perasaan lebih—perasaan yang tak bisa ia sembunyikan. Ada daya tarik yang lebih kuat daripada sekadar pertemanan.

Satu sore, Rian memberi kejutan. Ia mengajukan pertanyaan yang selama ini tak pernah Alya duga.

Rian:
“Alya, bagaimana kalau kita bertemu langsung suatu saat? Aku tahu ini mungkin terdengar konyol, tetapi aku merasa kita sudah cukup dekat.”

Alya terdiam sejenak, bingung, tetapi juga merasa antusias. Rencana bertemu itu seperti angin segar bagi hatinya yang mulai gelisah. Jarak antara mereka yang ribuan kilometer tiba-tiba terasa lebih dekat. Namun, ada keraguan yang menyelimuti perasaannya.

Alya:
“Aku ingin sekali bertemu kamu, Rian. Tapi… apakah kita siap? Aku khawatir ini hanya perasaan sementara karena komunikasi kita yang intens.”

Rian:
“Aku mengerti kekhawatiranmu, Alya. Tapi aku merasa ini lebih dari sekadar kebetulan. Kita sudah berbicara cukup lama dan aku mulai merasa bahwa ini adalah sesuatu yang nyata.”

Percakapan mereka malam itu memberikan secercah harapan baru. Meski ada ketakutan dan keraguan yang tak bisa dihindari, keduanya merasa bahwa mereka ingin melangkah ke fase berikutnya—untuk akhirnya bertemu secara langsung dan melihat apakah perasaan ini akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih kuat.

Seiring berjalannya waktu, perasaan mereka semakin mendalam. Alya merasakan adanya keterikatan emosional yang kuat meskipun mereka terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Begitu pula dengan Rian, ia merasa ada kedekatan yang semakin nyata, yang membawanya pada satu kesimpulan: meskipun semuanya terasa tidak pasti, ada harapan yang ingin mereka pegang bersama.

Saat layar komputer mereka dimatikan, masing-masing merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertemuan online. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi mereka tahu satu hal—perjalanan ini baru saja dimulai, dan tidak ada yang bisa menghentikan mereka untuk terus berharap.

Hari itu, Rian duduk di ruang kerjanya di apartemennya yang kecil namun nyaman. Waktu menunjukkan pukul 10 malam, dan meskipun ia masih sibuk dengan pekerjaan, pikirannya sering kali melayang kepada Alya. Setelah berbulan-bulan hidup di luar negeri, menjalin hubungan profesional dan pertemanan dengan banyak orang, Rian merasa aneh ada satu perasaan yang begitu kuat muncul dari komunikasi dengan Alya.

Awalnya, Rian hanya melihat Alya sebagai seorang profesional yang cerdas. Tetapi semakin sering mereka berbicara, semakin ia merasa ada kedekatan yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Ada semacam kenyamanan yang ia rasakan dalam berbicara dengannya. Terlebih lagi, Alya tidak hanya menarik dalam hal penampilan, tetapi juga dalam cara berpikir dan ambisinya dalam hidup. Hal itu membuat Rian semakin tertarik, lebih dari yang ia kira.

Sebuah pesan baru muncul di layar ponselnya. Itu adalah pesan dari Alya, dengan emoji senyum kecil yang selalu berhasil membuat Rian merasa lebih dekat dengan gadis itu.

Alya:
“Rian, bagaimana kabarmu hari ini? Aku baru saja selesai meeting dan rasanya kepala ini penuh banget.”

Rian:
“Hahaha, aku juga sama. Kadang rasanya otakku sudah hampir penuh. Tapi setelah bicara dengan kamu, rasanya kepala ini lebih ringan.”

Pesan singkat itu disertai dengan emotikon tertawa, yang membuat Rian merasa semakin dekat. Ada rasa hangat yang tumbuh dalam dirinya setiap kali berbicara dengan Alya.

Sementara itu, Alya duduk di ruang tamunya, menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Beberapa bulan terakhir, ia mulai merasa ada yang berbeda dengan hubungan mereka. Meskipun awalnya mereka hanya berbicara mengenai pekerjaan dan membahas strategi bisnis, ada perasaan yang tumbuh perlahan—suatu perasaan yang tidak bisa ia hindari. Bahkan saat mereka tidak berbicara tentang hal-hal pribadi, tetap ada kedekatan yang terasa.

Namun, perasaan ini juga membawa keraguan dalam dirinya. Bagaimana mungkin hubungan yang dimulai dari komunikasi jarak jauh ini bisa berlanjut menjadi sesuatu yang lebih? Apalagi jarak antara mereka yang begitu jauh. Alya tak bisa menahan pikirannya yang mulai meragu. “Apakah aku hanya membangun bayangan tentang dia dalam pikiranku? Atau adakah dia merasakan hal yang sama?” pikirnya.

Ia sering kali merasa bingung. Ada rasa takut bahwa perasaan ini hanya sementara dan tak akan bertahan lama. Tetapi, satu hal yang pasti—Alya tidak bisa menafikan kenyataan bahwa ia merindukan percakapan mereka. Setiap kali Rian mengirim pesan atau video call, hatinya merasa lebih ringan, seperti ada sesuatu yang ia cari tanpa disadari.

Terkadang, Alya merasa cemas. Bagaimana jika perasaan ini hanya ada di kepalanya? Bagaimana jika Rian tidak merasakannya sama? Semua kekhawatiran ini datang bersamaan, terutama karena kenyataan bahwa hubungan ini lebih dari sekadar hubungan profesional. Mereka sudah saling berbagi banyak hal, dan kedekatan mereka mulai melebihi batasan pertemanan biasa.

Beberapa hari setelah percakapan tentang kesibukan mereka, Rian dan Alya kembali melanjutkan komunikasi mereka. Kali ini, percakapan mereka lebih intim. Mereka mulai berbicara tentang topik yang lebih pribadi—tentang kenangan masa kecil, keluarga, dan bahkan pandangan mereka mengenai hubungan.

Rian:
“Alya, aku rasa kita mulai berbicara lebih sering, bukan? Aku mulai merasa kita lebih dari sekadar teman diskusi bisnis.”

Alya membaca pesan itu dengan hati-hati. Ada sesuatu dalam kalimat itu yang membuatnya merasa sedikit cemas. Ia merasakan perasaan yang sama, tetapi apakah ini benar-benar langkah yang tepat? Tidak ada yang bisa memastikan bagaimana hal ini akan berakhir, terutama karena mereka berada di belahan dunia yang berbeda.

Alya:
“Aku juga merasa begitu, Rian. Tapi kadang aku takut kalau kita hanya berbicara karena waktu yang panjang kita habiskan bersama. Apakah ini hanya sementara?”

Rian:
“Aku rasa tidak. Aku merasa ini lebih dari itu, Alya. Terkadang, saat aku berbicara dengan kamu, rasanya seperti ada hubungan yang kuat meskipun kita belum pernah bertemu. Kita berdua tahu bahwa ini tidak mudah, tapi apakah kamu tidak merasa ada sesuatu yang lebih?”

Pikiran Alya terhenti sejenak. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan perasaan yang berkembang dalam dirinya, tetapi kalimat Rian itu membuatnya terdiam. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus berputar dalam lingkaran pertanyaan tanpa jawaban. Ada yang harus dilakukan, dan perasaan ini harus diuji.

Alya:
“Kamu benar, Rian. Aku merasa sama. Aku ingin kita bertemu, tapi aku juga takut kalau kenyataan tidak seperti yang kita bayangkan.”

Rian mendengar keraguan dalam suara Alya, dan meskipun ia sendiri merasa cemas, ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. “Alya,” pikirnya, “Jika kita terus menghindari kenyataan, kita tidak akan pernah tahu apakah hubungan ini benar-benar berarti.”

Keputusan untuk bertemu secara langsung tidak datang begitu saja. Keduanya ragu, tetapi setelah melalui beberapa kali percakapan serius, mereka akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah berani itu.

Rian merencanakan untuk datang ke Jakarta beberapa minggu kemudian. Ia tahu, meskipun perjalanan ini panjang dan sulit, ia ingin melihat apakah perasaan yang mereka rasakan benar-benar ada di dunia nyata, ataukah hanya sebuah ilusi dari percakapan panjang mereka yang terhubung melalui layar kaca.

Di sisi lain, Alya mulai merasakan kegelisahan dan kecemasan yang semakin membesar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mereka bertemu. Semua kekhawatiran tentang perasaan yang tidak pasti mulai menggerogoti hatinya. Tapi satu hal yang ia tahu pasti, ia ingin memberi kesempatan untuk merasakan apakah cinta yang tumbuh ini nyata, ataukah hanya sebuah khayalan yang dilahirkan dari rasa kesepian dan harapan.

Hari-hari menjelang pertemuan mereka terasa sangat lama bagi Alya. Ia mempersiapkan diri dengan berbagai pikiran—bagaimana jika mereka merasa canggung satu sama lain? Atau bagaimana jika mereka tidak saling menyukai setelah bertemu? Banyak kemungkinan yang mulai muncul dalam pikirannya, tetapi satu hal yang tak bisa ia hilangkan: harapan.

“Jika aku tidak mencoba, aku akan terus bertanya-tanya,” pikir Alya, meresapi setiap detik yang berlalu. Ia mencoba untuk tetap tenang, tetapi dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih besar—sebuah harapan yang mulai tumbuh.

Dan begitu Rian akhirnya menginjakkan kaki di Jakarta, suasana hati Alya mulai berubah. Meski cemas, ia merasa terinspirasi oleh keberanian yang ditunjukkan Rian untuk datang dan melihat apakah mereka bisa menjadi lebih dari sekadar suara dan gambar di layar.*

Bab 2: Menjalani Jarak dan Waktu

Mereka memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan meski terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Mereka mulai menjalani komunikasi intens melalui pesan teks, telepon, dan video call.

Kehidupan mereka masing-masing semakin sibuk, dan waktu yang tersedia untuk berbicara menjadi semakin terbatas.

Alya merasa kesepian di tengah kesibukannya, dan Rian juga merasa terisolasi di negara asing tanpa banyak teman dekat.

Beberapa minggu setelah Rian pulang dari pertemuan pertama mereka di Jakarta, hidup Alya kembali pada rutinitasnya yang sibuk. Pagi hari dimulai dengan rapat-rapat bisnis yang menumpuk, sedangkan sore hari diisi dengan berbagai proyek yang harus diselesaikan. Tetapi, meskipun banyak hal yang harus dikerjakan, pikiran Alya tidak bisa lepas dari apa yang terjadi dalam pertemuan mereka. Ada begitu banyak perasaan yang melingkupi dirinya sejak Rian kembali ke Eropa—perasaan bahagia, cemas, dan sedikit rindu.

Namun, satu hal yang tidak bisa dihindari: jarak antara mereka yang kembali menjadi kenyataan. Meski pertemuan itu penuh kehangatan, dan mereka berdua merasakan bahwa hubungan ini bisa menjadi lebih dari sekadar percakapan, kenyataan bahwa mereka kembali terpisah oleh ribuan kilometer membuat Alya merasa cemas. Ada rasa kekhawatiran di hati Alya, khawatir bahwa cinta ini hanya akan menjadi kenangan yang tertinggal.

Setelah beberapa hari penuh kebingungan, Alya mulai berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Di satu sisi, ia merasa lega bisa kembali berfokus pada pekerjaannya. Namun di sisi lain, hubungan dengan Rian terus berkembang, meski harus dihadapi dengan komunikasi jarak jauh. Meskipun Rian sering mengirim pesan atau mengatur panggilan video, tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran fisik.

Alya
“Rian, apakah kita bisa tetap menjaga hubungan ini meskipun kita terpisah jarak jauh?”
Itu adalah pertanyaan yang sering muncul di pikirannya. Ia tahu, hubungan jarak jauh tidak mudah. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, dan tentu saja, ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan ini.

Rian, di sisi lain, merasa hal yang sama. Walaupun ia berusaha menunjukkan bahwa ia siap untuk hubungan jarak jauh, ada kekhawatiran yang terus menghantui dirinya. Ia tahu bahwa bekerja di luar negeri berarti ia harus selalu siap menghadapi tantangan, dan hubungan dengan Alya adalah tantangan baru yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya.

Rian

Di Eropa, Rian juga merasakan hal yang sama. Hidupnya yang biasanya penuh dengan kegiatan dan rutinitas yang telah ia bangun selama bertahun-tahun kini terasa sedikit berbeda. Setiap kali ia selesai bekerja, pikirannya selalu kembali kepada Alya. Meskipun jarak mereka cukup jauh, Rian merasa seolah-olah Alya selalu dekat di hatinya.

Hari-harinya di Eropa sekarang menjadi lebih sepi, meski ia tetap sibuk dengan pekerjaannya. Ketika akhir pekan tiba, ia merasa kesendirian yang lebih dalam. Setiap kali ia berencana untuk pergi berlibur atau melakukan aktivitas yang biasa ia nikmati, rasa rindu kepada Alya seakan menjadi bayang-bayang yang tak bisa ia hindari.

Namun, Rian berusaha untuk tetap optimis. Setiap kali mereka berbicara, entah itu melalui pesan teks, video call, atau bahkan hanya sekadar bertukar email, hatinya merasa lebih tenang. Rian merasa bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu, ada ikatan yang lebih kuat yang mengikat mereka berdua. Seperti halnya Alya, ia juga bertanya-tanya apakah hubungan ini bisa bertahan lebih lama.

Pernah suatu malam, ketika Rian baru saja selesai bersepeda, ia menatap langit malam yang cerah. Ia berpikir tentang Alya—tentang harapan mereka untuk bisa bersama, tentang kemungkinan masa depan yang cerah meski mereka terpisah oleh jarak.

Selama beberapa minggu pertama, keduanya mulai merasa terhambat oleh keraguan. Mereka merasa bahwa hubungan mereka sedang diuji oleh jarak dan waktu. Setiap kali mereka berbicara, ada perasaan hangat yang tetap ada, tetapi ada juga rasa khawatir yang datang tanpa diundang. Alya sering kali merasa bingung tentang bagaimana menjaga hubungan ini agar tetap hidup meskipun mereka tidak bisa bertemu sesering yang mereka inginkan. Begitu pula dengan Rian, ia sering merenung apakah perasaan ini benar-benar kuat atau hanya sebuah fase sementara yang datang karena perasaan kesepian.

Namun, mereka tidak membiarkan keraguan itu menghancurkan hubungan mereka. Mereka memutuskan untuk berbicara secara terbuka tentang ketakutan dan harapan mereka. Alya menyadari bahwa meskipun tidak ada jaminan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, yang penting adalah komitmen yang mereka berdua buat untuk saling mendukung dan menjaga komunikasi.

Alya:
“Aku ingin kita mencoba, Rian. Aku tahu ini tidak akan mudah, dan ada banyak ketidakpastian, tapi aku ingin kita terus berusaha. Aku merasa kita sudah terlalu jauh untuk berhenti.”

Rian:
“Aku setuju, Alya. Aku tahu kita akan menghadapi banyak tantangan, tapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama. Aku siap untuk menjaga hubungan ini, bahkan jika itu harus melalui pesan-pesan dan video call yang panjang.”

Percakapan itu menjadi titik balik bagi mereka berdua. Meskipun ketidakpastian masih ada, mereka berdua setuju untuk terus berjuang. Komitmen mereka pada hubungan ini memberi keduanya kekuatan untuk melanjutkan, meskipun tantangan tetap ada di depan.

Salah satu aspek terpenting yang mereka temui dalam hubungan jarak jauh adalah pentingnya komunikasi yang terbuka dan jujur. Mereka belajar untuk lebih memahami satu sama lain, bukan hanya dalam hal-hal besar, tetapi juga dalam hal-hal kecil. Seiring waktu, mereka menjadi lebih terbuka dengan perasaan mereka, baik itu rasa rindu, kecemasan, atau kebahagiaan. Setiap percakapan, meskipun hanya berupa pesan singkat atau panggilan video singkat, menjadi momen berharga yang mereka tunggu-tunggu.

Rian:
“Pernahkah kamu merasa seperti kita sedang hidup di dua dunia yang berbeda, Alya? Kadang aku merasa seolah-olah kita hanya berada di layar kaca.”

Alya:
“Aku mengerti, Rian. Terkadang, aku merasa kita seperti dua orang yang sedang berada di dua dunia yang jauh berbeda, tetapi kemudian aku ingat bahwa meskipun kita tidak berada di tempat yang sama, kita selalu ada di hati satu sama lain.”

Sederhana, namun percakapan tersebut menggambarkan betapa pentingnya mereka saling memahami dan mengingatkan satu sama lain bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak, ikatan emosional mereka tetap kuat.

Meskipun komunikasi yang terbuka dan komitmen yang kuat sangat membantu, tetap ada tantangan dalam menjalani hubungan jarak jauh. Ada momen-momen di mana mereka merasa kesepian, atau merasa cemas tentang masa depan. Rian, misalnya, sering kali merasa frustrasi karena ia tidak bisa berada di sana untuk mendukung Alya secara fisik ketika ia menghadapi tantangan dalam pekerjaannya.

Begitu juga dengan Alya. Ia sering merasa bahwa pekerjaan dan kehidupannya yang sibuk menghalangi mereka untuk berkomunikasi lebih sering. Kadang-kadang ia merasa bersalah karena tidak bisa selalu ada untuk Rian seperti yang ia inginkan. Bahkan saat mereka berbicara, kadang-kadang ada perasaan bahwa satu dari mereka merasa lebih membutuhkan perhatian.

Tantangan lainnya adalah rasa rindu yang tidak pernah benar-benar hilang. Setiap kali mereka merencanakan untuk melakukan video call, mereka tahu itu tidak akan sama dengan bertemu langsung. Ada perasaan yang sulit untuk dijelaskan tentang betapa berharganya kehadiran fisik. Meskipun mereka sudah berusaha mengatasinya dengan panggilan dan pesan setiap hari, ada saat-saat ketika perasaan rindu itu begitu kuat, membuat mereka bertanya-tanya apakah hubungan ini akan bertahan.

Namun, meskipun banyak tantangan yang harus mereka hadapi, mereka tetap berusaha menjaga semangat. Mereka mulai berbicara lebih banyak tentang masa depan mereka—tentang bagaimana mereka ingin bisa tinggal di satu tempat yang sama suatu hari nanti, bagaimana mereka bisa merencanakan liburan bersama, atau bahkan tentang kemungkinan untuk bekerja bersama di satu proyek.

Rian:
“Alya, bagaimana kalau kita mulai merencanakan sesuatu? Mungkin perjalanan bersama setelah beberapa bulan ini? Kita bisa bertemu di tempat yang kita berdua inginkan.”

Alya:
“Aku suka sekali idenya! Bisa kita pilih tempat yang memiliki arti khusus buat kita, dan itu bisa menjadi awal dari babak baru hubungan kita.”

Mereka mulai merencanakan sebuah perjalanan, bukan hanya untuk liburan, tetapi untuk memberi kesempatan bagi hubungan mereka untuk berkembang lebih jauh. Perjalanan itu menjadi simbol harapan mereka untuk masa depan, dan sebagai pengingat bahwa meskipun terpisah oleh jarak, mereka tetap saling mendukung.

Setelah berbulan-bulan menjalani hubungan jarak jauh, baik Alya maupun Rian mulai menemukan cara-cara baru untuk saling mendekatkan diri meskipun terbatas oleh jarak. Salah satu hal yang mereka mulai lakukan adalah membuat “kenangan virtual”—momen-momen kecil yang tidak hanya mereka nikmati bersama, tetapi juga menjadi simbol dari perjuangan mereka untuk tetap bertahan.

Salah satunya adalah dengan membuat daftar lagu yang mereka dengarkan bersama. Setiap kali Rian menemukan lagu baru yang ia rasa bisa menggambarkan perasaannya, ia akan mengirimkan lagu itu kepada Alya, disertai pesan singkat yang mengatakan “ini untuk kamu.” Begitu juga Alya, setiap kali ia mendengar lagu yang membuatnya teringat pada Rian, ia akan berbagi. Terkadang, mereka mendengarkan lagu tersebut bersama-sama saat video call. Walaupun hanya sebentar, momen-momen kecil seperti itu memberi mereka rasa kedekatan yang tak ternilai.

Rian:
“Alya, aku mendengar lagu ini dan langsung teringat padamu. Aku harap, ketika kamu mendengarnya, kamu akan merasa sedikit lebih dekat dengan aku.”

Alya:
“Aku pasti merasa dekat, Rian. Seperti kamu ada di sini, mendengarkan lagu ini bersamaku.”

Setiap percakapan, setiap tawa yang mereka bagi, menjadi semakin berharga. Rindu yang dulu terasa menyesakkan kini menjadi lebih ringan, meski tetap ada. Mereka belajar untuk menerima bahwa jarak tidak akan mudah dilalui, tetapi itu bukanlah penghalang bagi mereka untuk tetap mencintai satu sama lain.

Meskipun keduanya sudah semakin beradaptasi dengan rutinitas masing-masing, kenyataan bahwa mereka hidup di dua dunia yang berbeda tetaplah tidak mudah. Ada hari-hari ketika Alya merasa sangat sibuk dengan pekerjaannya, dan Rian merasa sendirian di Eropa, sementara rindu yang ia rasakan semakin mendalam. Mereka belajar untuk memberi ruang satu sama lain dalam hidup yang sibuk, namun tetap berusaha menjaga komunikasi. Kadang, mereka hanya saling mengirim pesan singkat saat berada di tengah aktivitas, atau merencanakan waktu untuk berbicara melalui video call meskipun hanya beberapa menit.

Ada kalanya mereka merasa cemas karena merasa tidak bisa memberi perhatian lebih satu sama lain, atau bahkan merasa seperti mulai tumbuh kebosanan dalam rutinitas mereka. Namun, mereka tidak membiarkan hal tersebut menghalangi mereka untuk terus berusaha. Setiap kali keraguan mulai muncul, mereka berbicara terbuka tentang perasaan tersebut.

Alya:
“Aku khawatir kalau kita tidak cukup berbicara, Rian. Terkadang aku merasa hubungan ini bisa kehilangan arah.”

Rian:
“Aku juga merasakannya, Alya. Tapi aku percaya kita bisa melalui ini. Mungkin kita perlu lebih sering memberi waktu untuk kita berdua, dan berkomitmen lebih pada hubungan ini.”

Mereka sepakat untuk lebih terbuka satu sama lain, agar tidak ada lagi yang terpendam. Mereka juga mulai merencanakan waktu-waktu khusus untuk berbicara lebih dalam, tidak hanya tentang pekerjaan atau masalah sehari-hari, tetapi juga tentang perasaan mereka, kekhawatiran mereka, dan harapan mereka untuk masa depan.

Meski tantangan besar selalu ada, hubungan ini justru mulai membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih kuat. Mereka belajar banyak tentang diri mereka sendiri, tentang kesabaran, dan tentang bagaimana mengelola emosi dalam hubungan yang terpisah oleh jarak.

Alya, yang dulunya cenderung perfeksionis dan sangat mengandalkan stabilitas, mulai belajar untuk lebih santai dan memberi ruang untuk ketidakpastian. Ia mulai lebih menghargai setiap momen yang mereka bagikan, meskipun jaraknya jauh. Ia juga mulai membuka dirinya lebih banyak kepada Rian, berbagi perasaan yang biasanya ia simpan sendiri.

Rian, di sisi lain, mulai belajar untuk lebih peka terhadap kebutuhan Alya, bahkan jika itu tidak selalu jelas. Ia menyadari bahwa komunikasi bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga tentang memahami perasaan tanpa harus dijelaskan secara langsung. Hubungan ini membuatnya lebih introspektif dan lebih peduli dengan perasaan pasangan, terutama saat mereka sedang berjarak.

Mereka berdua mulai merasakan perubahan besar dalam diri mereka—lebih matang, lebih sabar, dan lebih siap untuk menghadapi kehidupan. Meskipun hubungan jarak jauh mereka belum bebas dari tantangan, mereka semakin merasa bahwa perjuangan ini layak untuk diperjuangkan.

Satu malam, setelah percakapan panjang tentang kehidupan dan mimpi-mimpi mereka, Rian mengajukan sebuah pertanyaan yang belum pernah mereka bahas sebelumnya.

Rian:
“Alya, apakah kamu pernah berpikir tentang masa depan kita? Aku tahu kita masih jauh, tapi aku merasa kita bisa melakukan sesuatu yang lebih. Mungkin kita bisa merencanakan untuk tinggal di satu tempat suatu hari nanti.”

Alya:
“Aku sudah memikirkan itu, Rian. Aku tahu, kita tidak bisa terus seperti ini selamanya. Tapi aku ingin kita berdua merasa siap. Aku ingin merencanakan sesuatu yang lebih jelas, sesuatu yang membuat kita berdua merasa aman dan stabil.”

Rian:
“Jadi, bagaimana kalau kita mulai merencanakan masa depan itu? Mungkin dalam setahun atau dua tahun dari sekarang, kita bisa menemukan cara untuk mengakhiri jarak ini.”

Alya menghela napas panjang, merasa berat tapi sekaligus lega. Keputusan itu bukan hal yang mudah, tetapi itu adalah langkah besar bagi mereka berdua untuk menuju masa depan bersama. Mereka tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan akan ada lebih banyak tantangan yang datang, tetapi mereka sudah siap untuk berjuang bersama.

Alya dan Rian mulai merencanakan langkah-langkah yang lebih konkret untuk masa depan mereka. Mereka berbicara tentang kemungkinan untuk pindah, bekerja bersama di satu tempat, dan merencanakan kehidupan mereka tanpa adanya jarak yang memisahkan. Walaupun mereka tahu masih ada banyak hal yang harus dipersiapkan, rasa optimisme dan harapan mereka semakin besar.

Namun, meskipun mereka memutuskan untuk menuju masa depan bersama, kenyataan tetap mengingatkan mereka bahwa hubungan ini bukan tanpa tantangan. Mereka harus melewati banyak peristiwa yang akan menguji komitmen mereka. Salah satu hal yang mereka hadapi adalah ketidakpastian pekerjaan, serta adanya kemungkinan bahwa salah satu dari mereka harus membuat pengorbanan besar. Tetapi, mereka berdua merasa bahwa inilah yang harus dilakukan demi kebahagiaan bersama di masa depan.

Alya dan Rian, meskipun masih terpisah oleh jarak, semakin merasa kuat dengan keputusan mereka untuk terus berjuang bersama. Meskipun perasaan rindu tidak pernah sepenuhnya hilang, mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil adalah bagian dari perjalanan panjang yang akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih stabil dan bahagia.

Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka siap menghadapi apapun yang datang selama mereka bisa melakukannya bersama.

Dan untuk pertama kalinya, meskipun masih banyak ketidakpastian di depan, mereka merasa yakin bahwa hubungan ini bukan hanya tentang bertahan hidup dengan jarak dan waktu, tetapi tentang berkembang bersama dalam cinta yang tulus.*

Bab 3: Ujian Rindu dan Kepercayaan

Alya merasa bingung dan semakin tertekan dengan jarak yang makin menjauhkan mereka. Sementara itu, Rian merasa kesulitan untuk menghadapi kenyataan bahwa ia tidak bisa selalu ada di sisi Alya.

Percakapan mereka yang semakin jarang dan ketegangan yang terjadi membuat Alya bertanya-tanya apakah mereka bisa melanjutkan hubungan ini.

Rian mulai merasa cemas tentang masa depan hubungan mereka, apakah semuanya hanya akan berakhir karena perbedaan jarak dan waktu.

Setiap malam, Alya duduk di depan layar ponselnya, melihat ke layar penuh harapan. Matahari telah tenggelam di langit Jakarta, menyisakan langit gelap yang semakin pekat. Semua orang di sekitarnya sudah selesai dengan rutinitas mereka, tetapi baginya, malam ini terasa berbeda. Sejak pertemuan pertama mereka beberapa bulan lalu, rindu terhadap Rian semakin tumbuh kuat. Rian yang kini kembali di Eropa, jauh di sana, membuat hati Alya sering kali gelisah, dan setiap detik yang berlalu seakan penuh dengan kerinduan yang tak terkatakan.

Malam itu, Alya memutuskan untuk menghubungi Rian. Ia mengirim pesan singkat:
“Aku rindu.”

Beberapa detik berlalu sebelum pesan itu dibalas. Rian menanggapi dengan emoji hati yang membuatnya tersenyum, meskipun hatinya masih terasa kosong. Mereka sudah terbiasa dengan komunikasi lewat pesan teks, panggilan video, dan kiriman suara, namun tetap saja, itu tidak pernah cukup untuk menghilangkan rasa rindu yang terus menggerogoti.

Rian:
“Aku juga rindu, Alya. Rasanya setiap hari seperti ada bagian dari diriku yang hilang.”

Tapi malam itu, ada yang berbeda. Rian tampak lebih sibuk dari biasanya. Tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama seperti biasa. Alya merasa sedikit kecewa, meskipun ia berusaha memahami kesibukan Rian yang selalu penuh dengan pekerjaan dan aktivitas di luar sana. Tetapi rasa rindu yang menggerogoti hatinya tak bisa disembunyikan begitu saja.

Alya:
“Aku tahu kamu sibuk, tapi kadang rasanya seperti kita semakin jauh.”

Pesan itu keluar dari jari Alya tanpa banyak berpikir. Ada sedikit kepahitan yang mengendap di dalamnya, perasaan yang sudah lama ia simpan tapi tidak pernah diungkapkan.

Rian:
“Aku mengerti. Aku juga merasa hal yang sama, Alya. Aku ingin kita bisa lebih sering berbicara, tapi kadang waktunya tidak selalu memungkinkan.”

Alya terdiam sejenak. Dia tahu, kehidupan Rian memang penuh dengan rutinitas yang padat, tetapi rasa kesepian itu semakin kuat. Ia merasa seperti ada jarak yang tidak hanya terbentuk oleh ribuan kilometer, tetapi juga oleh kesibukan yang kadang menghalangi komunikasi mereka. Sebuah perasaan yang sangat manusiawi, namun sulit untuk diterima dalam hubungan jarak jauh.

Beberapa hari setelah percakapan itu, Alya merasakan adanya perubahan. Rian mulai semakin jarang menghubunginya. Awalnya, dia hanya merasa sibuk, tetapi lambat laun, ada perasaan lain yang muncul: rasa cemas. Apa yang terjadi? Apakah Rian mulai kehilangan ketertarikannya? Ataukah rindu mereka berdua sudah mulai berkurang? Semua pertanyaan itu membanjiri pikiran Alya tanpa jawaban yang pasti.

Hari-hari berlalu dengan kekosongan. Alya mencoba sibuk dengan pekerjaannya, namun hatinya selalu kembali pada Rian. Setiap kali ia mencoba berbicara, selalu saja ada jarak yang menghalangi. Kadang, Alya merasa seperti Rian hanya sekadar berbicara untuk mengisi waktu, bukan karena benar-benar ingin berbicara. Ketakutan itu semakin membesar—apakah hubungan ini akan bertahan?

Suatu hari, Alya memutuskan untuk mengirimkan pesan panjang kepada Rian. Ia ingin mengungkapkan semua perasaan yang selama ini ia pendam, tetapi takut akan menambah masalah.

Alya:
“Rian, aku tahu kita jauh, dan aku tidak bisa mengharapkanmu untuk selalu ada. Tapi akhir-akhir ini aku merasa seperti ada jarak yang semakin besar di antara kita. Aku merasa kita mulai kehilangan satu sama lain. Aku rindu kita yang dulu—yang selalu bisa berbicara tanpa merasa ada ruang yang kosong. Aku hanya ingin tahu apakah kita masih bisa bertahan dengan semua ini.”

Alya mengirim pesan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega telah mengungkapkan perasaannya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa cemas jika ini akan membuat Rian merasa tertekan atau malah menjauhkan mereka lebih jauh lagi.

Beberapa jam berlalu, dan Alya masih menunggu balasan. Setiap detik terasa sangat lama. Seperti yang ia duga, Rian tidak membalas secepat biasanya. Mungkin ia sedang sibuk, atau mungkin ia sedang tidak tahu bagaimana merespons perasaan Alya yang begitu mendalam. Namun, tak lama setelah itu, sebuah pesan muncul di layar ponsel Alya.

Rian:
“Aku minta maaf, Alya. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti itu. Aku juga merasakan hal yang sama. Aku sangat sibuk dengan pekerjaan belakangan ini, dan aku merasa sangat terbebani. Tapi itu tidak berarti aku kurang peduli padamu. Aku benar-benar ingin ini berhasil. Aku tidak tahu bagaimana cara mengatur waktu dengan baik, dan itu membuat aku merasa buruk.”

Alya membaca pesan itu berulang kali, mencoba untuk memahami perasaan Rian. Terkadang, dalam hubungan jarak jauh, rasa rindu bisa menjadi begitu besar, dan ketidakhadiran fisik bisa membuat semuanya terasa lebih rumit. Namun, percakapan ini memberi Alya harapan baru—bahwa Rian masih peduli, meskipun situasinya tidak selalu mudah.

Alya:
“Aku mengerti, Rian. Aku hanya takut kehilanganmu. Kita sudah melewati begitu banyak hal bersama, dan aku tidak ingin semua itu sia-sia. Aku ingin kita tetap berusaha, meskipun sulit.”

Meski mereka berdua saling mengungkapkan perasaan dan kerinduan, ada satu hal yang masih menggantung di antara mereka—kepercayaan. Seiring berjalannya waktu, perasaan cemas dan rindu yang berlebihan mulai menguji batas kepercayaan mereka.

Alya, meskipun sudah berusaha untuk memahami, tetap tidak bisa mengabaikan keraguan yang mulai muncul di benaknya. Ada kalanya ia merasa bahwa Rian semakin jauh dan tidak peduli lagi. Ia mulai bertanya-tanya apakah Rian benar-benar serius dalam hubungan ini, atau hanya menjalani hubungan ini karena kebiasaan semata.

Di sisi lain, Rian juga merasa tertekan dengan ekspektasi yang terus tumbuh. Ia tahu bahwa Alya menginginkan kepastian, tetapi ia merasa terhimpit oleh tanggung jawab pekerjaan yang tak pernah selesai. Bagaimana mungkin ia bisa memberikan komitmen penuh pada hubungan ini ketika hidupnya begitu penuh dengan tekanan?

Titik balik datang ketika Rian mendapat tawaran pekerjaan baru yang sangat penting di Eropa. Pekerjaan itu akan membawanya lebih jauh lagi, membuat mereka berdua semakin terpisah dalam jarak dan waktu. Rian tahu bahwa ini adalah kesempatan besar dalam kariernya, tetapi ia juga tahu bahwa keputusan ini bisa membuat hubungan mereka semakin sulit.

Saat Rian mengungkapkan tawaran pekerjaan itu, Alya merasa bingung dan marah. Mengapa sekarang? Mengapa setelah semua yang telah mereka lalui, Rian justru harus mengambil keputusan yang akan menjauhkan mereka lebih jauh lagi?

Alya:
“Kamu tahu ini bukan waktu yang tepat, Rian! Kita bahkan belum bisa mengatur waktu untuk berbicara seperti dulu, dan sekarang kamu justru memutuskan untuk mengambil pekerjaan yang akan membawa kamu lebih jauh dari aku?”

Rian:
“Aku tahu, Alya. Aku benar-benar tidak ingin membuatmu merasa seperti ini. Tapi ini adalah kesempatan besar yang tidak bisa aku lewatkan. Aku harus memilih karierku, tetapi itu tidak berarti aku tidak peduli padamu. Aku masih ingin kita bersama, meskipun keputusan ini terasa sulit.”

Perasaan cemas dan marah berkecamuk dalam diri Alya. Di satu sisi, ia tahu bahwa Rian harus mengikuti peluang yang datang, tetapi di sisi lain, ia merasa seperti dihantam badai. Akankah hubungan mereka bisa bertahan dengan semua ujian yang ada?

Setelah banyak malam yang dihabiskan dengan menangis dan berdebat, akhirnya Alya membuat keputusan. Ia tidak ingin memaksakan Rian untuk memilih antara dirinya dan kariernya, tetapi ia juga tidak bisa terus hidup dalam keraguan. Mereka harus memiliki pembicaraan serius tentang masa depan mereka.

Alya:
“Rian, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini. Kita harus membuat keputusan, apakah kita benar-benar ingin melanjutkan hubungan ini, ataukah kita akan terus terjebak dalam perasaan rindu yang tidak pernah ada ujungnya.”

Rian yang mendengarnya terdiam. Ini adalah percakapan yang sulit, tetapi mereka tahu bahwa inilah saatnya untuk membuat pilihan. Akankah mereka berdua cukup kuat untuk terus melangkah bersama, meskipun penuh dengan keraguan dan ujian besar? Ataukah mereka akan berpisah, menyudahi perjalanan ini karena jarak yang terlalu jauh untuk dihadapi?

Dengan segala kegelisahan yang mereka alami, Rian dan Alya berdiri di persimpangan jalan. Kepercayaan yang mereka bangun harus diuji, dan hanya waktu yang akan menjawab apakah mereka cukup kuat untuk melalui semua ujian ini. Namun, satu hal yang pasti—meskipun mereka terpisah jauh, hati mereka tetap terikat. Dan meskipun keraguan terus datang, cinta yang tulus akan terus menjadi landasan untuk perjalanan mereka.

Beberapa hari setelah percakapan tersebut, Alya merasa terperangkap dalam kebingungannya sendiri. Hatinya begitu ingin percaya pada kata-kata Rian, ingin merasa yakin bahwa hubungan ini masih bisa bertahan meskipun jarak memisahkan mereka. Namun, perasaan rindu yang semakin membesar dan ketidakpastian tentang masa depan membuatnya merasa semakin terpojok.

Pekerjaan yang semakin menumpuk di kantor membuatnya sulit fokus, karena pikirannya selalu melayang pada Rian. Setiap kali ada panggilan masuk atau pesan baru dari Rian, hatinya selalu berdebar, berharap itu adalah kabar yang baik. Namun, sering kali pesan itu datang terlambat, atau hanya sekadar sapaan singkat yang tidak memberi kelegaan. Ia tahu, meskipun Rian tidak bermaksud untuk membuatnya merasa kesepian, tetap saja, ketidakhadiran fisik dan keterbatasan komunikasi membuat rasa rindu itu semakin berat.

Suatu malam, saat Alya sedang duduk di meja makan, ia menerima pesan suara dari Rian. Wajahnya yang biasanya cerah berubah murung saat ia menekan tombol play.

“Alya, aku tahu aku sering membuatmu merasa terabaikan akhir-akhir ini. Aku merasa bersalah, dan aku tidak ingin kita seperti ini. Tapi aku juga butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal di sini. Mungkin, kita perlu berbicara lebih banyak tentang apa yang kita inginkan dari hubungan ini.”

Mendengar kata-kata Rian, perasaan Alya bercampur aduk. Ia ingin sekali memeluknya, berbicara langsung dengannya, tetapi yang ia dapatkan hanya pesan suara yang terasa semakin membuat dirinya terasing. Akankah ini semua hanya sebuah fase? Ataukah ini adalah pertanda bahwa hubungan mereka benar-benar terancam?

Alya:
“Kenapa selalu ada yang menghalangi kita, Rian? Aku tahu kamu tidak bisa selalu ada, tapi aku merasa seperti kita semakin jauh… Seperti kamu sedang menjauhkan diri, dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk tetap bertahan.”

Pikiran itu terulang kembali di benaknya berulang kali. Rindu yang dalam, ketakutan akan kehilangan, dan rasa tidak cukupnya waktu untuk mereka berdua. Menghadapi rindu yang terus tumbuh tak hanya menjadi beban emosional bagi Alya, tetapi juga ujian besar bagi kepercayaannya terhadap Rian dan hubungan mereka.

Rian merasa sangat terbebani dengan pekerjaannya yang terus meningkat. Di Eropa, tuntutan waktu dan tekanan dari atasan membuatnya semakin jarang punya waktu untuk berbicara dengan Alya. Setiap kali mereka berbicara lewat pesan atau video call, Rian merasa tidak mampu memberikan perhatian penuh, karena pikirannya terbelenggu oleh berbagai masalah yang harus diselesaikan. Kadang, dia merasa frustasi, tidak tahu bagaimana mengatur semuanya—hubungan, pekerjaan, dan keinginannya untuk menjaga komitmen terhadap Alya.

Suatu malam, setelah bekerja seharian penuh, Rian duduk di mejanya, memandang layar ponselnya yang menunjukkan pesan-pesan dari Alya. Ia merasa bersalah. Ia tahu, ia belum memberi cukup perhatian pada Alya, dan itu mulai merusak kepercayaan yang telah mereka bangun.

“Aku hanya ingin tahu apakah kita masih bisa bertahan, atau jika kita hanya akan saling merindukan tanpa pernah bisa bertemu.”

Rian merasa tersentak. Ia sangat memahami perasaan Alya, karena dirinya juga merasakan hal yang sama. Namun, dengan kesibukan yang terus menghimpitnya, Rian merasa seolah ia tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Ia ingin meyakinkan Alya bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kenyataannya, ia merasa tidak cukup kuat untuk menjanjikan apapun. Ini adalah ujian terberat dalam hidupnya—apakah ia bisa menjaga kepercayaan dan cinta mereka, ataukah ia akan menyerah?

“Aku minta maaf jika aku membuatmu merasa seperti ini, Alya. Aku sangat ingin kita tetap bersama, tetapi aku juga tidak tahu bagaimana caranya menjaga semuanya. Aku takut kita akan saling melukai dengan jarak ini.”

Namun, seiring berjalannya waktu, Rian merasa semakin sulit untuk mengungkapkan segala keraguan yang ada di dalam hatinya. Ia merasa terlalu tertekan dengan harapan yang dimiliki oleh Alya terhadapnya. Apakah mereka benar-benar bisa bertahan? Apakah jarak akan selalu menjadi penghalang?

Alya merasa cemas. Setiap kali ada ketidaksepakatan atau kesalahpahaman, ia takut hubungan mereka akan runtuh. Terkadang, ia merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Rindu yang begitu besar terkadang membebani pikirannya, dan ia mulai meragukan apakah ia bisa terus menahan perasaan itu.

Pernah suatu malam, ia mengirim pesan kepada Rian dengan harapan bisa berbicara lebih banyak.

Alya:
“Rian, aku merasa seperti kita sudah berubah. Aku tahu jarak membuat segalanya semakin sulit, tapi aku juga merasa seperti kita sudah mulai kehilangan arah. Apakah ini hanya perasaan aku saja, atau memang ada yang salah?”

Ketika pesan itu terkirim, Alya merasa sedikit lega, namun juga khawatir. Seberapa besar dampaknya jika Rian benar-benar merasa tertekan oleh pertanyaan ini?

Tak lama setelahnya, Rian membalas.

Rian:
“Alya, aku juga merasa kita berubah. Tidak ada yang salah dengan perasaanmu. Aku ingin kita bisa lebih dekat, tetapi kita memang terpisah oleh jarak dan kesibukan. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini, tapi aku juga tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”

Mendengar jawabannya, Alya merasa kecewa. Bukan karena Rian tidak ingin memperbaikinya, tetapi karena jawabannya tidak memberi kejelasan yang ia cari. Alya merasa terjebak antara harapan dan kenyataan. Akankah mereka terus berjuang, ataukah mereka akan terpisah oleh ketidakpastian?

Di saat-saat paling sulit, Alya dan Rian sering kali merasa bahwa hubungan mereka semakin terancam. Namun, keduanya tidak bisa mengabaikan rasa cinta yang mendalam. Setiap kali mereka berbicara, meskipun singkat, mereka merasa sedikit lega. Namun, rasa takut dan kecemasan tentang masa depan selalu membayangi mereka.

Pada suatu malam yang penuh dengan perasaan berat, mereka akhirnya berbicara lagi. Mereka tahu bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan untuk melewati semua ini.

Alya:
“Aku tidak tahu berapa lama kita bisa seperti ini, Rian. Rasanya semakin sulit untuk mengatur waktu kita. Kita terlalu sibuk, terlalu jauh. Tapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu.”

Rian:
“Aku juga merasakan hal yang sama, Alya. Aku sangat ingin kita tetap bersama, tapi aku tahu ini bukan hal yang mudah. Mungkin, kita harus mulai merencanakan sesuatu yang lebih konkret untuk masa depan. Jika kita ingin hubungan ini bertahan, kita harus menghadapinya dengan kepercayaan dan kesiapan.”

Alya terdiam sejenak, mendengarkan kata-kata Rian. Mungkin, memang saatnya mereka harus benar-benar memikirkan masa depan. Tidak hanya soal hubungan mereka, tetapi juga bagaimana mereka akan menghadapinya bersama-sama, meskipun ada jarak dan rintangan yang selalu ada di antara mereka.

Dengan segala perasaan yang tak terungkapkan, Rian dan Alya memutuskan untuk memberikan satu sama lain ruang untuk berpikir. Mereka tahu bahwa jarak adalah ujian terbesar dalam hubungan ini, dan mereka harus menemukan cara untuk melewatinya. Tetapi pertanyaan besar masih ada di hati masing-masing: Akankah mereka mampu mempertahankan kepercayaan satu sama lain? Apakah hubungan ini bisa bertahan sampai mereka akhirnya bersama di satu tempat?

Kepercayaan, yang sebelumnya tampak kokoh, kini mulai diuji oleh ketidakpastian dan keraguan. Namun, meskipun segalanya terasa lebih sulit dari sebelumnya, mereka berdua tahu satu hal dengan pasti—mereka masih mencintai satu sama lain. Dan meskipun tidak ada jaminan untuk masa depan, mereka berjanji untuk tetap berusaha, tetap percaya, dan tetap berharap.

Karena di balik semua ujian dan keraguan, masih ada cinta yang mengikat mereka—cinta yang, meskipun terhalang oleh jarak, tetap hidup di hati mereka.*

Bab 4: Titik Balik dan Keputusan Besar

Rian merasa bingung dan memutuskan untuk berbicara jujur dengan Alya tentang perasaannya. Mereka saling mengungkapkan ketakutan dan keraguan mereka terhadap hubungan ini.

Alya, yang sempat merasa putus asa, akhirnya memahami bahwa hubungan ini butuh lebih dari sekadar perasaan cinta. Ini tentang komitmen, kesabaran, dan saling memberi ruang untuk tumbuh.

Mereka memutuskan untuk berusaha lebih keras untuk menjaga komunikasi dan memperjelas ekspektasi masing-masing.

Rian memutuskan untuk mencari cara agar bisa lebih sering mengunjungi Alya, sementara Alya juga berusaha lebih fleksibel dengan waktu dan pekerjaannya.

Beberapa bulan setelah perasaan cemas yang mendalam menghantui hubungan mereka, Alya masih merasa bingung tentang arah hubungan ini. Jarak yang semakin memisahkan mereka, bersama dengan perasaan tidak pernah cukupnya waktu yang mereka miliki untuk berbicara, membuat Alya merasa semakin terisolasi. Tidak jarang ia terjaga hingga larut malam, merenung tentang keputusan besar yang harus mereka buat.

Malam itu, setelah mendapatkan kabar bahwa Rian akan datang ke Jakarta untuk urusan pekerjaan, Alya merasa seolah ada secercah harapan. Ini adalah pertama kalinya Rian kembali ke Indonesia setelah berbulan-bulan mereka menjalani hubungan jarak jauh. Tentu saja, ini menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu. Namun, rasa khawatir tetap menghinggapi hatinya. Apa yang akan mereka bicarakan setelah bertahun-tahun terpisah oleh jarak? Apakah mereka akan menemukan cara untuk melanjutkan hubungan ini, atau justru saling menyadari bahwa mereka sudah terlalu berbeda?

Alya merasa perasaan rindu itu meluap begitu saja. Ada kebahagiaan sekaligus ketegangan yang menyelimuti hatinya. Ketika Rian akhirnya menghubunginya untuk memberitahukan bahwa ia akan berada di Jakarta dalam beberapa hari ke depan, Alya merasa hatinya berdebar-debar.

“Aku akan di Jakarta beberapa hari ke depan. Bisa kita bertemu? Aku ingin berbicara banyak hal.”

Alya tahu, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka, atau malah mengakhiri segalanya jika itu yang mereka berdua rasakan. Mereka sudah berada di titik di mana banyak hal harus diputuskan. Hati Alya terombang-ambing, antara berharap dan takut kehilangan. Namun, ia merasa bahwa pertemuan ini adalah titik balik yang mereka perlukan.

Rian tiba di Jakarta dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia sangat merindukan Alya. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa kedatangannya bukan hanya untuk bertemu, tetapi untuk menghadapi kenyataan pahit yang selama ini mereka coba hindari—bahwa jarak, kesibukan, dan waktu mungkin telah merusak banyak hal dalam hubungan mereka. Setelah berbulan-bulan merasa terjebak dalam rutinitas yang tak pernah berakhir, Rian mulai merasa kelelahan emosional. Pekerjaan, komitmen, dan harapan yang tak pernah selesai membuatnya merasa tidak siap menghadapi percakapan besar dengan Alya.

Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menentukan langkah mereka ke depan. Rian tidak bisa terus menghindari kenyataan bahwa hubungan ini membutuhkan keputusan besar. Tidak bisa terus seperti ini—terjebak dalam ketidakpastian. Sebelum ia bertemu dengan Alya, Rian merasa ada banyak hal yang harus dia selesaikan dalam pikirannya sendiri.

Dalam perjalanan dari bandara ke hotel, Rian merenung. Apakah dia masih cukup mencintai Alya untuk mengubah hidupnya? Apakah dia bisa mengorbankan karier dan kehidupan pribadinya untuk menjalani kehidupan bersama Alya? Atau akankah dia memilih untuk mengejar ambisinya, meskipun itu berarti meninggalkan Alya?“Aku tahu Alya mencintaiku, tapi aku juga tahu betapa beratnya hubungan ini bagi dia. Jarak yang memisahkan kita, waktu yang tidak cukup… Dan aku semakin merasa kalau aku tidak bisa memberikan semuanya untuk hubungan ini.”

Namun, perasaan cinta yang mendalam kepada Alya tidak bisa ia pungkiri. Rian masih mengingat bagaimana mereka dulu menghabiskan waktu bersama, tawa mereka, percakapan yang tanpa henti, dan cara mereka saling melengkapi. Rian merasa bahwa meskipun semua hal yang menghalangi, ia tidak bisa begitu saja melepaskan Alya. Namun, apakah dia siap untuk membuat komitmen yang besar?

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Alya dan Rian bertemu di sebuah kafe yang sudah mereka pilih sejak lama, tempat di mana mereka pertama kali berbicara banyak tentang impian mereka. Kafe itu kini terasa lebih sepi dan sunyi. Alya datang dengan perasaan cemas yang begitu besar, sementara Rian terlihat lebih serius dari biasanya. Mereka saling menyapa dengan senyuman yang dipaksakan, meskipun keduanya tahu bahwa banyak hal yang tak terucapkan di antara mereka.

“Rian, aku sudah sangat merindukanmu. Rasanya kita sudah lama sekali tidak bertemu seperti ini.”

“Aku juga, Alya. Tapi aku rasa kita harus bicara serius tentang hubungan ini. Aku tidak ingin kita terus berlarut-larut dalam ketidakpastian.”

Alya mengangguk pelan. Mereka memesan kopi, dan suasana mulai terasa tegang. Tidak ada yang tahu harus mulai dari mana, tetapi perasaan cemas itu mengikat mereka berdua. Mereka tahu bahwa pertemuan ini akan menentukan masa depan mereka.

Rian:
“Alya, aku tahu kita sudah melalui banyak hal bersama. Tapi jarak dan waktu semakin membuat kita sulit untuk bertahan. Aku tidak tahu apakah aku bisa terus menjalani hubungan ini denganmu. Aku sangat mencintaimu, tapi aku merasa aku mulai kehilangan arah. Semua yang kita rencanakan, semua yang kita impikan—semuanya terasa semakin jauh dari jangkauan.”

Alya menahan napas. Kata-kata Rian itu seperti tamparan keras yang membuat hatinya terasa hancur. Namun, ia berusaha tetap tenang.

Alya:
“Aku tahu, Rian. Aku juga merasakannya. Aku merasa semakin kesulitan, dan aku takut kita tidak akan pernah bisa memiliki masa depan bersama. Tapi aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku ingin berjuang bersama, tapi aku juga tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan.”

Perasaan sakit dan ketidakpastian ini membuat keduanya merasa semakin terpisah. Mereka masing-masing merasa bahwa hubungan mereka sangat penting, namun tidak tahu apakah mereka bisa menghadapinya lebih lama lagi.

Beberapa jam berlalu, dan suasana menjadi semakin intens. Mereka sudah mulai berbicara lebih terbuka tentang ketakutan dan kecemasan mereka masing-masing. Alya menceritakan tentang rasa rindu yang tak terkatakan, bagaimana ia merasa terabaikan oleh Rian meskipun mereka sudah berusaha untuk menjaga komunikasi. Rian juga mengungkapkan bagaimana pekerjaannya semakin membebani, dan bagaimana ia merasa terjebak antara ambisinya dan rasa cintanya terhadap Alya.

Alya:
“Aku tidak ingin kita terus berada dalam lingkaran ini, Rian. Kita harus membuat keputusan besar, apakah kita akan berjuang bersama atau kita harus melepaskan satu sama lain. Aku takut kalau kita terus seperti ini, kita hanya akan semakin saling menyakiti.”

Rian:
“Aku tahu, Alya. Aku juga takut. Tapi aku juga merasa kita harus mulai merencanakan masa depan yang lebih jelas. Aku tidak ingin terus hidup dalam kebimbangan, dalam ketidakpastian. Kita harus memilih—apakah kita bisa bertahan, atau kita harus berpisah.”

Percakapan ini menjadi titik balik bagi mereka berdua. Setelah berbulan-bulan merasakan keraguan, akhirnya mereka memutuskan untuk menghadapi kenyataan—untuk memikirkan keputusan besar yang akan mengubah hidup mereka.

Rian:
“Alya, aku ingin kita bersama, tapi aku juga tahu kalau kita tidak bisa terus seperti ini. Aku harus membuat keputusan, apakah aku akan terus mengejar karierku di sini, atau aku akan kembali ke Indonesia dan berusaha untuk membangun hidup bersama kamu. Aku tidak tahu apakah aku siap, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku ingin berjuang untuk hubungan ini.”

Alya:
“Aku tahu kamu harus membuat pilihan, Rian. Dan aku menghargai itu. Aku juga akan berusaha untuk menjadi bagian dari keputusanmu, tapi aku tidak bisa terus menunggu tanpa kejelasan.”

Alya dan Rian saling memandang, dan meskipun masih ada rasa takut dan cemas di hati mereka, mereka tahu bahwa pertemuan ini adalah titik balik. Ini adalah momen di mana mereka harus memilih jalan hidup mereka—bersama atau terpisah.

Keesokan harinya, setelah pertemuan itu, Alya merasa hatinya lebih tenang meskipun masih banyak yang belum terjawab. Rian kembali ke Eropa untuk melanjutkan pekerjaannya, tetapi kini ada kejelasan. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan.

Alya memutuskan untuk memberi Rian waktu untuk berpikir, untuk membuat keputusan yang akan menentukan apakah mereka bisa memiliki masa depan bersama.

Hari-hari setelah pertemuan tersebut terasa lebih panjang bagi Alya. Ia tidak bisa menghindar dari perasaan cemas yang menggelayuti pikirannya. Meskipun Rian kembali ke Eropa dengan janji untuk berpikir lebih lanjut, ketidakpastian tetap menggerogoti hati Alya. Ia tahu bahwa Rian sedang berjuang dengan perasaan yang sama besarnya, tetapi pertanyaan yang sama terus menghantui: Apakah hubungan mereka bisa bertahan dengan segala kerumitan dan jarak ini?

Alya memutuskan untuk memberi waktu kepada dirinya sendiri untuk merenung. Ia tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan, terutama ketika perasaannya masih tercampur aduk. Namun, semakin hari ia merasa bahwa ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin sudah berada di persimpangan jalan. Rindu yang terus membekas di hati terasa semakin berat, tetapi ia juga mulai sadar bahwa ia tidak bisa mengharapkan perubahan tanpa adanya keputusan besar dari kedua belah pihak.

Setiap malam sebelum tidur, Alya menulis di jurnal pribadinya, mencoba untuk merumuskan apa yang sebenarnya ia inginkan. Ia menulis tentang segala kebahagiaan yang pernah mereka rasakan bersama, juga tentang kesulitan yang mereka hadapi. Semua itu menjadi cara baginya untuk berhadapan dengan kenyataan yang ia coba hindari: apakah ia siap untuk menerima kenyataan bahwa mungkin hubungan ini harus berakhir?

“Kadang aku merasa seperti sedang berjalan di atas tepi jurang. Semua perasaan yang aku miliki, semua kenangan yang indah, hanya bisa terbayang dalam kenangan. Mungkin aku terlalu berharap, terlalu percaya bahwa kita bisa mengatasi semuanya. Tapi sekarang aku tahu, aku harus memilih. Apakah aku akan terus berharap, atau aku harus melepaskan dan mulai melangkah sendiri?”

Keputusan yang ia hadapi tidaklah mudah. Meskipun cinta yang ia rasakan untuk Rian begitu besar, Alya tahu bahwa cinta saja tidak cukup untuk mengatasi segala tantangan. Mereka tidak hanya berhadapan dengan jarak, tetapi juga dengan ambisi, pekerjaan, dan perbedaan yang semakin terasa jelas. Jika hubungan mereka benar-benar ingin bertahan, mereka harus berkompromi dan membuat pilihan yang penuh pengorbanan. Namun, apakah mereka berdua siap melakukan itu?

Di sisi lain, Rian juga mengalami perenungan mendalam selama perjalanan pulangnya ke Eropa. Meskipun ia telah berjanji kepada Alya untuk mengambil waktu dan berpikir, tekanan di dalam dirinya semakin besar. Rian merasa seperti dua dunia yang berbeda sedang menariknya ke arah yang berlawanan. Di satu sisi, ia merasa harus memenuhi tanggung jawabnya di tempat kerjanya, yang semakin menuntut waktu dan perhatian. Di sisi lain, ia merindukan Alya, dan hatinya tidak bisa melupakan kenangan manis yang pernah mereka bagi bersama.

Namun, saat Rian duduk di ruang kerjanya yang dingin dan sepi, ia tahu bahwa keputusan besar ini akan sangat menentukan masa depannya. Apakah ia akan memilih karier yang telah ia bangun dengan keras, ataukah ia akan memilih untuk kembali ke Indonesia dan berjuang bersama Alya? Ia merasa terjepit, tidak tahu harus memilih yang mana.

Aku ingin bersamanya, tetapi di sisi lain, aku tahu bahwa pekerjaanku di sini juga sangat penting. Aku tidak ingin mengecewakan Alya, tetapi aku juga tidak tahu apakah aku siap untuk meninggalkan semuanya di sini. Namun, jika aku terus seperti ini, apakah aku benar-benar bisa mempertahankan hubungan ini?”

Setiap hari, Rian merasa semakin terjepit antara tanggung jawab profesinya dan perasaannya terhadap Alya. Di Eropa, ia bekerja keras untuk meraih mimpinya, tetapi di dalam hatinya, ia merindukan Alya dan segala kebahagiaan yang mereka miliki bersama. Rian merasa terjebak dalam dilema yang besar—memilih antara masa depannya yang telah ia susun dengan susah payah, atau mengejar kebahagiaan yang lebih sederhana dengan bersama Alya.

Namun, semakin lama Rian merenung, semakin ia sadar bahwa ia harus mengambil keputusan. Jika ia terus menggantungkan hubungan ini pada harapan dan ketidakpastian, ia hanya akan semakin menyakiti Alya. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan waktu terus berjalan tanpa kejelasan. Rian harus memilih, dan ia harus siap dengan konsekuensinya.

Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya Rian menghubungi Alya untuk mengatur pertemuan sekali lagi. Keduanya tahu bahwa ini adalah percakapan yang menentukan. Mereka telah memikirkan banyak hal dalam waktu yang terpisah, dan saatnya untuk berbicara tentang masa depan mereka. Alya merasa berdebar-debar ketika ia menerima pesan dari Rian.“Alya, aku sudah berpikir banyak tentang apa yang kita bicarakan. Aku rasa kita harus bertemu dan membicarakan langkah selanjutnya. Aku ingin kita jujur satu sama lain, karena aku tidak bisa terus menggantungkan hubungan ini tanpa kejelasan.”

Pertemuan mereka kali ini berlangsung dengan penuh ketegangan, meskipun keduanya merasa ada sedikit kelegaan karena mereka bisa bertemu langsung setelah berbulan-bulan hanya berkomunikasi lewat pesan dan panggilan video. Mereka duduk di sebuah taman kota yang sepi, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, dan mulai berbicara dengan hati terbuka.

Rian:
“Alya, aku sudah memikirkan semua ini. Aku tahu kita tidak bisa terus seperti ini. Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga sadar bahwa aku harus membuat pilihan. Aku ingin datang ke Indonesia, tapi aku juga sadar kalau itu berarti aku harus melepaskan sebagian dari hidupku di sini. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.”

Alya menatap Rian dengan perasaan campur aduk. Ia mengerti apa yang dirasakan Rian, tetapi perasaan rindu yang mendalam di hatinya membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Alya:
“Aku mengerti, Rian. Aku juga merasa seperti kita sudah terlalu lama hidup dalam ketidakpastian. Aku tidak ingin kita terus bertahan hanya karena cinta, tetapi tanpa ada kejelasan untuk masa depan kita. Tapi, aku juga tidak tahu apakah aku siap untuk melepaskanmu. Ini sangat sulit.”

Rian:
“Aku juga tidak ingin kita saling terluka lebih jauh, Alya. Aku pikir, mungkin aku bisa pindah ke Indonesia dan mencoba menjalani hidup di sana. Aku sudah memikirkan ini selama beberapa waktu, dan aku merasa jika aku tidak melakukannya sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”

“Rian, aku ingin kita bersama. Tapi, aku juga tidak ingin kamu mengorbankan semua yang sudah kamu bangun di sini hanya demi aku. Aku tidak bisa membuatmu memilih antara aku dan kariermu.”

Rian:
“Tapi, Alya, aku sudah memutuskan. Aku ingin bersamamu. Aku siap menghadapi tantangan baru di sana, karena aku percaya kita bisa menghadapi semuanya bersama. Jika ini keputusan yang harus aku ambil, aku siap.”

Mendengar kata-kata Rian, hati Alya terasa berat, namun juga ada secercah harapan. Mereka telah sampai pada titik yang mereka takutkan—keputusan besar yang akan mengubah arah hidup mereka. Meski berat, mereka tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk membuat pilihan yang akan menentukan masa depan mereka.

Pada akhirnya, percakapan mereka berakhir dengan kesepakatan besar—Rian memutuskan untuk pindah ke Indonesia, meninggalkan pekerjaannya dan segala kenyamanan hidup di Eropa. Keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah, namun keduanya tahu bahwa ini adalah jalan terbaik untuk mereka berdua. Rian memilih Alya, memilih untuk berjuang bersama dalam cinta yang selama ini mereka impikan.

Mereka tahu bahwa hidup di masa depan tidak akan mudah, dan akan ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Tetapi, setelah melewati banyak ujian, mereka akhirnya menyadari bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi semua halangan tersebut.

Meskipun keputusan ini besar dan penuh ketidakpastian, satu hal yang pasti—mereka memilih untuk bersama. Dan meskipun jalan mereka masih panjang dan penuh tantangan, mereka percaya bahwa selama mereka tetap berjuang bersama, tidak ada yang tak mungkin.*

Bab 5: Cinta dalam Pengorbanan

Setelah melalui banyak cobaan, Alya dan Rian mulai melihat hasil dari usaha mereka. Mereka belajar untuk lebih saling mendukung, memberi ruang satu sama lain, dan lebih terbuka dalam komunikasi.

Rian akhirnya berhasil mengunjungi Jakarta untuk pertama kalinya, dan mereka merasakan kehangatan dalam pertemuan mereka yang pertama kali setelah berbulan-bulan hanya berhubungan melalui layar.

Meski mereka bertemu dan merasakan kebahagiaan, mereka juga harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak bisa selalu bersama. Perbedaan waktu dan jarak kembali menjadi tantangan yang harus mereka atasi.

Setelah Rian memutuskan untuk pindah ke Indonesia dan meninggalkan kehidupannya yang mapan di Eropa, kehidupan mereka berdua berubah drastis. Rian datang ke Jakarta dengan hati yang penuh semangat untuk memulai hidup baru bersama Alya, tetapi ia tidak tahu bahwa pengorbanan yang ia buat akan menuntut lebih banyak dari yang ia kira. Alya, di sisi lain, juga merasakan kecemasan yang mendalam. Walaupun ia sangat mencintai Rian, ia tahu bahwa hidup bersama tidak akan semudah yang mereka bayangkan.

Alya:
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana, Rian. Ini semua terasa sangat besar, dan aku tidak ingin membuatmu merasa bahwa aku terlalu bergantung padamu. Aku ingin kita sama-sama berjuang, tapi ini baru dimulai. Kita akan menghadapi banyak hal.”

Rian:
“Aku tahu, Alya. Aku siap untuk menghadapinya. Tapi, aku ingin kita menjadi tim yang saling mendukung, bukan saling terbebani.”

Ketegangan mulai terasa saat mereka mulai hidup bersama. Meskipun mereka saling mencintai, kenyataan hidup di Jakarta, yang penuh tantangan dan perbedaan budaya, tidak mudah untuk dihadapi. Rian harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, yang jauh berbeda dari kehidupan yang ia jalani di Eropa. Pekerjaannya, yang sebelumnya penuh dengan kebebasan dan kontrol, kini terhambat oleh birokrasi yang rumit dan perbedaan dalam cara kerja.

Rian merasa terjebak antara keinginan untuk membuat Alya bahagia dan kenyataan hidup yang jauh dari yang ia bayangkan. Meskipun ia telah mengambil keputusan besar untuk pindah, rasa kehilangan terhadap hidup lamanya—teman-teman, pekerjaan, dan gaya hidup yang sudah dikenal—mulai mengganggunya. Ia merasa kesulitan beradaptasi dengan ritme hidup yang baru. Terkadang, perasaan frustrasi ini mengarah pada komunikasi yang tidak efektif dengan Alya, dan mulai muncul rasa ketegangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

“Apakah aku telah membuat keputusan yang benar? Aku merasa seperti kehilangan segalanya—hidupku, pekerjaanku, dan kenyamanan yang telah aku bangun. Bagaimana aku bisa menghadapinya? Apakah Alya akan mengerti?”

Namun, Alya tidak tinggal diam. Ia merasakan ketegangan yang ada di antara mereka dan berusaha untuk lebih terbuka dalam berkomunikasi dengan Rian. Ia tahu bahwa meskipun Rian berusaha sekuat tenaga untuk beradaptasi, ia juga harus memberi ruang bagi Rian untuk menyusun kembali hidupnya.

“Rian, aku tahu ini sulit untukmu. Aku tahu kamu merindukan hidupmu yang lama. Aku juga ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin kamu merasa tertekan. Kita akan melalui ini bersama-sama. Tapi, aku juga merasa cemas. Aku takut kamu mulai merasa tidak bahagia di sini.”

Rian menatap Alya dengan penuh perasaan. Ia tahu bahwa pengorbanannya untuk pindah ke Jakarta bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Alya. Dan meskipun ia merasa terjebak, ia juga tidak ingin mengecewakan Alya. Namun, di balik itu semua, ada perasaan yang sulit untuk diungkapkan—ketakutan akan kehilangan dirinya sendiri dalam proses ini.

“Aku hanya ingin kita bahagia, Alya. Tapi aku juga merasa terisolasi di sini. Semua yang aku kenal, semua yang aku punya, semuanya terasa begitu jauh.”

Alya menyadari betapa besar pengorbanan yang dilakukan Rian, dan ia tahu bahwa ia harus lebih sabar dalam mendukungnya. Meskipun ia juga merasakan kesulitan, ia berusaha menunjukkan bahwa ia selalu ada untuk Rian, siap untuk menemani di setiap langkah yang mereka hadapi.

Di sisi lain, Alya merasa semakin tertekan dengan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Meskipun ia ingin memberi ruang bagi Rian untuk beradaptasi, ia juga merasa bahwa hubungan mereka tidak berjalan seperti yang ia harapkan. Tuntutan pekerjaan, harapan dari keluarga, dan tanggung jawab yang terus mengikat, membuat Alya merasa terhimpit. Ia merasa bahwa meskipun Rian berjuang untuk mereka, ia juga harus menghadapi kenyataan bahwa kehidupan di Jakarta tidak mudah, baik bagi mereka berdua.

Alya merasakan beban yang semakin berat. Ia harus mengatur waktu untuk pekerjaan, mengurus rumah, dan juga mendukung Rian yang sedang berjuang dengan perasaan terasing. Suatu malam, setelah seharian penuh bekerja, Alya merasa sangat lelah. Ia ingin beristirahat, namun tugas-tugas yang menumpuk membuatnya merasa tidak ada waktu untuk dirinya sendiri. Dalam kelelahan, ia mulai merasa ragu apakah ia bisa terus menghadapi semua ini.

“Mengapa semuanya terasa begitu berat? Aku tahu kita saling mencintai, tapi aku merasa seperti terjebak. Aku harus terus memberikan yang terbaik untuk Rian, tapi di sisi lain, aku juga merasa kehilangan diriku sendiri.”

Suatu malam, ketika Rian pulang dari pekerjaannya, Alya tidak bisa menahan emosinya lagi. Ia merasa tidak ada keseimbangan dalam hidup mereka, dan ia perlu berbicara.

“Rian, aku merasa seperti kita berdua sedang berjuang sendiri-sendiri. Aku lelah merasa seperti ini. Aku tahu kamu berusaha keras, tapi aku juga merasa terpinggirkan. Aku ingin kita berbicara, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.”

Rian merasa sangat terpukul mendengar kata-kata Alya. Ia menyadari bahwa meskipun ia telah berusaha untuk beradaptasi, ia belum cukup memberi perhatian kepada perasaan Alya. Ia merasa menyesal telah terlalu fokus pada pengorbanannya sendiri dan tidak cukup memperhatikan beban yang juga dipikul oleh Alya.

Rian:
“Aku minta maaf, Alya. Aku terlalu terfokus pada diriku sendiri dan tidak melihat betapa besar beban yang kamu tanggung. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian dalam hubungan ini. Aku berjanji akan berusaha lebih keras untuk menyeimbangkan semuanya.”

Percakapan itu menjadi titik balik bagi keduanya. Mereka menyadari bahwa cinta tidak hanya tentang memberikan, tetapi juga tentang pengertian, kesabaran, dan berjuang bersama dalam keadaan yang sulit. Meskipun jalan mereka tidak mudah, mereka berkomitmen untuk bekerja sama, berkorban untuk kebahagiaan bersama.

Setelah beberapa bulan berlalu, kehidupan mereka berdua mulai berjalan lebih lancar. Rian berhasil menemukan pekerjaan baru yang lebih sesuai dengan keterampilannya di Jakarta, sementara Alya juga merasa lebih puas dengan rutinitasnya. Namun, meskipun keadaan mereka mulai membaik, mereka tetap dihadapkan pada pengorbanan lain yang harus mereka hadapi.

Keluarga Alya, terutama orang tuanya, mulai menekan mereka untuk segera menikah. Mereka merasa bahwa Alya sudah cukup lama berpacaran dengan Rian, dan itu sudah waktunya untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Tuntutan ini menjadi beban yang semakin berat, karena Alya merasa tidak siap untuk menikah. Ia ingin memastikan bahwa hubungan mereka cukup kuat untuk bertahan, dan ia juga tidak ingin menikah hanya karena tekanan dari luar.

Di sisi lain, Rian mulai merasakan tekanan yang lebih besar dalam pekerjaan barunya. Meskipun ia merasa lebih bahagia, pekerjaan yang baru memerlukan lebih banyak waktu dan energi daripada yang ia perkirakan. Ini membuatnya merasa semakin jauh dari Alya, karena ia merasa sulit untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Namun, kali ini, keduanya tidak menyerah. Mereka berusaha untuk lebih terbuka satu sama lain, berbicara lebih sering, dan memberi dukungan tanpa rasa saling menyalahkan. Meskipun tantangan terus datang, mereka berdua tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi segala pengorbanan yang ada.

Di tengah perjalanan mereka, baik Alya maupun Rian menyadari satu hal yang sangat penting: cinta sejati bukan hanya tentang kebahagiaan yang datang dari kebersamaan, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa tetap kuat dan berkembang meski harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang datang. Pengorbanan bukan hanya dilakukan dalam bentuk yang terlihat jelas, tetapi juga dalam hal-hal kecil yang sering kali tidak terucapkan—saat mereka memilih untuk tetap bersama meskipun kehidupan tidak selalu berjalan mulus.

Suatu malam, setelah hampir setahun sejak Rian pindah ke Jakarta, mereka duduk di balkon rumah mereka, memandang ke arah jalan yang penuh dengan lampu kota. Angin malam berhembus perlahan, dan mereka menikmati kebersamaan yang penuh keheningan itu.

Rian:
“Aku tidak pernah membayangkan bahwa jalan kita akan semenyakitkan ini. Aku merasa seperti aku harus berkorban lebih banyak daripada yang pernah aku bayangkan.”

“Aku juga merasakannya, Rian. Terkadang aku merasa seperti kita terlalu sering berjuang sendirian. Aku ingin bisa membuat semuanya lebih mudah untukmu. Tapi, kadang aku juga merasa lelah dengan semua tekanan ini.”

Rian mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Alya, memberikan kehangatan yang mereka butuhkan di tengah keheningan malam itu.

Rian:
“Tapi meskipun kita merasakannya, aku tahu bahwa aku tidak akan menyerah. Aku siap berjuang lebih banyak lagi untuk kita, Alya. Aku tahu ini tidak akan mudah, tetapi kita bisa melewati ini, bersama.”

Alya:
“Aku juga tidak akan menyerah. Kita sudah melalui begitu banyak hal, dan aku tahu cinta kita bisa bertahan. Kadang kita perlu berhenti sejenak dan melihat apa yang telah kita capai, bukan hanya berfokus pada apa yang belum kita capai.”

Malam itu, mereka berbicara lebih banyak dari biasanya. Mereka berbagi ketakutan dan harapan mereka, tetapi yang lebih penting adalah mereka saling memberi kekuatan untuk terus melangkah bersama. Mereka tahu bahwa pengorbanan mereka bukan hanya soal materi atau keputusan besar, tetapi juga tentang kesediaan untuk mendengarkan, memberi ruang untuk tumbuh, dan memperjuangkan hubungan mereka meski dalam kesulitan.

Seiring berjalannya waktu, Alya dan Rian mulai menyadari bahwa banyak pengorbanan yang dilakukan tanpa kata-kata. Ada banyak momen di mana mereka saling mendukung tanpa perlu menyebutkan betapa sulitnya jalan yang mereka pilih. Rian, misalnya, sering bekerja hingga larut malam untuk menyelesaikan proyek besar di kantor, sementara Alya selalu ada untuknya, menyiapkan makanan malam atau sekadar menemani Rian yang sedang lelah. Tanpa banyak kata, mereka tahu bahwa setiap pengorbanan itu adalah bagian dari cinta yang mereka bagi.

Alya, di sisi lain, berkorban dalam banyak hal, meskipun tidak selalu terlihat oleh Rian. Ia sering kali menahan rasa cemasnya sendiri untuk memberi ruang bagi Rian mengungkapkan perasaannya, dan ia lebih memilih untuk menjaga ketenangan rumah agar Rian merasa nyaman setelah seharian bekerja keras. Terkadang, saat Rian merasa kehilangan arah, Alya menjadi penopang yang menenangkannya, meskipun dirinya sendiri juga sering merasa terombang-ambing.

Ada saat-saat ketika Rian merasa seperti kehilangan dirinya di Jakarta. Ia merindukan teman-temannya, budaya yang sudah dikenal, dan kenyamanan hidupnya yang dulu. Namun, di setiap momen seperti itu, Alya selalu ada untuk mengingatkannya bahwa mereka bersama, dan mereka bisa membangun kehidupan baru bersama di sini. Tanpa kata-kata besar, mereka berdua saling memberi kekuatan.

Alya:
“Kita tidak perlu sempurna, Rian. Yang penting adalah kita tetap berusaha bersama. Cinta kita lebih besar dari apa yang sedang kita alami. Kita sudah melewati banyak hal, dan kita akan terus melewati semuanya bersama.”

Rian:
“Aku tahu, Alya. Terima kasih sudah menjadi kekuatanku selama ini. Aku ingin kita selalu bersama, dalam setiap langkah kita.”

Meski mereka berdua berusaha sebaik mungkin untuk tetap menjaga hubungan mereka, tantangan besar lainnya datang dengan keinginan mereka untuk mengembangkan karier masing-masing. Rian mendapat tawaran untuk kembali bekerja di Eropa, sebuah kesempatan besar yang bisa memajukan kariernya. Namun, tawaran itu juga berarti mereka harus berpisah lagi untuk waktu yang tidak pasti. Di sisi lain, Alya juga mendapat kesempatan untuk memperluas bisnisnya yang sudah mulai berkembang, tetapi ini juga akan membutuhkan lebih banyak waktu dan energi dari dirinya.

Mereka tahu bahwa karier masing-masing sangat penting, namun keduanya tidak ingin mengorbankan cinta mereka. Ini menjadi dilema besar bagi mereka. Di satu sisi, mereka berdua tahu bahwa hubungan ini perlu dipertahankan dengan cinta dan pengorbanan, tetapi di sisi lain, mereka tidak bisa menutup mata terhadap peluang yang terbuka bagi mereka.

“Aku tahu ini akan sulit, Alya. Aku mendapat tawaran kerja di Eropa lagi. Ini adalah kesempatan yang sangat besar untuk karierku. Tapi aku juga tahu betapa sulitnya kita terpisah lagi.”

“Aku tahu, Rian. Dan aku ingin mendukungmu. Tapi kita juga harus berpikir panjang. Ini bukan hanya soal kita sekarang, tapi juga soal apa yang kita inginkan untuk masa depan.”

Setelah banyak berbicara dan berpikir, mereka berdua memutuskan untuk mengambil waktu lebih lama untuk mempertimbangkan pilihan ini. Mereka tidak ingin terburu-buru, karena mereka tahu bahwa apapun keputusan yang diambil akan membawa dampak besar. Namun, satu hal yang mereka sadari adalah bahwa mereka berdua sudah melewati banyak pengorbanan untuk berada di titik ini, dan meskipun hidup mereka tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana, mereka bisa terus melangkah bersama.

Alya:
“Rian, apa pun keputusan yang kita ambil, aku ingin kita tetap bersama. Aku ingin kita berjuang bersama, dan kita akan mencari cara agar semuanya bisa berjalan.”

Rian:
“Aku juga, Alya. Aku ingin kita bisa saling mendukung. Kita mungkin perlu berkorban lebih, tetapi aku yakin kita bisa menjalani semua ini bersama.”

Pada akhirnya, Alya dan Rian menyadari bahwa cinta yang sejati tidak datang dengan mudah. Cinta yang mereka miliki diuji oleh berbagai macam pengorbanan—baik yang besar maupun yang kecil, yang terlihat maupun yang tak terucapkan. Tetapi melalui setiap tantangan, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang bagaimana mereka saling mendukung, berkompromi, dan memilih satu sama lain meskipun hidup tidak selalu sempurna.

Keputusan besar yang mereka ambil tidak hanya tentang masa depan karier atau rencana hidup, tetapi lebih kepada komitmen untuk bertumbuh bersama sebagai pasangan. Mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka akan terus berjuang untuk satu sama lain, dengan penuh pengertian dan cinta.

Malam itu, setelah berbicara tentang masa depan mereka, Rian dan Alya kembali duduk di balkon mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum berakhir, dan mungkin akan ada banyak pengorbanan lagi yang harus dilakukan di masa depan. Namun, mereka juga tahu satu hal yang pasti—mereka akan selalu berjuang bersama.

Rian:
“Tidak ada yang lebih penting bagiku selain kita, Alya. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu memilih kita.”

Alya:
“Aku juga, Rian. Kita akan menghadapi semuanya bersama, dengan cinta yang tidak pernah berhenti tumbuh.”

Mereka berdua duduk dalam keheningan, menikmati kebersamaan yang penuh dengan rasa syukur dan harapan. Meskipun masa depan masih penuh ketidakpastian, mereka tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari apapun yang bisa menghalangi mereka. Dalam pengorbanan, mereka menemukan kekuatan untuk tetap bersama, dan dalam kebersamaan, mereka menemukan makna sejati dari cinta.***

————THE END———–

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaDalamPengorbanan#cintasejati#JarakDanWaktu#KisahCintaLDR#PengorbananCinta
Previous Post

DENDAM SEORANG KEKASIH

Next Post

TANGISAN DALAM PELUKAN MUSUH

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
CINTA DALAM API KEBENCIAN

TANGISAN DALAM PELUKAN MUSUH

RINDU YANG TAK PERNAH MATI

RINDU YANG TAK PERNAH MATI

CINTA YANG KAU NODAI

CINTA YANG KAU NODAI

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id