Daftar Isi
Bab 1 Awal Mula Cinta
Raisa memandang matahari yang mulai tenggelam di ujung cakrawala, menyinari langit dengan warna oranye keemasan. Waktu seperti berhenti sejenak, membiarkan dia tenggelam dalam lamunan yang tak pernah berujung. Di tengah keramaian kota yang tak pernah tidur, dia merasa seolah dunia hanya miliknya sendiri. Namun, seperti biasa, saat dia melangkah keluar dari tempat kerjanya, ada satu sosok yang selalu berhasil menarik perhatiannya.
Dio. Nama itu, meskipun terdengar sederhana, selalu memunculkan getaran aneh di hatinya setiap kali terlintas. Mereka pertama kali bertemu di sebuah acara pertemuan bisnis setahun yang lalu, di mana dua perusahaan besar sedang melakukan diskusi untuk kerja sama. Raisa, seorang wanita muda yang penuh ambisi dan kerja keras, selalu menyelami dunia pemasaran dan strategi. Di acara itu, matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Dio, seorang pria dengan pesona yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dio tidak terlalu tinggi, tapi memiliki postur tubuh yang tegap dan wajah yang selalu terjaga dengan ekspresi tenang. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Raisa merasa tertarik, meskipun pada awalnya dia hanya berusaha mengabaikannya. Dio, yang berada di posisi direktur pemasaran perusahaan lain, tampak terlalu serius dengan pekerjaannya, hingga dia jarang sekali terlihat tersenyum. Namun, ada secercah kelembutan dalam tatapannya ketika mereka berbicara, sesuatu yang cukup membuat Raisa merasa nyaman dan… terhubung.
Pernah ada satu malam, setelah pertemuan yang cukup panjang, Dio mengajak Raisa berjalan keluar menuju taman di belakang gedung pertemuan. Suasana sepi itu memberikan ruang bagi keduanya untuk berbicara lebih santai. Raisa tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa sangat mengenal pria ini, meski baru pertama kali berbicara.
“Raisa, kamu tahu nggak?” Dio berkata, suaranya rendah, namun dalam. “Kadang aku merasa hidup ini seperti roda yang terus berputar, tak ada akhirnya.”
Raisa menatapnya, sedikit bingung. “Apa maksudmu?”
“Kadang kita merasa kita sudah mencapai titik puncak, merasa sudah menemukan semua yang kita cari. Namun, di balik itu semua, ada ruang kosong yang sulit untuk diisi,” jawab Dio, sambil menatap langit malam yang cerah.
Raisa terdiam sejenak. Kalimat itu, entah mengapa, menyentuh hatinya. Mungkin, dia juga merasa seperti itu. Meski kariernya sedang gemilang, dia merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah hubungan yang bisa membuatnya merasa utuh.
“Menurutku, mungkin kita semua mencari makna yang lebih besar dalam hidup, sesuatu yang melampaui pekerjaan dan pencapaian,” Raisa menjawab dengan suara lembut. “Tapi itu nggak mudah dicari.”
Dio hanya mengangguk, dan malam itu, mereka berjalan bersama tanpa banyak kata-kata. Namun, dari pertemuan itu, sebuah benih perasaan tumbuh dalam hati Raisa. Perasaan yang perlahan-lahan mengubah pandangannya terhadap Dio. Mereka mulai sering bertemu, meskipun awalnya masih terjalin dalam diskusi bisnis. Namun, seiring berjalannya waktu, keakraban itu semakin erat. Mereka mulai berbagi cerita tentang hidup, tentang impian, tentang harapan-harapan yang sering kali tak terucapkan.
Raisa mulai merasakan, ada sesuatu yang berbeda setiap kali berada di dekat Dio. Di matanya, dia melihat ketulusan yang jarang ditemui. Mungkin, ini adalah awal dari sebuah kisah. Cinta yang dia tunggu-tunggu, yang selama ini hanya ada dalam bayangannya. Setiap detik yang dihabiskan bersama Dio terasa begitu berharga. Bahkan, dalam pertemuan singkat mereka, waktu terasa melambat.
Namun, cinta ini tidak datang tanpa tantangan. Raisa selalu berusaha menahan diri, takut jika perasaan itu berkembang terlalu cepat. Dia pernah merasa cemas, apakah perasaan itu hanya sementara, ataukah akan bertahan lama. Dio sendiri, meskipun terlihat sangat dewasa dan rasional, sepertinya tidak terlalu menunjukkan perasaan yang sama secara terbuka. Namun, dalam setiap senyumnya yang lembut dan dalam tatapan matanya yang penuh makna, Raisa merasakan bahwa Dio juga mulai jatuh hati.
Suatu malam, setelah makan malam bersama di sebuah restoran, Dio mengajak Raisa berjalan ke tepi pantai. Suara ombak yang lembut dan angin yang menerpa wajah mereka menciptakan suasana yang penuh kedamaian. Di bawah sinar rembulan, Dio berhenti sejenak dan menatap Raisa dengan tatapan yang penuh arti.
“Raisa, kamu tahu nggak?” Dio mulai berbicara dengan suara serak, seolah ada ketegangan yang tersisa. “Aku merasa, aku sudah lama mencari seseorang sepertimu. Seseorang yang bisa memahami aku tanpa banyak kata-kata.”
Raisa terdiam, hatinya berdegup kencang. “Aku… aku merasa sama,” jawabnya, tak bisa menyembunyikan perasaannya lagi.
Dan malam itu, di bawah sinar bulan, mereka saling mengakui perasaan mereka yang telah lama terpendam. Cinta yang tumbuh dari pertemuan tak terduga itu, cinta yang dia rasa sempurna. Mereka merasa saling melengkapi, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Raisa merasa bahwa dia tidak pernah salah memilih jalan.
Namun, seperti kisah cinta lainnya, kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Sebuah kenyataan pahit segera menghantam mereka, dan ketika Raisa mulai merasakan bahwa cinta ini akan menjadi yang terindah dalam hidupnya, takdir justru mempertemukan mereka dengan ujian yang berat.
Dan kisah itu pun dimulai, dimulai dengan kebahagiaan yang akhirnya akan diuji oleh pengkhianatan yang datang tanpa diduga.*
Bab 2 Pengkhianatan yang Terungkap
Hari itu dimulai seperti hari-hari biasa. Pagi yang cerah dengan sinar matahari yang menyelimuti kamar tidur Raisa, tetapi sesuatu terasa berbeda. Ada kegelisahan yang menyelip di antara setiap detak jantungnya. Sejak beberapa minggu terakhir, Dio, kekasihnya, mulai menunjukkan sikap yang berbeda. Meski Dio selalu mengaku sibuk dengan pekerjaan, Raisa merasakan ada jarak yang tumbuh di antara mereka, sebuah celah yang semakin lebar tanpa bisa ia jelaskan.
Raisa mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanya perasaan cemas yang berlebihan. Namun, rasa curiga terus mengusik. Ia sudah berusaha untuk mendiamkan kegelisahannya, mencoba untuk mempercayai Dio, namun semakin hari, ketidakpastian itu semakin menekan. Dio yang dulu selalu penuh perhatian, sekarang lebih banyak diam dan lebih sering menghindar. Bahkan ketika mereka bertemu, ada sesuatu yang hilang, sebuah kehangatan yang dulu selalu menyelimuti mereka berdua.
Pagi itu, Raisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Dio secara tiba-tiba. Ia tidak memberitahunya terlebih dahulu, berharap bisa memberinya kejutan kecil. Namun, ketika ia sampai di gedung tempat Dio bekerja, perasaan aneh itu semakin terasa. Ada sesuatu yang tak beres. Dia menyelinap melalui pintu belakang untuk mengejutkan Dio di ruangannya, namun yang ia temui justru pemandangan yang jauh dari harapannya.
Di ruang kerja Dio, ia melihatnya sedang tertawa bersama seorang wanita. Wanita itu tidak asing bagi Raisa. **Rina**, seorang kolega Dio yang sering ia dengar namanya disebut. Mereka terlihat begitu akrab, bahkan lebih dari sekedar teman kerja. Tawa mereka terdengar begitu dekat, begitu intim. Dio, yang biasanya sangat perhatian dan penuh kasih, kini tampak begitu santai dan bahagia bersama wanita lain. Sebuah pemandangan yang sangat berbeda dari Dio yang selama ini ia kenal.
Raisa merasa seolah-olah seluruh dunia runtuh di hadapannya. Rasa sakit dan amarah menghujam jantungnya, membuatnya hampir tak bisa bernapas. Dia ingin berteriak, tapi mulutnya terkunci, hatinya begitu berat. Mengingat betapa ia telah percaya padanya, betapa ia telah memberikan cinta sepenuhnya kepada Dio, ini adalah sebuah pengkhianatan yang sangat dalam. Selama ini ia tidak tahu bahwa hati Dio telah berpaling pada orang lain.
Rina, yang melihat kehadiran Raisa, segera berdiri dan tersenyum dengan sedikit canggung, sementara Dio tampak terkejut. Ada kekosongan di matanya, seolah ia tahu bahwa Raisa telah mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui.
“A-ada apa, Raisa?” tanya Dio, suaranya terdengar gugup, dan itu semakin membuat Raisa merasa terluka. Apa yang harus ia katakan? Bukankah semua yang ia lihat sudah cukup jelas?
Raisa menatap Dio dengan tajam, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. “Jadi ini yang kamu lakukan? Begitu mudahnya kau menghancurkan kepercayaanku, Dio?”
Dio tampak kebingungan, lalu menoleh ke Rina dengan wajah penuh penyesalan. “Raisa, aku… aku bisa jelaskan semuanya.”
“Jelaskan apa lagi?” suara Raisa pecah, emosinya meledak. “Aku lihat semuanya, Dio. Aku melihatmu dengan dia. Selama ini aku mencintaimu, dan inilah balasannya? Ini yang kamu berikan untukku setelah semua yang kita lewati?”
Rina merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah situasi yang semakin panas, lalu perlahan mundur ke pintu dan meninggalkan mereka berdua. Raisa tetap berdiri di sana, wajahnya penuh dengan amarah dan air mata yang hampir tumpah. Dio berdiri, mendekatkan diri, namun Raisa mundur. Setiap langkah Dio membuat hatinya semakin hancur.
“Raisa, aku minta maaf. Aku salah. Semua ini salah, aku… aku tidak bermaksud seperti ini.” Dio berbicara dengan suara yang penuh penyesalan, mencoba untuk meraih tangan Raisa, namun ia menepisnya.
“Tidak! Jangan sentuh aku!” Raisa hampir berteriak, matanya kini memerah karena air mata yang tumpah. “Aku tidak ingin mendengarkan penjelasanmu! Kau sudah memilih, Dio. Kau sudah memilih dia. Jadi kenapa kau masih ada di sini? Apa yang kau harapkan dariku?”
Dio terdiam, seolah kata-katanya tak bisa keluar. Raisa merasa terhancur. Selama ini ia telah menjadi wanita yang setia, yang selalu mendukung dan mencintai Dio tanpa syarat, dan inilah yang ia dapatkan—pengkhianatan yang tak termaafkan. Mungkin yang paling menyakitkan bukan hanya karena Dio bersama wanita lain, tapi karena Dio tidak pernah memberitahunya bahwa ada sesuatu yang berubah. Seolah-olah mereka hidup dalam dunia yang berbeda.
“Raisa, aku… aku akan berubah. Aku berjanji. Aku tak ingin kehilanganmu,” kata Dio, berusaha meraih tangan Raisa lagi.
Raisa menarik tangan itu menjauh dengan cepat. “Kau ingin berubah? Terlambat, Dio! Semua ini sudah terlalu jauh. Jangan coba-coba mempermainkan perasaanku lagi. Aku tidak akan biarkan diriku jatuh dalam lubang yang sama.”
Dia menoleh dan bergegas keluar dari ruangan itu, meninggalkan Dio yang terdiam. Rasanya dunia ini begitu kosong. Langkahnya terasa berat, hatinya hancur, dan pikiran penuh dengan kekecewaan yang tak bisa ia redakan.
Di luar gedung, Raisa berhenti sejenak, mencoba mengatur nafasnya yang sesak. Dia tidak ingin menangis, tidak ingin terlihat lemah. Namun, air mata itu tetap mengalir, menandakan bahwa pengkhianatan ini lebih menyakitkan daripada yang pernah ia bayangkan. Cinta yang ia percayakan, yang ia bangun dengan penuh kesabaran dan pengorbanan, kini hancur begitu saja.
Raisa tahu satu hal pasti—dia tidak akan pernah bisa memaafkan Dio dengan mudah. Tapi dia juga tahu, hidupnya harus terus berjalan. Saat itu, dia memutuskan untuk berhenti menjadi korban dari cinta yang telah dihancurkan. Dia akan menemukan cara untuk bangkit, meskipun tidak ada lagi yang sama.*
Bab 3 Rencana Balas Dendam
Raisa menatap kosong ke luar jendela apartemennya, merasa dunia seakan runtuh di sekitarnya. Setiap kenangan bersama Dio, setiap momen manis yang mereka lalui, kini terasa seperti kebohongan besar. Cinta yang ia kira tulus, ternyata hanya permainan untuk memenuhi nafsu sesaat. Dio, pria yang pernah ia percayai dengan seluruh hatinya, telah mengkhianatinya dengan cara yang paling menyakitkan. Kini, yang tersisa hanyalah perasaan hancur dan kebencian yang membara.
Sejak pertemuan terakhirnya dengan Dio, beberapa minggu yang lalu, Raisa merasa hatinya terpecah dua. Di satu sisi, ia masih menyimpan sebagian cinta untuk Dio yang begitu dalam, namun di sisi lain, ia tidak bisa menahan amarah dan rasa sakit yang sudah menumpuk. Rencana balas dendam mulai menyusup ke dalam pikirannya, dan ia tahu, ini satu-satunya cara untuk merasa kuat kembali.
Hari itu, di sebuah kafe kecil yang terletak di sudut kota, Raisa bertemu dengan Nino. Nino bukan orang sembarangan; dia adalah seorang pengusaha sukses yang dikenal memiliki banyak koneksi, baik dalam dunia bisnis maupun dunia bawah tanah. Dulu, mereka pernah bertemu dalam beberapa acara sosial, tetapi Raisa tidak pernah benar-benar mengenalnya. Namun, setelah kejadian dengan Dio, Nino muncul sebagai sosok yang menawarkan kemungkinan baru.
“Raisa,” kata Nino dengan suara tegas, sambil menyeruput kopi hitamnya. “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Kau ingin membalasnya, kan?”
Raisa terdiam sejenak, matanya menatap tajam pada Nino. Dia tahu bahwa Nino bukan orang yang bisa dipercaya sepenuhnya, tetapi dalam keputusasaan, dia mulai mempertimbangkan tawaran itu. “Apa yang kau tawarkan?” tanyanya, dengan suara yang lebih tenang dari yang dia rasakan.
Nino tersenyum tipis, seolah sudah memprediksi pertanyaan itu. “Aku bisa membantumu menghancurkan hidup Dio, jika itu yang kau inginkan. Aku punya koneksi yang bisa membuat hidupnya berantakan. Namun, kau harus ikut bermain dalam permainan ini, Raisa. Ini bukan tentang hukum atau moralitas. Ini tentang mendapatkan keadilan, dengan cara kita sendiri.”
Raisa mengangguk pelan. Keinginan untuk membalas dendam begitu kuat, dan Nino tampaknya tahu cara untuk mewujudkannya. “Aku ingin dia merasa apa yang aku rasakan. Aku ingin melihatnya hancur, sama seperti aku merasa hancur,” ucapnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi penuh dengan kebencian yang mendalam.
Nino tersenyum puas, lalu melanjutkan, “Kita akan mulai dari sini. Pertama, kita akan membuat Dio merasa terpojok dalam bisnisnya. Aku punya informasi tentang beberapa transaksi ilegal yang melibatkan beberapa orang penting di perusahaan Dio. Dengan sedikit dorongan, mereka akan kehilangan kepercayaan padanya.”
Raisa merasa hatinya berdegup lebih cepat. Dio, yang selama ini ia anggap begitu hebat dalam dunia bisnis, ternyata juga memiliki sisi gelap yang tak ia ketahui. Ia mulai membayangkan bagaimana Dio akan jatuh dari takhtanya, bagaimana semua yang telah dia bangun akan hancur dalam sekejap. Namun, di balik kebencian itu, ada keraguan yang muncul—apakah balas dendam ini benar-benar akan memberinya kebahagiaan? Apakah rasa sakit yang ia rasakan akan benar-benar hilang setelah Dio jatuh?
“Lalu?” tanya Raisa, mencoba mengusir keraguan yang mulai muncul di benaknya.
“Kita akan menyerang sisi pribadinya,” jawab Nino dengan wajah yang semakin serius. “Aku akan menyebarkan berita tentang perselingkuhannya dengan wanita lain. Semua orang yang ada di sekitarnya—teman-temannya, koleganya, bahkan keluarganya—akan tahu siapa Dio sebenarnya. Kita akan membuatnya kehilangan segalanya: bisnis, reputasi, bahkan orang-orang yang dia sayangi.”
Raisa merasa tenggorokannya tercekat mendengar kata-kata itu. Selama ini, dia tidak pernah berpikir tentang efek dari balas dendam ini terhadap orang-orang di sekitar Dio. Namun, perasaan sakit yang terus menerus menghantui dirinya membuatnya melupakan pertimbangan tersebut. Ia hanya ingin melihat Dio merasakan penderitaan yang sama.
“Apa yang kau butuhkan dariku?” tanya Raisa, merasa dirinya sudah terjebak dalam rencana ini.
Nino menatapnya dengan mata yang penuh perhitungan. “Aku butuhmu untuk tetap berada di dekat Dio. Kamu harus jadi penghubung kita. Kamu yang akan memberikan informasi yang dibutuhkan, yang akan memastikan bahwa semuanya berjalan lancar. Kamu akan berada di posisi yang sempurna untuk memanipulasi situasi.”
Raisa merasakan sebuah beban berat di pundaknya, tetapi di saat yang sama, ada juga perasaan puas yang mulai tumbuh. Ini adalah kesempatan untuk mengendalikan hidupnya kembali, untuk mengambil kendali atas rasa sakit yang selama ini menggerogotinya.
“Aku akan melakukannya,” jawab Raisa dengan suara yang penuh tekad.
Nino tersenyum lebar, seolah merasa telah memenangkan permainan. “Bagus. Sekarang, mari kita buat Dio merasakan apa yang telah dia hancurkan.”
Raisa menatap Nino, merasakan sebuah kedamaian yang ganjil, seolah segala sesuatu yang sebelumnya terasa kabur kini mulai jelas. Dia tahu ini bukan jalan yang mudah, dan mungkin tidak akan ada kembali setelah langkah pertama diambil. Namun, untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Raisa merasa memiliki kekuatan. Dia akan membalasnya. Dan kali ini, tidak ada yang akan menghalangi jalannya.
Dengan setiap langkah yang ia ambil, balas dendam itu semakin nyata. Namun, di dalam hatinya, Raisa tahu bahwa harga yang harus dibayar mungkin lebih tinggi dari yang ia bayangkan.*
Bab 4 Keterikatan yang Tidak Bisa Lepas
Raisa berdiri di balik kaca jendela, memandangi hujan yang turun perlahan di luar. Setiap tetes air yang menempel pada permukaan kaca seolah menggambarkan perasaan yang tidak pernah bisa dia lepaskan—perasaan yang mengambang, tak pasti, penuh dengan amarah dan juga cinta yang seolah tak pernah pergi. Kafe yang sepi di sore itu membuat suasana terasa semakin sunyi. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, sementara pikirannya kembali kepada Dio.
Kehadiran Dio dalam hidupnya terasa seperti mimpi yang tak pernah berakhir. Mereka bertemu pertama kali di acara peluncuran buku sebuah penerbit ternama, sebuah kebetulan yang menarik, begitu kata Dio saat itu. Saling bertukar pandang, tertawa bersama, dan akhirnya, entah bagaimana, mereka menjadi sepasang kekasih. Tanggal-tanggal indah bersama Dio terpatri dalam memorinya, seperti gambar-gambar cerah yang disimpan dalam album kenangan yang ia simpan rapat-rapat di dalam hati.
Namun itu semua berubah begitu Dio menghilang. Seperti bayangan yang lenyap begitu saja di balik kabut. Ketika Raisa menyadari bahwa dirinya hanya menjadi bagian dari perselingkuhan yang disembunyikan, rasanya seperti dunia runtuh di atas kepalanya. Dia merasa dibuang, seperti barang yang tidak berguna, yang hanya menunggu saat untuk dibuang begitu saja.
Keputusan untuk membalas dendam muncul dengan sendirinya, seolah-olah itu adalah jalan satu-satunya untuk menyembuhkan luka di hatinya. Dia ingin Dio merasakan rasa sakit yang sama, ingin melihatnya kehilangan segala sesuatu yang pernah ia miliki—termasuk rasa percaya dirinya. Balas dendam, meskipun terdengar kejam, seperti satu-satunya cara bagi Raisa untuk mendapatkan sedikit keadilan untuk dirinya sendiri.
Namun, meskipun demikian, ada sisi lain dalam dirinya yang tak bisa ia abaikan. Setiap kali mereka bertemu, meski dengan tujuan yang berbeda, ada tarikan yang kuat di dalam hatinya—sebuah perasaan yang masih tersisa, yang begitu sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Dio masih saja bisa membuat jantungnya berdegup kencang, membuat dirinya merasa cemas dan bingung. Dia tidak bisa menyangkal bahwa sebagian dari dirinya, yang terluka dan rapuh, masih merindukan sosok itu.
Saat itu, Dio muncul di kafe yang sama. Langkahnya terhenti beberapa meter di depan meja Raisa, dan mata mereka saling bertemu. Raisa terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri agar tidak terpancing emosi yang sudah berbulan-bulan tertahan. Dio berdiri di sana, mengenakan jas hitam yang terkesan rapi, meskipun ekspresinya jauh dari tenang. Ada kerisauan di matanya, sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh Raisa.
“Raisa,” suara Dio terdengar lebih lembut dari yang ia duga. “Boleh aku duduk?” Dia tidak menunggu jawabannya. Tanpa izin, Dio sudah duduk di hadapannya. Bukan karena kurang sopan, tetapi karena dia tahu betul bahwa Raisa tidak akan pernah mengusirnya. Ada semacam keterikatan di antara mereka yang tidak bisa dihapus begitu saja.
Raisa menatap Dio dengan tajam. Sebuah pertanyaan berputar-putar di dalam hatinya. Apa yang dia inginkan sekarang? Apakah dia benar-benar merasa menyesal? Ataukah semua ini hanya permainan baru untuk menarik perhatiannya?
“Kenapa sekarang?” Raisa akhirnya membuka suara, suaranya terdengar datar dan dingin. “Setelah semuanya hancur, setelah kau menghancurkan segala yang kita punya, baru kau datang kembali?” Hatinya menjerit, namun dia berusaha keras untuk tetap tenang.
Dio menghela napas panjang, tampak kesulitan untuk berkata-kata. “Aku tahu aku sudah membuat kesalahan yang sangat besar, Raisa. Aku tidak pernah berniat untuk membuatmu terluka. Aku… aku tidak tahu apa yang harus kukatakan untuk membuat semuanya jadi lebih baik.”
Raisa memandangnya, mencoba membaca ekspresi wajah Dio yang penuh penyesalan. Setiap kata yang diucapkannya terasa tulus, namun apakah itu cukup untuk menghapus luka yang telah dia torehkan? Rasanya mustahil. Dia menundukkan kepalanya sejenak, merasa hatinya kembali terkoyak.
“Dan aku harus bagaimana, Dio?” kata Raisa, suara mulai bergetar. “Apakah aku harus melupakan semua yang terjadi, melupakan betapa sakitnya dikhianati? Apakah itu yang kau inginkan?”
Dio diam, tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Apa yang bisa dia katakan? Bagaimana dia bisa memperbaiki segalanya yang sudah rusak? Sebagian dari dirinya ingin mengatakan bahwa ia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki hubungan mereka, namun dia tahu bahwa kata-kata saja tidak cukup.
Raisa pun diam, menatap cangkir kopinya yang sudah lama dingin. Ada kekosongan yang sulit untuk dijelaskan. Dendam yang sempat membara kini terasa semakin sulit untuk dipertahankan, meskipun dia tahu bahwa hati dan pikirannya sedang berperang.
“Aku tidak bisa begitu saja melupakan apa yang kau lakukan, Dio,” kata Raisa akhirnya, dengan suara yang semakin berat. “Aku tidak bisa begitu saja memaafkanmu dan melanjutkan hidup seolah-olah semuanya baik-baik saja. Tetapi, di sisi lain, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini… perasaan yang masih ada, yang tidak bisa aku hilangkan begitu saja.”
Dio menundukkan kepala, seolah menanggung beban yang sangat berat. “Aku tahu, Raisa. Aku tidak berharap kau bisa memaafkanku sekarang. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menyesal, sangat menyesal. Aku akan terus berusaha untuk memperbaiki semuanya, meskipun itu akan memakan waktu.”
Raisa memandangnya, menilai kata-kata Dio yang terdengar penuh penyesalan. Apakah itu benar? Ataukah ini hanya usaha terakhirnya untuk mendapatkan pengampunan? Rasanya sulit untuk mempercayai lagi.
Namun, ketika mata mereka bertemu, Raisa tahu bahwa hubungan mereka tidak bisa sesederhana itu. Dendam dan cinta itu terjalin begitu erat, dan setiap pertemuan, setiap kata yang mereka ucapkan, semakin memperkuat ikatan yang tidak bisa lepas. Begitu juga dengan rasa sakit yang tak kunjung hilang.
Di dalam hati Raisa, dia tahu bahwa mereka sedang berada di ujung jalan yang penuh dengan ketidakpastian. Tetapi satu hal yang pasti—perasaan ini, rasa cinta dan dendam yang campur aduk, akan terus mengikuti mereka, sampai akhirnya salah satu dari mereka memilih untuk melepaskan.*
Bab 5 Pengorbanan dan Penyesalan
Raisa duduk di sudut kafe, menatap kosong secangkir kopi yang hampir dingin di tangannya. Setiap teguk yang ia ambil terasa hambar, seolah-olah seluruh dunia ini kehilangan rasa. Begitu juga dengan hatinya—terluka, hancur, dan penuh dengan amarah yang tak kunjung padam. Namun, semakin lama ia memikirkannya, semakin ia merasa kehadiran Dio mengganggu ketenangannya.
Hari ini, Dio muncul tanpa peringatan. Setiap detik kehadirannya membuat rasanya seperti dilanda badai. Dia bukan lagi pria yang ia kenal—pria yang dulu begitu penuh perhatian dan penuh kasih sayang. Dio yang berdiri di hadapannya sekarang adalah pria yang penuh penyesalan, dan mungkin… sebuah permohonan maaf yang tulus. Namun, apakah itu cukup untuk menyembuhkan luka yang telah ia buat?
Dio menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Raisa, aku tahu aku tak bisa mengembalikan waktu. Tapi aku benar-benar menyesal. Aku tahu aku telah menghancurkan semua yang kita miliki.”
Raisa menundukkan wajah, mencoba menahan air mata yang hampir saja meluncur. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya. “Aku tidak tahu harus berkata apa, Dio. Kau sudah cukup membuatku merasa seperti aku bukan siapa-siapa. Tidak ada lagi yang tersisa dari hubungan kita selain rasa sakit dan kenangan pahit,” jawabnya, suara seraknya mencerminkan kesedihan yang dalam.
Dio menghela napas panjang, menyadari betapa dalam luka yang ia timbulkan. “Aku tahu. Aku benar-benar tahu aku telah melukai hatimu, Raisa. Aku tidak bisa lagi mengubah apapun, tapi aku ingin berjuang untuk memperbaikinya, jika kau mau memberi aku kesempatan.”
Raisa menatapnya tajam. “Kesempatan? Apa lagi yang bisa kau lakukan, Dio? Kamu sudah membuat keputusanmu sendiri, dan itu mengakhiri segala sesuatunya. Menghancurkan semuanya.”
Dio tidak menjawab segera. Dia hanya diam, merenungkan setiap kata yang keluar dari bibir Raisa. Lalu, dengan suara yang lebih lembut, dia melanjutkan, “Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu percaya padaku lagi, Raisa. Aku tahu aku tidak pantas mendapatkannya, tapi aku siap melakukan pengorbanan apapun, jika itu bisa sedikit saja mengurangi rasa sakitmu.”
Raisa merasakan hatinya bergetar mendengar kata-kata Dio. Ini bukan sekadar permintaan maaf, ini adalah pengorbanan. Dio yang dulu sombong dan egois kini tampak begitu rendah hati. Tidak ada lagi kebanggaan yang menutupinya. Dia datang kepada Raisa bukan hanya dengan penyesalan, tetapi juga dengan keinginan untuk membayar setiap kesalahan yang pernah dia buat.
Raisa mengalihkan pandangannya. Pikirannya bertarung dengan perasaan yang bergejolak. Di satu sisi, ia ingin merasakan balas dendam yang telah ia rencanakan begitu lama—melihat Dio menderita, merasakan apa yang telah ia rasakan. Tetapi di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan kebaikan hati yang masih tersembunyi di balik diri Dio, dan penyesalan yang begitu tulus.
“Apa yang ingin kamu lakukan, Dio?” tanya Raisa akhirnya, suaranya begitu rendah.
Dio menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku tahu aku sudah salah. Aku tak akan pernah bisa membayar semua rasa sakit yang aku sebabkan. Tapi aku akan mulai dengan cara yang kecil. Aku akan berhenti berbisnis dengan orang-orang yang selama ini aku pikir lebih penting daripada kamu. Aku akan meninggalkan dunia yang telah menghancurkan kita, Raisa. Aku akan mulai dengan memperbaiki diriku sendiri, karena aku tahu itu adalah satu-satunya cara aku bisa memperbaiki apapun yang tersisa di antara kita.”
Raisa menatapnya, terkejut mendengar kata-kata itu. Dio berbicara tentang melepaskan segala yang telah dia perjuangkan untuk orang lain, demi dia. Itu bukan pengorbanan yang sederhana—itu adalah pengorbanan besar yang menunjukkan seberapa jauh dia bersedia untuk berubah.
“Aku tahu kamu mungkin tidak bisa langsung memaafkanku, dan aku tidak berharap itu terjadi dalam semalam,” lanjut Dio, suaranya penuh kesungguhan. “Tapi aku ingin kamu tahu, aku bersedia berjuang. Tidak hanya untuk mendapatkanmu kembali, tapi juga untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi orang yang layak untukmu.”
Raisa memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Setiap kata Dio terasa seperti pedang yang mengiris hati, mengingatkannya pada betapa dalam luka yang ia rasakan. Namun, ada juga rasa harapan yang perlahan muncul, meskipun sangat kecil. Bagaimana bisa dia begitu yakin bahwa Dio benar-benar berubah?
“Aku tidak tahu,” jawab Raisa pelan. “Aku ingin percaya padamu, Dio. Aku benar-benar ingin percaya… tapi aku sudah terluka terlalu dalam. Dan meskipun aku ingin memberikanmu kesempatan kedua, aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan untuk melakukannya.”
Dio menunduk, wajahnya dipenuhi penyesalan yang mendalam. “Aku akan menunggu. Aku akan terus berjuang untukmu, bahkan jika kamu memutuskan untuk tidak lagi berada di sisiku. Aku tidak akan pernah berhenti berusaha, karena aku tahu aku pantas menerima hukuman ini. Tapi aku akan tetap mencintaimu dengan cara apapun yang bisa kulakukan.”
Raisa terdiam, membiarkan kata-kata itu mengalir dalam pikirannya. Setiap perasaan yang ia coba sembunyikan selama ini kini mencuat ke permukaan, membuatnya bingung, terluka, namun juga sedikit lebih tenang.
Pengorbanan Dio terasa begitu nyata, begitu tulus. Dan untuk pertama kalinya, Raisa merasakan bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa memberi ruang bagi cinta yang dulu pernah mereka miliki. Tetapi apakah itu cukup untuk menyembuhkan luka yang sudah begitu dalam? Akankah pengorbanan Dio benar-benar mampu menebus semua kesalahannya?
Waktu akan memberi jawabannya.*
Bab 6 Dendam yang Membakar
Raisa memandang layar ponselnya dengan jantung yang berdetak cepat. Pesan dari Dio yang baru saja masuk terasa seperti pedang yang menembus hatinya. “Aku tahu aku tak pantas untuk mendapatkan maafmu, Raisa. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya.” Pesan itu sangat sederhana, namun kekuatan kata-katanya begitu dalam, mengusik perasaan yang berusaha ia kubur selama ini.
Dendam yang ia rasakan terhadap Dio semakin membakar setiap kali mengingat pengkhianatan yang dia lakukan. Tiga tahun lalu, ketika Dio berjanji akan selalu ada untuknya, ia tak menyangka pria yang ia cintai dengan sepenuh hati akan mengkhianati segala harapan dan impian yang mereka bangun bersama. Raisa mengingat bagaimana Dio, yang ia kira adalah satu-satunya, memilih untuk meninggalkannya demi wanita lain. Dia merasa dibuang, dihancurkan, dan seluruh dunia seolah runtuh di depannya.
Namun, setelah bertahun-tahun berlalu, perasaan itu tak kunjung hilang. Rasa sakit itu menjadi api yang membakar di dalam dada, mendorongnya untuk membalas setiap luka yang ditinggalkan Dio. Setiap langkah yang ia ambil kini berfokus pada satu tujuan—membalas dendam pada pria yang telah menghancurkan hidupnya. Dan ketika ia bertemu dengan Nino, segala rencana itu mulai menjadi kenyataan.
Nino adalah pria yang penuh misteri, memiliki pengaruh yang besar dalam dunia bisnis, serta koneksi yang luas di kalangan elit. Dia tak hanya tampak menarik secara fisik, tetapi juga cerdas dan penuh ambisi. Raisa merasa bahwa dengan Nino, dia bisa membuat Dio merasakan apa yang ia rasakan—penderitaan, penyesalan, dan kehilangan. Nino mengetahui segalanya tentang Dio, bahkan lebih banyak daripada yang Raisa tahu, dan itu membuat Nino menjadi sekutu yang sangat berharga.
Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang tidak diinginkan mulai terjadi. Setiap kali ia merencanakan langkah-langkah balas dendam, sebuah suara kecil di dalam hatinya mulai berbicara—suara yang bertanya apakah ini benar-benar yang ia inginkan. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikannya, perasaan itu semakin kuat. Dalam satu kesempatan, saat Raisa bersama Nino merencanakan langkah selanjutnya untuk menjatuhkan Dio, dia menyadari bahwa balas dendam ini justru membuatnya semakin terperangkap dalam luka masa lalu.
Rencana demi rencana yang ia buat bersama Nino menjadi semakin keras dan penuh intrik. Mereka memanipulasi Dio dalam berbagai cara—dari merusak reputasinya hingga menggoyahkan bisnis yang telah ia bangun. Setiap langkah yang berhasil membuat Dio semakin terpojok, Raisa merasa seakan ada kepuasan yang tak terkatakan. Namun, di balik kepuasan itu, ada rasa kosong yang tak bisa ia hindari.
Pada suatu malam, setelah memantau langkah-langkah mereka yang berhasil merusak reputasi Dio di sebuah pertemuan bisnis, Raisa merasa pusing. Kepalanya berputar, dan untuk pertama kalinya, dia merasa bingung tentang apa yang sebenarnya ia cari. Dendam itu memang memberi sedikit rasa lega, tetapi apakah itu benar-benar akan membuatnya bahagia?
Ketika Raisa menginjakkan kaki di luar ruangan pertemuan, dia melihat Dio berdiri di sana, di sudut jalan, tampak lelah dan lusuh. Dia tersentak, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dio yang dulu tampak begitu penuh gairah dan percaya diri kini terlihat rapuh. Wajahnya tampak letih, dan matanya, yang dulunya selalu penuh dengan canda, kini tampak penuh penyesalan.
“Raisa…” Dio menyebut namanya, dan suara itu terasa seperti bayangan dari masa lalu, menembus dinding kebencian yang selama ini ia bangun. “Aku tahu aku tak pantas untuk berdiri di sini, tapi aku tak bisa lagi lari dari kenyataan. Aku merindukanmu. Aku merindukan kita.”
Raisa menatapnya dalam diam, perasaan yang begitu kompleks muncul dalam hatinya. Di satu sisi, ia merasa kesal dan marah. Tapi di sisi lain, ada kerinduan yang tak bisa ia pungkiri—kerinduan pada Dio yang dulu, pada cinta yang mereka miliki sebelum semuanya hancur.
“Apa yang kau inginkan sekarang, Dio?” suara Raisa bergetar, berusaha menjaga ketegaran. “Setelah semua yang kau lakukan, kau pikir aku akan memaafkanmu begitu saja?”
Dio menunduk, tampaknya kecewa dengan dirinya sendiri. “Aku tak berharap kau langsung memaafkanku, Raisa. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal, lebih dari yang bisa kau bayangkan. Aku menyadari bahwa aku telah merusak hidup kita, dan aku akan melakukan apa saja untuk memperbaikinya.”
Kata-kata Dio itu menggetarkan hati Raisa. Dendam yang selama ini membara di dalam dirinya tiba-tiba terasa tak lagi begitu jelas. Apakah ini benar-benar yang ia inginkan? Apakah membalas dendam akan memberikan rasa puas yang abadi? Atau justru membiarkan luka itu terbuka selamanya, tanpa penutupan yang layak?
Dendam yang dulu tampaknya membara dengan api yang tak terkendali, kini mulai meredup. Raisa merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ia bisa melanjutkan rencananya bersama Nino, menghancurkan Dio sepenuhnya dan melihatnya terpuruk. Tetapi di sisi lain, ada perasaan yang tak bisa diabaikan—perasaan bahwa ada lebih dari sekadar kebencian dalam dirinya, bahwa mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk memulai dari awal.
Tapi keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Rencana balas dendam yang sudah ia susun dengan hati-hati bersama Nino kini berada dalam bahaya. Raisa merasa dilema yang mendalam—di satu sisi, ada kesempatan untuk membebaskan dirinya dari masa lalu yang kelam. Di sisi lain, ada rasa sakit yang mendalam setiap kali ia memikirkan masa depan bersama Dio yang penuh ketidakpastian.
Saat itu, Raisa tahu satu hal pasti: dendamnya masih membakar, tetapi sekarang ia sadar bahwa mungkin sudah saatnya untuk memilih apakah ia ingin terus membiarkan api itu membakar, ataukah akhirnya membiarkannya padam, memberi ruang bagi perasaan lain yang lebih jujur dan tulus.
Raisa memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong. Jarinya gemetar saat ia membaca pesan dari Dio yang baru saja masuk. Setiap kata dalam pesan itu terasa seperti luka yang ia coba sembunyikan selama bertahun-tahun. “Aku tahu aku tak pantas untuk mendapatkan maafmu, Raisa. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya.” Kalimat yang sederhana itu seolah menari di matanya, namun hanya menambah rasa pedih yang semakin mendalam di dalam hati. Setiap huruf dalam pesan itu membuatnya merasa terjaga dalam bayang-bayang kenangan yang tak pernah bisa dia lepaskan.
Dendam yang ia simpan terhadap Dio telah membakar dirinya selama tiga tahun terakhir. Perasaan yang tadinya penuh cinta kini berubah menjadi kebencian yang membara. Raisa masih ingat betul saat Dio, pria yang pernah ia anggap sebagai belahan jiwanya, mengkhianatinya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan. Semua janji manis yang diucapkan, semua mimpi yang mereka bangun bersama, hancur dalam sekejap. Dio meninggalkannya untuk wanita lain, tanpa alasan yang jelas, tanpa penjelasan yang masuk akal. Cinta yang mereka bagi seolah tak berarti apa-apa. Dan rasa sakit itu, tidak pernah benar-benar hilang.
Waktu telah berlalu, namun luka itu tetap terasa segar. Rasa pengkhianatan itu semakin menguatkan dendamnya. Setiap kali ia melihat Dio, ingatannya tentang semua kebohongan dan kesakitan itu kembali menghantuinya. Dan, di sinilah dia sekarang—dalam perjalanan panjang untuk membalas dendam. Tidak ada lagi tempat untuk maaf, tidak ada ruang untuk kelembutan. Hanya ada satu tujuan dalam pikirannya: Dio harus merasakan penderitaan yang sama. Hanya dengan itu, rasa sakit yang ia derita bisa sedikit terobati.
Raisa bertemu dengan Nino, seorang pria yang tampaknya memiliki semua yang ia butuhkan untuk menuntaskan balas dendamnya. Nino bukan hanya tampan dan berkarisma, tetapi juga memiliki pengaruh yang besar di dunia bisnis dan politik. Dalam beberapa minggu, mereka sudah mulai bekerja sama, merancang serangkaian langkah untuk menjatuhkan Dio. Nino, yang mengetahui banyak tentang kehidupan Dio, memberikan Raisa informasi yang sangat berharga. Mereka mulai merusak reputasi Dio, menghancurkan perusahaannya dengan cara yang paling tidak terduga, dan membuatnya terpojok dalam setiap langkah.
Tapi semakin dalam Raisa terjun ke dalam rencananya, semakin dia merasa ada sesuatu yang hilang. Setiap tindakan yang ia ambil untuk membalas dendam semakin membuatnya merasa terperangkap dalam kebencian yang tak bisa ia lepaskan. Bahkan ketika melihat Dio menderita akibat perbuatan mereka, rasa puas yang ia harapkan tak kunjung datang. Sebaliknya, yang ia rasakan hanyalah kekosongan yang terus menggerogoti hatinya.
Suatu malam, setelah mereka berhasil membuat Dio terjatuh dalam sebuah skandal besar yang merusak citranya di dunia bisnis, Raisa kembali ke apartemennya dengan langkah berat. Kemenangan sementara itu tidak memberinya kebahagiaan yang ia bayangkan. Justru, ia merasa semakin terasing dari dirinya sendiri. Seakan-akan, balas dendam yang selama ini menjadi satu-satunya tujuan hidupnya justru semakin menjauhkan dia dari kedamaian yang ia cari.
Raisa duduk di depan cermin besar di ruang tamunya, menatap pantulan dirinya yang kini tampak berbeda. Matanya yang dulunya penuh semangat kini tampak kosong, seakan hidupnya tidak lagi punya arah. Dendam itu, yang dulu terasa begitu jelas dan tegas, kini mulai kabur. Apa yang sebenarnya ia cari? Apakah balas dendam benar-benar akan menghapus rasa sakit itu, atau justru malah memperburuk segalanya? Hatinya yang dulu penuh cinta kini penuh dengan kebingungan.
Dalam keheningan malam itu, Raisa menerima telepon yang tak terduga. Suara di ujung telepon itu membuat darahnya berdesir, menggetarkan setiap pori tubuhnya. Itu adalah Dio. Setelah sekian lama, Dio kembali muncul, tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Raisa…” Suara Dio terdengar rendah, penuh penyesalan. “Aku tahu aku tak pantas berdiri di sini, tapi aku tak bisa lagi berpura-pura. Aku tahu aku telah menghancurkan hidup kita, dan aku tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal. Aku merindukanmu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu.”
Raisa terdiam. Kata-kata itu mengusik segala perasaan yang selama ini ia coba kubur. Dio, pria yang telah mengkhianatinya dengan begitu kejam, kini muncul dengan penyesalan yang begitu mendalam. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Rasa benci dan rindu bercampur dalam dadanya. Dio berkata bahwa ia merindukannya, tetapi apakah itu cukup untuk memperbaiki segala yang telah terjadi?
“Apa yang kau harapkan dariku, Dio?” Raisa akhirnya mampu berbicara, meskipun suaranya gemetar. “Setelah semua yang kau lakukan, kau pikir aku akan mudah memaafkanmu? Kau pikir aku bisa melupakan semua pengkhianatan ini hanya dengan beberapa kata penyesalan?”
Dio diam sejenak. “Aku tahu, Raisa. Aku tahu betapa beratnya untuk memaafkan. Aku tak bisa mengubah masa lalu, dan aku tak bisa mengharapkanmu untuk langsung melupakan semuanya. Tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya, aku ingin kembali… jika kau memberiku kesempatan.”
Mendengar kata-kata itu, hati Raisa terasa terhimpit. Apakah dia bisa memberikan kesempatan itu? Apakah dia bisa melupakan rasa sakit yang selama ini menghancurkannya? Dendam yang selama ini ia pelihara, yang menjadi satu-satunya sumber kekuatannya, kini terasa seperti beban yang semakin berat. Di satu sisi, ada perasaan ingin melihat Dio menderita lebih jauh, namun di sisi lain, ada suara di dalam dirinya yang mengatakan bahwa mungkin, hanya mungkin, sudah saatnya untuk melepaskan dendam itu.
Raisa menutup matanya dan menghela napas panjang. “Aku tak tahu, Dio. Aku tak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Aku terlalu terluka. Kau menghancurkan segalanya. Dan aku tidak yakin, jika aku bisa kembali ke tempat yang dulu.”
Namun, meskipun ia berkata begitu, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Rasa sakit yang mendalam kini disertai dengan kebingungan yang tidak dapat dijelaskan. Dendam yang dulu terasa seperti api yang tak bisa padam, kini mulai meredup. Apakah ia benar-benar ingin menghabiskan hidupnya dalam kebencian, ataukah sudah saatnya untuk menutup buku lama dan memulai yang baru?
Tapi keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Setiap langkah yang diambil Raisa, setiap keputusan yang ia buat, kini dipenuhi dengan keraguan. Dendam yang dulu terasa begitu jelas kini mulai kabur, seiring dengan perasaan yang mulai muncul kembali di dalam hatinya. Hanya ada satu hal yang pasti—dendam itu mungkin tak lagi membakar seperti dulu. Dan meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Raisa tahu bahwa saat ini, dia berada di persimpangan jalan yang tak bisa ia hindari.***
————–THE END————-