Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

RINDU YANG MENYENTUH

RINDU YANG MENYENTUH

SAME KADE by SAME KADE
March 22, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 45 mins read
RINDU YANG MENYENTUH

Daftar Isi

  • Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan
  • Bab 2: Jarak yang Menguji
  • Bab 3: Rindu yang Tertahan
  • Bab 4: Pertemuan yang Mengubah Semuanya
  • Bab 5: Ujian Cinta yang Tak Terduga
  • Bab 6: Rindu yang Tak Terucapkan

Bab 1: Pertemuan yang Tak Terlupakan

Di tengah kesibukan hidup masing-masing, dua orang yang sangat berbeda latar belakang bertemu secara kebetulan. Lina, seorang wanita yang sudah lama menutup hati setelah kegagalan cintanya, bertemu dengan Arka, seorang pria yang punya kisah masa lalu yang kelam. Pertemuan mereka tidak direncanakan, namun terasa seperti takdir yang mempertemukan mereka untuk alasan tertentu.

Perasaan yang tumbuh di antara mereka terasa begitu kuat, namun keduanya masih enggan mengakui. Meskipun ada rasa ketertarikan yang intens, mereka lebih memilih untuk mengendalikannya karena takut akan melukai diri sendiri atau orang lain. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa hati mereka mulai saling terkoneksi, meskipun hanya melalui tatapan dan percakapan singkat.

Lina berdiri di depan cermin dengan hati yang sedikit cemas. Pagi itu, hujan turun dengan deras, dan langit seakan tidak memberi kesempatan pada matahari untuk muncul. Ia merapikan rambutnya dengan tangan, meskipun sudah tahu bahwa angin di luar akan segera merusaknya. Pikirannya berlarian, mencoba mempersiapkan dirinya untuk sebuah pertemuan yang tak terduga, yang tak pernah ada dalam rencananya.

Hari itu, Lina harus menghadiri acara reuni teman-teman lama di sebuah kafe. Dia sempat ragu untuk datang, terutama setelah beberapa bulan terakhir yang penuh dengan rutinitas yang melelahkan. Namun, temannya, Rani, yang terus memaksanya untuk datang akhirnya membuatnya menuruti. Tentu saja, ini bukan pertama kalinya dia bertemu dengan teman-teman lama, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sesuatu yang membuat hatinya berdebar tak menentu.

Lina menghembuskan napas panjang dan memutuskan untuk keluar. Ketika langkahnya menghantarkan tubuhnya menuju mobil, hujan semakin deras. Ia tidak suka hujan, tidak pernah suka. Namun, pada momen itu, ia merasakan hujan membawa semacam ketenangan. Tanpa sadar, langkahnya semakin cepat, melangkah menuju tempat yang entah mengapa terasa penuh dengan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan.

Di dalam kafe yang cukup ramai, Lina melihat beberapa teman lama yang sudah lama tidak ia temui. Mereka menyapa dengan hangat, membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Namun, di antara keramaian itu, ada satu orang yang menarik perhatiannya. Seorang pria yang tampak asing namun juga sangat familiar. Pria itu duduk di pojok, berbicara dengan teman-teman lain, tertawa, dan terkadang menoleh seakan menyadari ada yang mengamatinya.

Lina tidak tahu mengapa, tapi matanya langsung tertuju padanya. Pria itu—Arka—tidak terlihat begitu berbeda dari yang ia ingat, meskipun sudah bertahun-tahun berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu. Saat itu, mereka hanya beberapa kali bertemu dalam acara-acara sosial tanpa saling mengenal lebih dekat. Namun, pada saat itu, dalam hati Lina, ia merasakan semacam ketertarikan yang tidak bisa dijelaskan.

Sebagai seorang wanita yang cukup tertutup dan berhati-hati, Lina jarang merasa cemas atau gugup di hadapan orang yang baru dikenalnya. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang terasa seperti sebuah magnet yang menarik hatinya untuk lebih dekat dengan pria itu.

Lina berusaha mengalihkan pandangannya dan bergabung dengan teman-temannya yang sedang berbincang. Namun, mata Lina kembali tertuju pada Arka, yang kini sedang berbicara dengan Rani. Rani kemudian menoleh, tersenyum lebar dan mengisyaratkan agar Lina mendekat. Lina yang sempat ragu, akhirnya memberanikan diri.

“Eh, Lina! Kamu datang juga, ya?” sapa Rani dengan semangat, menyambutnya dengan pelukan singkat. “Kenalin, ini Arka, teman lama yang kamu temui waktu itu, kan?”

Lina terkejut. Pria yang ia amati tadi adalah Arka, teman Rani yang sudah lama tidak ia temui. Kapan ya terakhir kali? Tentu saja sudah sangat lama. Waktu itu, Arka hanyalah seorang pria yang hadir dalam pertemuan-pertemuan tidak terlalu berarti. Namun, kali ini, hatinya merasa begitu berbeda.

Lina tersenyum canggung dan mengulurkan tangannya. “Arka, ya? Lama tidak bertemu.”

Arka menoleh, matanya menyapu wajah Lina sejenak, lalu tersenyum. “Lina, kan? Sudah lama sekali, ya.” Suaranya dalam, tenang, dan sedikit menyentuh hatinya.

Lina merasakan getaran halus di dadanya. Suasana canggung itu tidak berlangsung lama, karena Rani langsung mengalihkan pembicaraan ke topik lain, dan seolah tanpa sengaja, Lina dan Arka mulai berbincang lebih dalam. Membicarakan hal-hal ringan, seperti pekerjaan, teman-teman lama, dan kejadian-kejadian yang sudah mereka lewatkan selama bertahun-tahun.

Namun, meskipun obrolan mereka terasa ringan dan santai, Lina tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang terus mengganggu hatinya. Sepertinya ada sesuatu yang tersisa dalam pertemuan ini—sesuatu yang lebih dari sekadar sekadar pertemuan biasa.

Arka pun menyadari hal yang sama. Selama pembicaraan itu, ia merasakan ada sebuah ikatan yang muncul tanpa ia minta. Setiap kalimat yang Lina ucapkan, entah mengapa membuat hatinya terasa hangat. Setiap senyuman Lina, meskipun sederhana, mengisi ruang kosong di dalam dirinya. Ia merasa seolah sudah mengenal wanita ini jauh lebih lama dari yang sebenarnya.

Tak lama setelah itu, acara reuni mulai memasuki suasana lebih santai. Beberapa teman mulai menari, ada yang bermain game, dan Lina mulai merasakan kedekatan yang lebih dengan Arka. Mereka berbicara lebih pribadi. Lina sedikit demi sedikit membuka diri, bercerita tentang bagaimana kehidupannya belakangan ini, tentang kegagalannya dalam cinta, dan bagaimana ia akhirnya menemukan kedamaian meskipun hidupnya tidak selalu berjalan sesuai keinginan.

Arka mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tidak banyak berbicara tentang dirinya, namun matanya seolah berkata lebih banyak. Lina merasakan dirinya terhubung dengan Arka dalam cara yang tidak bisa dijelaskan. Namun, ia juga merasa ragu. Mengapa perasaan ini muncul begitu mendalam?

Lina mencoba mengalihkan perhatian dari pikirannya yang berkecamuk. Namun, ketika melihat Arka tersenyum dengan tulus, ada semacam perasaan hangat yang menyentuh hatinya. Seolah-olah rindu itu sudah ada sejak lama, meskipun ia tidak pernah mengenal pria ini dengan begitu dekat.

Waktu berlalu begitu cepat, dan tanpa mereka sadari, malam semakin larut. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berjalan keluar kafe bersama. Hujan sudah mulai reda, dan udara malam terasa sejuk.

Saat itu, Arka memutuskan untuk membuka percakapan lebih serius. “Lina, aku… aku merasa ada yang berbeda. Sejak tadi, aku merasa kita seolah sudah kenal lama. Entah kenapa, aku merasa seperti kembali ke masa lalu, ke waktu kita hanya sekadar berbicara ringan.”

Lina berhenti sejenak, menatap Arka dengan tatapan penuh perasaan. “Aku pun merasa begitu. Ada sesuatu yang aneh, bukan?” jawab Lina, mencoba menahan perasaan yang mulai memenuhi hatinya.

Arka tersenyum sedikit, dan langkah mereka kembali berlanjut dengan hening, namun kali ini lebih berarti. Meskipun kata-kata tidak lagi diperlukan, keduanya tahu bahwa ada sebuah ikatan yang terbentuk dengan begitu cepat ikatan yang mungkin lebih dari sekadar kenangan, lebih dari sekadar pertemuan biasa.

Pagi itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suasana yang sejuk di luar sana. Lina memandang jendela kamarnya yang basah, memperhatikan tetesan air yang mengalir dengan lambat, seolah-olah mencoba menyampaikan sebuah pesan. Suasana yang begitu tenang di luar seakan mencerminkan suasana hati Lina yang tak menentu. Meski demikian, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sesuatu yang membuat hatinya gelisah meski ia tidak tahu mengapa.

Hari itu adalah hari yang telah lama ia tunggu—reuni teman-teman lama di kafe tempat mereka biasa berkumpul dulu. Ketika Rani, teman dekatnya yang sudah lama tak ditemui, menghubunginya beberapa minggu lalu, Lina sempat ragu. Ia merasa tidak siap bertemu dengan mereka lagi setelah sekian lama. Namun, Rani meyakinkannya untuk datang. “Lina, kamu butuh ini. Teman-teman kita semua sudah lama menunggu, dan pasti akan seru!” kata Rani di telepon dengan suara yang penuh semangat. Akhirnya, Lina memutuskan untuk hadir.

Dengan langkah pelan, Lina keluar dari rumah. Langkahnya terasa ringan meskipun hatinya berat. Ia tahu ini bukan sekadar reuni biasa. Ternyata, perasaan yang sudah lama ia pendam selama bertahun-tahun, yang menyangkut kenangan lama, bisa saja kembali muncul. Terutama kenangan tentang seseorang yang ia coba lupakan: Arka.

Arka adalah seorang pria yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun dalam konteks yang sangat berbeda. Dulu, mereka hanya bertemu dalam acara sosial biasa, tidak lebih dari sekadar perkenalan singkat. Namun, meskipun begitu sedikit pertemuan mereka, ada sesuatu yang masih terpatri dalam ingatan Lina—sebuah senyum yang tidak pernah bisa ia lupakan. Dan ketika Rani mengatakan bahwa Arka juga akan hadir, Lina merasa sedikit cemas.

Kafe tempat reuni itu diadakan terletak di sudut kota, dengan jendela-jendela besar yang memungkinkan orang untuk melihat hujan di luar. Begitu memasuki kafe, Lina disambut oleh suasana yang hangat. Beberapa teman lama sudah tiba dan duduk di meja besar yang ada di tengah ruangan. Rani menyambutnya dengan pelukan hangat. “Lina, kamu datang juga, akhirnya!” ujar Rani dengan wajah berseri-seri, lalu menariknya ke meja tempat teman-temannya berkumpul.

Suasana riuh dengan obrolan dan tawa teman-teman yang sudah lama tidak bertemu. Lina merasa sedikit terasing, tetapi dia mencoba menikmati kebersamaan itu. Semua teman-temannya tampak sudah sangat nyaman satu sama lain, bercengkerama tentang hal-hal yang sudah lama terlupakan. Namun, matanya tidak bisa berhenti melirik ke arah sudut ruangan. Di sana, Arka sedang duduk bersama beberapa teman, tertawa, berbicara dengan santai. Begitu tampaknya ia tak pernah berubah, seperti yang Lina ingat.

Pikirannya kembali melayang ke masa lalu, ketika mereka hanya bertemu sesekali, berinteraksi secara singkat, tetapi ada perasaan yang aneh yang selalu muncul di hati Lina setiap kali mereka berada dalam ruangan yang sama. Perasaan itu tidak pernah bisa ia jelaskan—sebuah perasaan hangat yang datang begitu saja.

Saat itulah, pandangan Arka bertemu dengan mata Lina. Tidak ada kata-kata yang diucapkan, tetapi dalam kedalaman tatapan itu, ada sesuatu yang membuat jantung Lina berdebar. Arka tersenyum tipis, dan Lina merasa seperti seluruh dunia berhenti sejenak. Waktu seakan melambat, dan hanya ada mereka berdua dalam ruang yang penuh dengan orang.

Lina tahu ini bukan kebetulan. Ada yang aneh, ada perasaan yang tidak bisa ia abaikan. Rasa rindu yang selama ini ia simpan jauh di dalam hati tiba-tiba muncul begitu saja, menyentuh bagian terdalam dari dirinya. Selama ini, ia selalu berusaha menghindari perasaan itu—perasaan yang sempat ia rasakan saat pertama kali bertemu dengan Arka bertahun-tahun lalu. Namun kini, perasaan itu kembali menyapa, dan Lina merasa tidak bisa mengabaikannya lagi.

“Hei, Lina, kenapa duduk sendirian? Ayo, sini gabung!” ajak Rani sambil melambaikan tangan, memecah keheningan di antara mereka. Lina mengangguk pelan dan berjalan ke meja. Rani memperkenalkan Lina pada beberapa teman lama yang duduk di sana, tetapi Lina tidak bisa sepenuhnya mengalihkan perhatiannya dari Arka yang duduk di sudut.

“Arka, ini Lina,” kata Rani, memperkenalkan keduanya. “Kalian pasti sudah saling mengenal, kan?”

Arka menatap Lina sejenak, lalu mengulurkan tangannya. “Lina, lama tak bertemu. Bagaimana kabarmu?” katanya dengan senyum yang hangat, tapi juga terlihat sedikit canggung.

Lina mengulurkan tangannya dan membalas senyum Arka. “Baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” jawabnya dengan suara yang agak bergetar. Suasana menjadi sedikit canggung, namun Arka membuatnya merasa lebih tenang dengan tawanya yang khas. Tawa yang Lina ingat dulu selalu bisa membuat suasana menjadi lebih nyaman.

Pembicaraan mulai mengalir lebih lancar setelah itu. Meskipun awalnya sedikit kaku, mereka mulai membuka diri satu sama lain. Membicarakan kenangan masa lalu, teman-teman yang sama, dan bagaimana hidup mereka telah berubah seiring waktu. Setiap kata yang diucapkan Arka seolah menembus hati Lina, meskipun tak ada yang terlalu dalam. Namun ada kedekatan yang terasa begitu nyata, lebih dari sekadar pertemuan biasa.

Obrolan mereka terhenti sesaat ketika Rani berbicara, “Ayo, Lina, kenapa kamu tidak lebih sering datang? Kita semua sudah lama menunggu kabarmu.”

Lina terdiam sejenak, merasa sedikit terpojok oleh pertanyaan itu. Ia memang sudah lama menghindar dari pertemuan seperti ini. Kenapa? Karena ia tak ingin membuka kenangan yang telah lama terkubur dalam dirinya. Kenangan tentang Arka. Kenangan tentang cinta yang tak pernah benar-benar terwujud.

“Ah, aku sibuk dengan pekerjaan dan segala hal lainnya,” jawab Lina, mencoba mengalihkan perhatian. Tetapi di dalam hatinya, ia merasa seakan ada bagian dari dirinya yang rindu. Rindu yang selama ini ia coba tahan dan sembunyikan jauh-jauh. Kini, perasaan itu kembali muncul, lebih kuat daripada sebelumnya.

Malam itu berlanjut dengan lebih banyak obrolan dan tawa. Namun, Lina tak bisa mengalihkan perhatiannya dari Arka. Setiap kali ia berbicara, setiap kali ia tertawa, Lina merasakan sesuatu yang membangkitkan perasaan lama yang selama ini ia pendam. Arka, dengan segala kebaikan dan senyumannya, seolah membawa kembali memori yang selama ini hilang.

Namun, meskipun mereka semakin dekat, Lina merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia tidak tahu apakah perasaan ini hanya sebentar, atau apakah ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan lama. Tetapi satu hal yang pasti: Arka kembali hadir dalam hidupnya, dan entah mengapa, ia merasa sangat sulit untuk mengabaikan perasaan ini

Pada akhirnya, setelah beberapa jam berbincang dan menikmati kebersamaan, malam itu mulai berakhir. Hujan sudah berhenti, dan udara malam terasa lebih segar. Lina dan Arka berjalan keluar bersama, menuju tempat parkir yang tidak terlalu jauh. Tidak ada kata-kata besar yang diucapkan, hanya percakapan ringan yang mengalir begitu alami di antara mereka.

Namun, meskipun tidak ada pengakuan langsung, Lina tahu sesuatu telah berubah. Ada perasaan yang mulai tumbuh lagi—perasaan yang selama ini ia coba hindari. Ia tahu ini bukan pertemuan biasa, dan ia merasa tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Arka berhenti sejenak, menatap Lina dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. “Lina, aku senang kita bisa bertemu lagi setelah sekian lama. Aku harap kita bisa lebih sering berbicara,” kata Arka dengan lembut.

Lina hanya bisa tersenyum dan mengangguk. “Aku juga senang bisa bertemu lagi. Kita lihat saja nanti.”

Namun, dalam hati Lina, perasaan itu mulai menghantui. Rindu yang tak bisa terucapkan, cinta yang tak pernah benar-benar ada. Mungkin, malam itu adalah awal dari sesuatu yang besar, atau mungkin, hanya kenangan lama yang datang kembali. Tetapi satu hal yang pasti: Pertemuan ini akan selalu dikenang sebagai pertemuan yang tak terlupakan.*

Bab 2: Jarak yang Menguji

Setelah pertemuan tersebut, Arka harus pergi ke luar kota untuk pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Sementara itu, Lina tetap di kotanya, sibuk dengan kehidupannya sendiri. Namun, perasaan rindu mulai muncul setelah mereka beberapa kali berkomunikasi melalui pesan teks dan telepon.

Rindu yang datang begitu mendalam namun tak terucapkan, membuat mereka merindukan satu sama lain meskipun mereka tidak pernah mengungkapkan cinta mereka secara langsung. Ketika jarak memisahkan mereka, mereka mulai merasa bahwa perasaan mereka jauh lebih kuat dari yang mereka kira.

Arka juga merasakan hal yang sama, tetapi ia terhalang oleh banyak hal—keraguan, masa lalu, dan ketakutan akan sebuah hubungan yang terlalu berat untuk dijalani. Meskipun mereka saling merindukan, keduanya memilih untuk menjaga jarak, takut jika terlalu terbuka akan merusak segalanya. Rindu yang mereka rasakan semakin mengguncang, namun tidak ada yang berani mengungkapkan secara langsung.

Lina terbangun pagi itu dengan perasaan yang berbeda dari biasanya. Ia membuka mata dan menatap siluet cahaya pagi yang merayap di balik gorden. Hujan yang semalam turun deras kini telah reda, dan dunia tampak tenang. Namun, di dalam hatinya, ketenangan itu terasa rapuh. Ada rasa yang mengganjal di dalam dirinya—perasaan yang semakin sulit diabaikan setelah pertemuan semalam dengan Arka.

Sudah hampir dua minggu sejak reuni itu. Setelah malam itu, komunikasi antara mereka mulai berjalan lancar. Mereka mulai saling menghubungi lewat pesan teks dan sesekali melakukan panggilan telepon. Meski jarak di antara mereka cukup jauh—Lina yang tinggal di kota besar dan Arka yang kini menetap di luar kota—perasaan itu tidak bisa dipungkiri. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, meskipun tidak ada pengakuan yang jelas mengenai perasaan tersebut.

Namun, meskipun komunikasi itu terasa hangat, Lina merasa cemas. Rindu yang perlahan tumbuh di dalam hatinya mulai menyentuh bagian terdalam yang selama ini ia coba sembunyikan. Arka bukanlah orang yang bisa ia jumpai setiap hari. Jarak di antara mereka bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Seiring berjalannya waktu, Lina mulai merasa bahwa cinta yang tumbuh di antara mereka akan diuji dengan jarak yang tak bisa dielakkan. Ia takut bahwa perasaan yang baru saja tumbuh ini tidak akan bertahan, hanya menjadi kenangan indah yang terlupakan begitu saja.

“Kenapa aku harus merasa seperti ini?” gumamnya pada dirinya sendiri, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan terakhir dari Arka.

Arka: Aku rindu ngobrol sama kamu, Lina. Semoga bisa ketemu lagi secepatnya.

Lina menghela napas panjang. Dia tahu Arka merasakan hal yang sama. Namun, apakah mereka bisa bertahan dengan perasaan yang tumbuh begitu cepat ini? Apakah jarak akan menjadi tembok yang memisahkan mereka, ataukah justru akan membuat mereka lebih dekat? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya.

Pagi itu, Lina memutuskan untuk keluar berjalan-jalan. Mungkin udara segar dan suara alam bisa sedikit menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Ia mengenakan jaket tebal, sepatu sneakers, dan bergegas keluar menuju taman kota. Di sana, banyak orang yang sedang berolahraga, sementara beberapa lainnya hanya menikmati pagi yang cerah. Lina duduk di bangku taman, membuka ponselnya, dan mulai membaca pesan-pesan lama dari Arka. Setiap kata yang ditulisnya membuat hati Lina bergetar. Terkadang, sebuah pesan singkat bisa membawa perasaan yang lebih dalam daripada pertemuan tatap muka.

Sambil menatap ponselnya, Lina merasa seolah-olah Arka ada di sana bersamanya, meskipun kenyataannya mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh. Sudah beberapa kali Arka mengungkapkan rasa rindunya padanya. Namun, meskipun begitu, Lina tidak bisa menghindari keraguan yang semakin besar. Jarak yang memisahkan mereka bukanlah sekadar masalah teknis—ada juga jarak emosional yang semakin sulit dijembatani.

Lina teringat akan percakapan mereka beberapa hari lalu. Waktu itu, Arka mengatakan bahwa dia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Lina. Perasaan yang tumbuh begitu cepat di antara mereka membuatnya bingung, tetapi juga bahagia. “Aku tidak tahu kenapa, Lina. Tapi setiap kali aku bicara sama kamu, rasanya seperti kita sudah kenal lama. Aku merasa nyaman,” kata Arka saat itu. Lina ingat betul bagaimana suara Arka terdengar jujur dan tulus, seolah ada sebuah pengakuan yang tersembunyi dalam setiap kata-katanya.

Namun, Lina tidak bisa menutupi ketakutannya. “Jarak ini… apakah kita bisa bertahan dengan hanya komunikasi jarak jauh? Apa yang akan terjadi jika kita bertemu lagi? Apakah semuanya akan berubah?” pikirnya dalam hati.

Arka tidak tahu betapa besar keraguan yang Lina rasakan. Lina tidak ingin mengakui ketakutannya kepada Arka karena dia tidak ingin terlihat rapuh atau tidak siap. Meskipun demikian, ada ketegangan yang semakin membesar di dalam dirinya. Dia tahu bahwa meskipun mereka saling merindukan, jarak tetap akan menguji segalanya. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hubungan mereka tidak bisa seperti hubungan biasa yang berlangsung dalam jarak dekat.

Di sisi lain, Arka juga merasakan hal yang sama. Meskipun ia tidak pernah secara langsung mengungkapkan kekhawatirannya, ia merasakan bahwa sesuatu yang indah bisa saja terhalang oleh jarak. Setiap kali mereka berbicara melalui telepon atau pesan, ada rasa kesepian yang mengintai. Ia merindukan kehadiran Lina yang nyata, yang bisa dilihatnya langsung, yang bisa ditemui tanpa ada hambatan. Namun, saat ini, itu semua hanya bisa mereka rasakan dalam dunia maya, dalam ruang yang terbatas.

Arka menyadari bahwa ia harus lebih berjuang jika ingin hubungan ini berlanjut. Jarak bukanlah halangan bagi orang yang saling mencintai, tetapi jika salah satu dari mereka tidak cukup kuat, hubungan itu akan hancur dengan sendirinya. “Aku harus lebih sabar. Aku tidak boleh membuat Lina merasa tertekan dengan perasaan ini,” pikir Arka saat dia teringat pada Lina.

Mereka berdua merasakan perasaan yang sama, tetapi keduanya tidak mengungkapkan segala keraguan itu kepada satu sama lain. Mereka memilih untuk saling mendukung, berusaha membangun ikatan yang lebih kuat meskipun terpisah oleh jarak yang luas. Mereka berkomunikasi setiap hari, berbagi cerita tentang hidup masing-masing, dan saling menguatkan satu sama lain. Namun, di balik semua itu, Lina dan Arka sama-sama tahu bahwa hubungan ini akan semakin sulit jika mereka tidak bisa bertemu dalam waktu dekat.

Sampai pada satu titik, Lina merasakan ketegangan yang semakin besar dalam dirinya. Ia merasa rindu yang semakin dalam, tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang membuatnya enggan untuk lebih jauh lagi membuka hati. Ia tidak ingin berharap terlalu banyak jika akhirnya perasaan itu hanya akan menyakitkan. Hati Lina seperti terbelah antara keinginan untuk melanjutkan hubungan ini dan ketakutan akan kenyataan yang tak bisa dihindari—jarak yang tak akan pernah bisa dihilangkan begitu saja.

Suatu malam, setelah berbicara panjang lebar dengan Arka, Lina memutuskan untuk berbicara jujur. Ia tidak bisa lagi memendam perasaan ini sendirian. Ia tahu bahwa mereka perlu membicarakan apa yang sedang mereka rasakan, agar tidak ada yang tersisa dalam benak mereka yang bisa merusak hubungan yang sudah mulai berkembang ini.

“Arka,” mulai Lina, suaranya sedikit bergetar. “Aku ingin jujur sama kamu. Aku merasa ada sesuatu yang besar yang tumbuh di antara kita, tapi aku juga merasa takut. Takut karena jarak yang memisahkan kita, takut kalau hubungan ini hanya akan jadi kenangan indah yang terlupakan. Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan semua ini.”

Arka terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang Lina katakan. Di sisi lain, dia juga merasakan hal yang sama, tetapi tidak pernah mengungkapkannya secara langsung. “Lina, aku juga merasakannya. Aku juga takut kalau kita tidak bisa bertahan. Tapi aku ingin kita berjuang. Aku ingin kita tetap berusaha, meskipun ada jarak. Mungkin kita tidak bisa selalu bertemu, tapi aku yakin kalau kita tetap berkomunikasi dan saling mendukung, kita bisa melewati ini.”

Lina menatap layar ponselnya, merasa sedikit lega setelah mengungkapkan perasaannya. Namun, meskipun kata-kata Arka menguatkan, ada satu pertanyaan yang masih menggelayuti pikirannya. Bisakah cinta ini bertahan? Apakah mereka mampu menjaga perasaan ini meskipun jarak terus menguji mereka?

Setelah berbicara panjang lebar dengan Arka malam itu, Lina merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa percakapan itu adalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Namun, meskipun kata-kata Arka menguatkan, hatinya masih penuh dengan pertanyaan. Bagaimana bisa mereka bertahan dalam sebuah hubungan yang terhalang oleh jarak yang begitu besar? Setiap kali mereka berbicara, ia merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai—perasaan yang belum benar-benar dijelaskan, meskipun keduanya tahu bahwa mereka merasakannya.

Lina menatap ponselnya yang masih menyala, teringat kata-kata Arka yang terus terngiang di kepalanya. “Aku ingin kita berjuang. Aku yakin kita bisa melewati ini.” Kata-kata itu memberikan sedikit penghiburan, tetapi juga mengingatkan pada kenyataan bahwa usaha mereka belum tentu berhasil. Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan akan berjalan, apalagi dalam hubungan jarak jauh seperti ini.

Pagi itu, Lina memutuskan untuk pergi ke kafe favoritnya. Tempat yang sering ia kunjungi saat merasa cemas atau butuh merenung. Dulu, tempat ini selalu mengingatkan pada hari-hari penuh kenangan, sebelum hidupnya terpisah dari Arka. Kafe ini seperti ruang aman, tempat di mana ia bisa menenangkan pikirannya. Ia duduk di meja dekat jendela, dengan secangkir cappuccino yang hangat di depannya. Udara pagi yang segar mengalir pelan melalui ventilasi, menambah ketenangan di sekitarnya.

Saat itulah ia menerima pesan dari Arka.

Arka: “Pagi, Lina! Gimana hari ini? Aku masih mikirin percakapan kemarin malam, dan aku cuma mau bilang, terima kasih sudah jujur sama aku. Aku merasa lebih tenang setelah itu.”

Lina tersenyum kecil membaca pesan itu. Arka memang selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik. Mereka belum sepenuhnya mengatasi masalah yang ada, tetapi ada kelegaan setelah saling terbuka. Meskipun begitu, Lina tetap merasa ragu. Cinta itu tidak selalu mudah. Bahkan lebih sulit ketika terhalang oleh jarak, waktu, dan kenyataan hidup yang keras.

Sekitar satu jam kemudian, teleponnya berbunyi. Itu adalah Arka. Dengan ragu, Lina mengangkatnya.

“Hei, apa kabar?” suara Arka terdengar ceria, seolah-olah tidak ada yang mengganggu pikirannya. Namun Lina tahu, di balik kehangatan suaranya, ada ketegangan yang sama. Mereka berdua berusaha saling menjaga suasana hati, namun ketakutan akan apa yang akan terjadi di masa depan selalu mengintai.

“Aku baik-baik saja,” jawab Lina dengan suara yang sedikit ragu. “Tapi aku masih memikirkan semuanya, Arka. Aku masih merasa takut. Takut bahwa kita tidak akan bertahan.”

Arka terdiam sejenak, seolah-olah menimbang kata-kata Lina. “Aku tahu perasaanmu, Lina. Aku juga merasakannya. Tapi aku percaya, kita bisa melewati semuanya. Aku percaya dengan apa yang kita punya sekarang.”

Lina menghela napas panjang. “Tapi jarak ini… semakin lama semakin terasa berat, Arka. Aku mulai merindukanmu, lebih dari yang pernah aku rasakan. Setiap hari, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Ada kekosongan yang tidak bisa aku isi dengan apapun.”

Arka kembali terdiam. Lina bisa membayangkan ekspresi wajahnya saat itu. Pasti ada keraguan yang sama di matanya, meskipun ia berusaha keras untuk tetap positif.

“Aku paham. Jarak ini memang menguji kita. Tapi bukan berarti kita tidak bisa bertahan. Kalau aku masih bisa merasakan semuanya seperti ini, artinya aku tidak ingin menyerah. Aku masih ingin kita terus bersama,” jawab Arka, suara penuh keyakinan meski dalam hati ia sendiri merasa bimbang.

Lina mengangguk pelan, meskipun Arka tidak bisa melihatnya. “Aku juga, Arka. Aku juga ingin kita terus bersama. Tapi aku takut, kalau suatu saat nanti aku tidak bisa menahan perasaan ini. Rindu yang terus tumbuh, tapi tidak bisa aku ungkapkan.”

“Tapi itu bukan alasan untuk menyerah, kan?” Arka mencoba memberikan semangat. “Kita bisa tetap berkomunikasi, kita bisa saling mendukung. Mungkin memang sulit, tapi kita harus percaya. Kita harus sabar.”

Lina menutup matanya sebentar, membiarkan kata-kata Arka meresap ke dalam hatinya. Memang benar, tidak ada jaminan hubungan ini akan berhasil, tetapi jika mereka terus berusaha, bukankah itu sudah cukup? Jika cinta itu benar-benar ada, maka jarak seharusnya tidak bisa memisahkan mereka.

Namun, keraguan itu tetap ada. Apakah rasa rindu yang menggebu ini akan tetap bertahan? Apakah mereka akan terus saling mencintai meskipun tidak ada kehadiran fisik satu sama lain?

“Arka, aku ingin kita tetap berusaha. Tapi kita juga harus realistis, kan?” Lina berkata pelan, suaranya penuh ketegangan. “Aku takut kita akan lelah, dan akhirnya salah satu dari kita akan menyerah. Aku tidak ingin itu terjadi.”

“Sama sekali tidak ada yang mudah dalam hubungan, Lina,” Arka menjawab dengan penuh pengertian. “Tapi aku ingin kita mencoba. Aku ingin kita berjuang bersama. Kalau kita menyerah sekarang, maka kita tidak akan tahu apa yang bisa terjadi. Jadi, bagaimana kalau kita fokus pada saat ini dulu saja? Fokus pada apa yang kita bisa lakukan, daripada khawatir tentang masa depan.”

Lina terdiam. Terkadang, kata-kata Arka begitu menenangkan. Meskipun dia tidak punya jawaban pasti tentang apa yang akan terjadi, dia tetap berusaha meyakinkan Lina untuk tidak menyerah terlalu cepat. Dan mungkin, itu yang dibutuhkan oleh hubungan mereka saat ini—kepercayaan bahwa mereka bisa melalui segala rintangan jika mereka berdua tetap berjuang bersama.

“Baiklah,” jawab Lina akhirnya, suaranya terdengar lebih ringan. “Aku akan coba lebih fokus pada saat ini. Mungkin kita memang tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi, tapi kita bisa memilih untuk tidak menyerah.”

“Betul,” kata Arka. “Kita harus percaya bahwa kita bisa melalui ini, Lina.”

Percakapan itu berakhir dengan kesepakatan untuk tetap berusaha. Meski perasaan mereka masih dihantui oleh ketakutan akan jarak yang semakin memisahkan, mereka tahu bahwa mereka berdua ingin menjaga hubungan ini. Mungkin tidak ada jaminan bahwa hubungan ini akan langgeng, tetapi setidaknya mereka tahu bahwa mereka telah mencoba dengan sepenuh hati.

Seiring berjalannya waktu, Lina semakin merasa bahwa ia harus belajar menerima kenyataan bahwa hubungan ini memang tidak mudah. Setiap kali perasaan rindu datang, ia mencoba untuk menahannya, untuk tidak terlalu bergantung pada Arka dalam hal fisik. Mereka harus lebih banyak mengandalkan percakapan dan perhatian dari jauh.

Hari demi hari berlalu, dan meskipun jarak semakin terasa, Lina mulai melihat bahwa ujian cinta ini justru memperkuat ikatan mereka. Rasa rindu yang mereka rasakan bukan lagi beban, tetapi menjadi bukti nyata bahwa cinta mereka tidak mengenal batas. Meski setiap hari mereka tidak bisa bertemu, Lina merasa bahwa hatinya selalu terhubung dengan Arka, bahkan ketika mereka terpisah oleh ribuan kilometer.

Lina tahu, untuk bisa bersama Arka, mereka harus melalui perjalanan panjang ini dengan sabar. Dan meskipun jarak itu menguji mereka, ia percaya bahwa selama mereka tetap saling mendukung dan percaya, maka rindu yang menguji mereka hanya akan membuat cinta mereka semakin kuat.*

Bab 3: Rindu yang Tertahan

Hari-hari berlalu dan jarak semakin memperparah perasaan rindu di hati Lina. Setiap kali mendengar suara Arka, hatinya berdebar, namun ia merasa cemas jika perasaan itu hanya bersifat sementara.

Setiap hari yang berlalu, Lina merasa semakin tenggelam dalam perasaan yang begitu kuat namun sulit untuk diungkapkan. Rindu itu tidak pernah benar-benar hilang; malah semakin hari semakin membebani hati dan pikirannya. Setiap kali ia membuka ponselnya dan melihat pesan-pesan lama dari Arka, ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak bisa ia raih hanya dengan kata-kata di layar.

Rindu itu tertahan di dalam dada, seperti sebuah beban yang semakin berat. Meski Arka selalu ada dalam pikirannya, Lina tahu betul bahwa jarak telah menghalangi mereka untuk bertemu. Hanya percakapan melalui pesan singkat dan telepon yang menjadi penghubung antara keduanya. Namun, meskipun sering berbicara, rindu itu terasa seperti sebuah luka yang perlahan menganga di dalam hatinya, yang hanya bisa ia sembunyikan.

Lina berjalan pelan di sepanjang trotoar kota, di pagi yang sejuk. Udara segar pagi itu mengusir sedikit kekusutan di kepalanya, tetapi tidak bisa mengusir perasaan yang berat di dadanya. Dia sudah berusaha untuk terbiasa dengan perasaan rindu yang tidak pernah bisa terjawab ini, namun setiap kali ia mendengar suara Arka di ujung telepon, atau membaca pesan-pesannya yang penuh perhatian, hatinya kembali merasa kosong tanpa kehadiran fisik Arka di sampingnya.

Hari itu, Lina memutuskan untuk menghabiskan waktu di kafe kecil di dekat taman. Tempat ini selalu memberinya kenyamanan, tempat di mana ia bisa duduk sejenak, melepaskan diri dari hiruk-pikuk kehidupan dan merenung tentang perasaannya. Kafe ini tidak hanya menawarkan aroma kopi yang menenangkan, tetapi juga memberikan ruang bagi Lina untuk berpikir jernih tentang hubungan yang sedang dijalaninya. Di sinilah ia pertama kali merasakan perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan dengan Arka. Dan di sinilah ia sering merasa bahwa hubungan mereka harus diuji oleh waktu, jarak, dan keadaan.

Setelah memesan secangkir kopi panas, Lina memilih meja yang berada di dekat jendela besar. Dari sini, ia bisa melihat pemandangan taman yang sepi di pagi hari. Suara burung yang berkicau dan angin yang berbisik membuatnya merasa sedikit tenang. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia merasa terjepit antara cinta yang mendalam pada Arka dan kenyataan bahwa mereka terpisah oleh jarak yang sangat jauh.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, menarik perhatiannya. Itu adalah pesan dari Arka.

Arka: “Selamat pagi, Lina. Aku masih ingat betul pagi-pagi seperti ini ketika kita pertama kali berbicara panjang lebar di kafe yang sama. Rasanya seperti sudah lama sekali, ya?”

Lina tersenyum kecil, menatap pesan itu dengan hati yang sedikit lebih tenang. Arka selalu tahu cara mengingatkan dia pada kenangan indah, kenangan yang membawa mereka bersama meskipun jarak dan waktu telah memisahkan.

Lina: “Iya, aku juga ingat. Itu adalah hari yang indah, Arka. Tapi rasanya sekarang aku lebih merindukanmu. Aku rindu bisa duduk di sini bersamamu, ngobrol tentang apapun, tanpa khawatir tentang waktu.”

Lina menekan tombol kirim, lalu meletakkan ponselnya di meja, menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Pikirannya kembali melayang ke kenangan-kenangan indah itu, kenangan saat mereka masih duduk berdua di kafe ini, berbicara dengan santai tentang segala hal, tanpa ada yang menghalangi. Perasaan itu masih sangat kuat, seolah-olah pertemuan mereka yang terakhir baru saja terjadi.

Namun kenyataan berkata lain. Jarak yang memisahkan mereka kini bukan hanya soal ruang, tetapi juga waktu yang terasa begitu panjang. Meskipun Lina dan Arka selalu berusaha untuk tetap menjaga komunikasi, ada rasa sepi yang semakin menghantui Lina setiap hari. Setiap kali ia mendengar suara Arka, ia merasa nyaman sejenak, tetapi begitu panggilan berakhir, ada kekosongan yang mengendap kembali. Rindu itu datang begitu mendalam, menghantui setiap sudut hatinya, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk melepaskannya.

Arka: “Aku juga merindukanmu, Lina. Setiap malam aku teringat tentang pertemuan kita yang lalu. Rasanya aneh, ya, kita baru bertemu beberapa minggu yang lalu, tapi seolah sudah bertahun-tahun.”

Lina tersenyum lagi membaca pesan itu. Mungkin Arka merasakan hal yang sama. Mungkin ia juga rindu, dan bahkan merasakan ketegangan yang sama dengan Lina. Tapi bagaimana mereka bisa mengatasi perasaan itu jika mereka tidak bisa bertemu secara langsung?

Lina membalas pesan itu dengan lambat, menuliskan kata-kata yang rasanya sangat sulit untuk diungkapkan.

Lina: “Aku rindu kamu, Arka. Tapi aku juga takut. Takut kalau jarak ini semakin besar, dan aku mulai merasa kita semakin jauh meskipun kita terus berkomunikasi.”

Tak lama setelah itu, Arka langsung membalas.

Arka: “Lina, aku mengerti perasaanmu. Aku tahu kita tidak bisa bertemu sekarang, dan itu membuatku frustrasi juga. Tapi kita harus percaya bahwa semua ini adalah ujian. Dan kita harus melewatinya.”

Lina meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap keluar jendela. Perasaan rindu yang tertahan semakin terasa menyesakkan. Setiap kata yang ditulis Arka seperti mengingatkannya bahwa mereka memang sedang menghadapi sebuah ujian yang besar. Tapi bagaimana jika ujian itu terlalu berat? Bagaimana jika mereka tidak mampu melewatinya?

Lina menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. Ia tahu ia harus tetap kuat. Ia tahu bahwa Arka pun merasakan hal yang sama, tetapi mereka berdua terjebak dalam keadaan yang tidak bisa mereka kontrol. Mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar jarak ini tidak memisahkan mereka untuk selamanya.

Setelah beberapa lama, ponselnya bergetar lagi.

Arka: “Lina, aku janji akan ada waktunya kita bertemu lagi. Aku tahu itu tidak mudah, tapi aku ingin kita percaya pada perasaan ini. Aku ingin kita berjuang bersama.”

Lina tersenyum lagi membaca pesan itu. Meskipun kata-kata Arka sangat menenangkan, masih ada keraguan yang menggelayuti hatinya. Akankah mereka bisa bertahan? Ataukah hubungan ini akan berakhir begitu saja seperti hubungan lainnya yang terhalang oleh jarak?

Tiba-tiba, Lina teringat percakapan mereka beberapa hari lalu, di mana Arka mengatakan bahwa ia merasa sudah lama mengenalnya. Dan dia merasa sangat nyaman ketika berbicara dengan Lina, seperti tidak ada jarak di antara mereka. Rasa itu bukan hanya sekadar kebiasaan, tetapi lebih dari itu—perasaan yang tulus dan mendalam.

Lina menghela napas panjang. Ia ingin percaya bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan sementara. Tetapi rindu yang semakin menggelora dan ketidakpastian yang terus menghantui membuatnya takut. Takut kalau suatu hari perasaan itu akan memudar, atau lebih buruk lagi, jika mereka berdua tidak bisa lagi saling merasakan hal yang sama.

Lina: “Aku ingin percaya, Arka. Aku ingin kita tetap berjuang. Aku hanya butuh waktu untuk meyakinkan diriku sendiri.”

Lina menatap pesan yang baru saja ia kirim, lalu meletakkan ponselnya di meja. Ia menutup matanya, mencoba meredakan perasaan yang terus menghantui hatinya. Rindu yang tertahan ini seolah tak ada habisnya, dan setiap kali ia mencoba melepaskannya, rasa itu kembali datang dengan lebih kuat.

Namun, meskipun begitu, Lina tahu satu hal—ia tidak ingin menyerah pada perasaan ini. Ia ingin berjuang untuk cinta yang tumbuh di antara mereka. Meskipun jarak memisahkan, ia percaya bahwa cinta yang tulus tidak akan pernah terhalang oleh apapun. Jika mereka memang ditakdirkan untuk bersama, maka suatu hari nanti, mereka akan kembali dipertemukan.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya, seolah-olah waktu itu sengaja melambatkan dirinya hanya untuk menyiksa Lina dengan rindu yang terus membuncah. Setiap kali ia membuka mata di pagi hari, yang pertama kali ia lakukan adalah memikirkan Arka. Rindu itu kembali menyergap, menyelimuti setiap bagian dirinya yang terasa kosong.

Setiap percakapan dengan Arka memberi Lina secercah kehangatan, tetapi begitu percakapan itu berakhir, ada kekosongan yang tetap tinggal. Tidak ada lagi suara Arka yang menenangkan, tidak ada lagi tawa atau candaan yang sering mengisi hari-harinya. Hanya sunyi yang mengisi ruang kosong di dalam hatinya.

Lina berusaha untuk menjalani kehidupan sehari-hari sebaik mungkin. Ia bekerja, berkumpul dengan teman-teman, dan mencoba untuk tetap sibuk. Namun, meskipun ada banyak kegiatan yang ia lakukan, pikirannya selalu kembali pada Arka. Bahkan saat ia sedang berbicara dengan orang lain, wajah Arka seolah muncul dalam bayangannya, menyelinap tanpa izin ke dalam hatinya.

Di tengah perasaan itu, Lina merasa terjebak. Ia ingin mengungkapkan segala sesuatu yang ada di dalam hatinya, tetapi ada rasa takut yang menghalangi. Takut bahwa perasaan ini akan menjadi beban bagi Arka, takut bahwa rindu ini akan merusak segala yang telah mereka bangun. Lina tahu betul bahwa mereka tidak bisa terus-menerus bergantung pada komunikasi jarak jauh, tetapi kenyataan itu tidak bisa dihindari. Jarak adalah tantangan terbesar mereka, dan Lina merasa semakin kesulitan untuk menahan semua perasaan ini sendirian.

Suatu pagi, ketika Lina membuka ponselnya, ada pesan dari Arka. Pesan itu datang lebih pagi dari biasanya, seolah-olah Arka ingin segera menghubunginya untuk mengatasi kerinduannya.

Arka: “Lina, aku baru saja terbangun dan langsung memikirkan kamu. Rasanya aku gak tahan lagi dengan jarak ini. Setiap kali aku melihat tempat-tempat yang kita pernah kunjungi bareng, aku merasa kosong.”

Lina membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Rasa rindu yang tertahan kini terasa semakin mendalam. Bagaimana mungkin mereka bisa terus bertahan seperti ini? Setiap kata dari Arka seolah menyentuh bagian terdalam dari hatinya, membuka kenangan indah mereka yang terpendam.

Lina: “Aku juga merasakannya, Arka. Aku rindu bisa mendengarkan suara kamu setiap hari, melihat senyum kamu, dan merasakan kehadiran kamu di dekat aku.”

Lina duduk sejenak, merenung, meresapi kata-kata yang baru saja ia kirim. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran Arka. Meskipun mereka saling berbicara setiap hari, tetap saja ada kekosongan yang terasa. Jarak yang memisahkan mereka tidak bisa dihilangkan dengan pesan singkat atau panggilan telepon. Semua itu hanya membuat mereka semakin sadar bahwa, meskipun mereka berusaha sekuat tenaga, mereka tetap terpisah oleh sesuatu yang besar.

Arka: “Aku juga rindu, Lina. Aku gak tahu sampai kapan kita bisa bertahan dengan keadaan seperti ini. Tapi yang pasti, aku gak mau kita berakhir hanya karena jarak.”

Mendengar kalimat itu, Lina merasa ada kehangatan yang mengalir ke dalam hatinya. Arka memang selalu tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Namun, semakin ia memikirkan kata-kata itu, semakin ia merasa cemas. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dan ia takut, jika mereka terus bertahan dengan cara ini, mereka akan lelah. Leha dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Lina mengusap wajahnya dengan tangan. Ia ingin sekali berteriak, tetapi apa yang bisa ia lakukan? Jika mereka bertemu, apakah itu akan mengubah apapun? Ataukah mereka akan semakin terjebak dalam perasaan yang tidak bisa mereka jangkau?

Meskipun begitu, ada satu hal yang pasti. Lina tidak bisa mengingkari perasaannya kepada Arka. Cinta itu telah tumbuh begitu dalam dan mengakar kuat di dalam dirinya. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka berbagi cerita, Lina merasakan koneksi yang begitu kuat. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan itu.

Namun, di sisi lain, Lina merasa seolah-olah ia terjebak dalam kebingungannya sendiri. Jarak ini, meskipun memberikan kesempatan untuk mereka untuk berkembang secara pribadi, juga menjadi penghalang besar dalam hubungan mereka. Rindu itu semakin mendalam, dan perasaan itu semakin sulit untuk dipendam.

Lina tahu bahwa Arka juga merasakannya. Mereka berdua merasakan hal yang sama, tetapi apa yang bisa mereka lakukan? Apa yang bisa mereka ubah dari keadaan ini?

Hari demi hari berlalu dengan keheningan yang datang setelah setiap percakapan mereka. Meskipun komunikasi masih terjalin dengan baik, setiap kata terasa seperti pelarian dari kenyataan. Setiap kali Arka menyebutkan kata “suatu hari nanti,” Lina merasa itu seperti sebuah harapan yang tak kunjung datang. Ia ingin percaya, ia ingin yakin bahwa suatu hari nanti mereka akan bertemu lagi, tetapi perasaan itu semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Lina berjalan sendirian di sebuah taman dekat rumahnya. Di tangannya, ada secarik kertas yang ia tulis dengan tangan. Kertas itu berisi pesan untuk Arka, sebuah ungkapan hati yang selama ini tertahan.

Lina (menulis):
“Arka, aku rindu kamu lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Aku ingin bisa berada di sana bersamamu, merasakan kehadiranmu, mendengarkan suaramu setiap hari. Tapi aku tahu kita tidak bisa begitu saja bertemu tanpa alasan yang jelas. Jarak ini memisahkan kita, dan meskipun aku ingin berlari ke pelukanmu, aku tahu bahwa kita harus sabar. Aku hanya berharap kita bisa bertahan melalui semuanya. Aku takut, Arka. Takut kehilanganmu, takut rindu ini akan mengubah segalanya. Tapi aku ingin percaya, aku ingin kita terus berjuang.”

Lina menghela napas dalam-dalam setelah menulis kalimat terakhir itu. Tertulis jelas bahwa perasaan rindu dan kekhawatiran itu tidak bisa lagi ia pendam sendirian. Ia merasa terbebani oleh perasaan yang tak terucapkan. Bahkan dalam dunia digital yang memungkinkan komunikasi tanpa batas, ia merasa lebih terasing. Bagaimana bisa ia menahan semua perasaan ini tanpa bisa melihat Arka di depan mata?

Saat ia menatap kembali ponselnya, pesan Arka kembali masuk.

Arka: “Aku paham, Lina. Aku juga merasakan hal yang sama. Tapi, satu hal yang harus kita ingat, jarak ini hanya sementara. Suatu hari nanti, kita akan bertemu, dan kita akan merasakan semuanya dengan cara yang berbeda. Jadi, jangan pernah ragu untuk terus berjuang. Karena aku tidak akan menyerah pada kita.”

Lina menatap pesan itu dengan mata yang mulai berair. Kata-kata Arka seolah menjadi pelipur lara, meskipun ia tahu bahwa masih banyak ujian yang harus mereka hadapi. Namun, setidaknya saat ini, perasaan itu tidak lagi hanya milik satu orang. Mereka berdua merasakannya.

Lina (membalas): “Aku akan berjuang, Arka. Aku ingin kita tetap bersama. Aku percaya pada kita.”

Dengan satu balasan itu, Lina merasa sedikit lebih tenang. Meski rindu itu tetap tertahan, setidaknya ia tidak lagi merasa sendirian. Mereka berdua berjuang bersama, meskipun hanya dengan kata-kata dan kenangan.*

Bab 4: Pertemuan yang Mengubah Semuanya

Suatu hari, setelah berbulan-bulan berpisah, Lina dan Arka akhirnya bertemu kembali di sebuah acara reuni teman-teman lama. Pertemuan ini mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Mereka tidak bisa lagi menahan rindu yang telah lama disimpan dalam hati masing-masing.

Ketika mereka bertemu, rasa canggung berubah menjadi perasaan hangat yang mengalir begitu saja. Arka akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini ada dalam hatinya, bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Rindu yang selama ini menghantui akhirnya bisa terungkap dan mereka mulai saling memahami.

Hari itu terasa seperti hari biasa. Cuaca di luar cerah, dan udara sejuk menyentuh wajah Lina dengan lembut. Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang menggelitik jiwanya dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Hatinya berdebar-debar seiring langkahnya yang mantap menuju stasiun kereta. Tadi pagi, saat membuka pesan dari Arka, ada kata-kata yang membuatnya merasa seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Arka mengatakan bahwa dia sudah berada di kota yang sama, dan bahwa mereka akhirnya akan bertemu setelah berbulan-bulan hanya bisa berhubungan melalui layar ponsel.

Lina menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Selama berbulan-bulan, mereka hanya bisa berbicara lewat telepon, atau saling bertukar pesan singkat. Namun, perasaan mereka tidak pernah pudar. Justru, semakin hari, perasaan itu semakin kuat, semakin mendalam, meskipun jarak antara mereka tetap tidak menyusut. Sekarang, setelah sekian lama, mereka akhirnya diberi kesempatan untuk bertemu, meskipun hanya untuk beberapa jam saja.

Di dalam hati, Lina merasa cemas, takut kalau pertemuan ini tidak akan seindah yang ia bayangkan. Bagaimana jika kenyataan tidak sesuai harapan? Bagaimana jika perasaan yang mereka rasakan hanya terasa indah dalam kata-kata, tapi tidak bisa terwujud dalam pertemuan nyata?

Namun, di sisi lain, Lina juga merasa sangat berharap. Dia ingin melihat Arka, ingin merasakan kedekatan itu dalam dunia nyata. Tanpa sadar, senyumnya merekah saat membayangkan apa yang akan terjadi saat mereka akhirnya bertemu.

Lina sampai di stasiun dengan waktu yang tersisa beberapa menit sebelum kereta tiba. Ia mencari tempat duduk di dekat area peron, merapikan tasnya, dan menunggu. Hatinya berdebar kencang. Pikirannya terus-menerus membayangkan wajah Arka—senyumannya, tatapan matanya, bahkan aroma tubuhnya yang selalu terasa begitu menenangkan bagi Lina. Semua hal yang hanya bisa ia bayangkan, kini akan menjadi nyata.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, suara pengumuman dari pengeras suara terdengar, memberitahukan bahwa kereta tujuan yang dimaksud telah tiba. Lina bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju peron dengan langkah yang semakin cepat. Hatinya semakin berdegup, semakin tak sabar.

Namun, sesampainya di peron, Lina melihat kereta itu datang dengan penuh harapan. Tapi, ada rasa cemas yang tiba-tiba muncul begitu saja. Pikirannya kembali dihantui oleh pertanyaan: “Apakah dia akan berubah? Apakah dia masih sama seperti dulu?”

Kereta berhenti dengan perlahan, dan pintu-pintu kereta terbuka. Di antara orang-orang yang keluar dari kereta, Lina mencari sosok yang sudah begitu dikenalnya melalui suara dan gambar di layar. Namun, saat matanya menangkap sosok yang ia cari, detik-detik seolah terhenti. Di ujung sana, berdiri seorang pria dengan senyum lebar dan mata yang menyiratkan kebahagiaan. Arka. Sosok yang selama ini hanya ada di dalam pikirannya kini ada di depan matanya, nyata, dan begitu nyata.

Arka mengenakan jaket berwarna abu-abu dengan celana jeans yang simpel, tampak sangat casual namun tetap memancarkan daya tarik yang tak terelakkan. Senyumnya begitu khas, dan bagi Lina, itu adalah senyum yang telah lama ia rindukan. Saat mata mereka bertemu, semua kecemasan, semua keraguan, langsung menguap begitu saja. Arka berjalan mendekat dengan langkah mantap, dan Lina tidak bisa menahan langkah kakinya yang otomatis melangkah ke arahnya.

“Hey, Lina,” kata Arka, suaranya yang familiar terdengar begitu nyata di telinganya. Ada kehangatan dalam suaranya yang langsung menyentuh hati Lina. Tak ada lagi jarak, tak ada lagi layar ponsel yang membatasi mereka. Hanya ada mereka berdua, berdiri di hadapan satu sama lain, penuh dengan perasaan yang tak terucapkan.

Lina tersenyum lebar, meski ada sedikit rasa canggung di hatinya. Ia ingin melangkah lebih cepat, ingin merasakan pelukan Arka yang sudah lama ia rindukan, namun ia ragu. Semua yang ada dalam pikirannya kini terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Apakah ini benar-benar terjadi?

“Arka…” Lina berkata dengan suara bergetar, meskipun ia berusaha keras untuk terdengar tenang.

Arka menatap Lina dengan tatapan lembut, seolah ingin menghilangkan semua keraguan yang ada di hati Lina. Tanpa kata-kata, ia mendekat, dan akhirnya, dalam sekejap, mereka berpelukan. Pelukan itu terasa begitu hangat dan nyaman, seperti kembali pulang setelah lama merantau. Semua kekhawatiran yang sempat mengganggu perasaan Lina hilang begitu saja.

Lina merasa hampir meneteskan air mata. Dia tak pernah membayangkan akan bertemu dengan Arka setelah sekian lama. Cinta yang mereka rasakan selama ini akhirnya terwujud dalam bentuk nyata. Tak ada lagi batasan jarak yang menghalangi mereka. Tidak ada lagi percakapan di telepon atau pesan yang terputus. Kini mereka ada di sini, bersama-sama.

“Saya rindu kamu,” kata Arka dengan lembut, menepuk punggung Lina seolah menenangkan kegelisahannya.

Lina hanya bisa mengangguk, merasakan rindu yang mengalir deras dari hatinya. “Aku juga rindu kamu, Arka. Sangat rindu.”

Mereka berpisah sejenak dari pelukan itu, namun tangan Arka tetap menggenggam lembut tangan Lina. Ada rasa aman yang begitu besar saat tangan mereka bertautan, seolah-olah dunia berhenti berputar, dan hanya ada mereka berdua.

“Saya tidak tahu harus berkata apa,” kata Arka, tersenyum sedikit kikuk. “Tapi saya senang kita akhirnya bertemu.”

Lina tersenyum, senyum yang sudah lama ia simpan. “Aku juga senang, Arka. Ini lebih dari yang aku harapkan.”

Keduanya duduk di sebuah bangku panjang di stasiun, tak ingin membuang waktu untuk berbicara tentang hal-hal lain. Mereka lebih memilih untuk menikmati kebersamaan itu, mendengarkan suara orang-orang di sekitar yang tidak lagi mengganggu kedamaian yang mereka rasakan. Dalam diam, mereka merasa cukup. Cukup untuk merasakan kehadiran masing-masing yang telah lama mereka rindukan.

Arka melirik jam tangannya dan melihat bahwa waktu yang mereka miliki semakin terbatas. “Lina, kita hanya punya sedikit waktu,” katanya, suaranya kembali serius. “Tapi aku ingin kita membuat momen ini berarti.”

Lina menatap Arka, matanya bersinar penuh harap. “Apa yang kamu maksud?”

“Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Aku tahu kita hanya punya sedikit waktu, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Aku ingin merasakan setiap detik ini denganmu.”

Lina mengangguk, dan mereka pun berjalan beriringan keluar dari stasiun, melangkah menuju jalanan kota yang ramai. Meskipun hanya beberapa jam, bagi mereka, itu adalah waktu yang berharga. Mereka berjalan tanpa tujuan, hanya menikmati kehadiran satu sama lain. Setiap langkah terasa lebih ringan, setiap tawa terasa lebih tulus.

Mereka berhenti di sebuah taman kecil, di tengah kota, di mana bunga-bunga berwarna-warni mulai bermekaran. Taman itu terlihat damai, jauh dari keramaian kota. Mereka duduk di bangku taman, menikmati secangkir kopi yang mereka beli di kedai terdekat. Waktu seolah melambat saat mereka berbicara tentang segala hal, tentang masa lalu mereka, tentang rindu yang tertahan, dan tentang harapan-harapan yang kini terasa lebih nyata.

Lina menatap Arka, merasa begitu dekat dengannya. “Arka, aku tidak tahu bagaimana bisa kita sampai ke titik ini. Dulu, aku hanya bisa membayangkan hari seperti ini.”

Arka menatap Lina, matanya lembut. “Kita sampai di sini, Lina, karena kita berjuang untuk tetap saling terhubung. Meskipun jarak memisahkan kita, kita masih bisa berbagi hati. Dan itu yang penting.”

Lina terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ia merasa begitu bersyukur atas kesempatan ini, atas pertemuan yang akhirnya mengubah segalanya. Kini, rindu yang tertahan itu bukan lagi sekadar perasaan yang menyakitkan, tetapi menjadi sebuah kenangan yang manis, yang akan mereka kenang bersama.

Di saat itu, mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Banyak hal yang harus dihadapi bersama, tetapi satu hal yang pasti—mereka tidak akan pernah lagi terpisahkan oleh jarak.

Lina menatap Arka yang masih duduk di sebelahnya, tak mampu mengalihkan pandangannya. Setelah sekian lama hanya berbicara lewat telepon dan bertukar pesan singkat, kini, di hadapannya, ada Arka yang nyata, dengan senyum yang sama, tatapan mata yang penuh arti, dan hangatnya aura yang selalu membuat hati Lina berdebar. Tidak ada lagi batasan jarak, tidak ada lagi rasa rindu yang membuncah tanpa bisa disalurkan. Mereka kini berada dalam satu ruang, berbagi momen bersama.

Selama beberapa menit, keduanya hanya duduk dalam diam, menikmati keheningan yang anehnya terasa begitu nyaman. Sesekali Lina menatap Arka, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini bukanlah mimpi. Rasanya semua yang terjadi begitu cepat, namun sekaligus terasa sangat lama. Waktu yang dulu terasa terhenti ketika mereka hanya bisa saling berbicara lewat layar, kini terasa begitu berharga.

“Aku merasa aneh,” ujar Lina, pecah dengan suara pelan.

“Aneh?” Arka menoleh, mata coklatnya memandang Lina dengan penuh perhatian.

Lina tersenyum tipis, sedikit canggung. “Iya, aneh. Rasanya, semua ini seperti mimpi. Selama berbulan-bulan, aku hanya bisa berbicara lewat ponsel. Dan kini, aku duduk di sini, di dekatmu, dalam dunia yang nyata.”

Arka tertawa pelan. “Kamu selalu bilang seperti itu, Lina. Tapi kenyataannya, ini bukan mimpi, kan?” Ia menyentuh tangan Lina dengan lembut, seolah ingin meyakinkan gadis itu bahwa semuanya adalah kenyataan. “Aku di sini. Kita ada di sini bersama.”

Lina menatap tangan mereka yang saling bertautan, merasakan kehangatan yang begitu nyata. Selama ini, hanya lewat kata-kata dan suara mereka bisa merasa dekat, namun sekarang, sentuhan itu membawa sensasi yang tak pernah dirasakan sebelumnya.

“Aku sangat rindu padamu,” Lina berbisik, hatinya terasa penuh.

Arka mengangguk, matanya berbinar. “Aku juga, Lina. Aku selalu merindukanmu. Tapi… rasanya, hari ini, akhirnya kita bisa membuktikan kalau semua ini bukan hanya ilusi. Kita ada di sini, dan kita akan menjalani ini.”

Kata-kata Arka begitu sederhana, namun begitu kuat. Ada sesuatu dalam cara ia berbicara yang membuat Lina merasa begitu dihargai dan diterima sepenuhnya. Seperti yang selalu ia duga, Arka adalah orang yang dapat membuatnya merasa tenang, meskipun dunia sekeliling penuh dengan ketidakpastian.

Mereka berbicara lebih banyak tentang hal-hal kecil yang selama ini mereka lewatkan. Tentang apa yang mereka lakukan saat tidak bisa saling berhubungan, tentang mimpi dan harapan masing-masing, tentang bagaimana mereka berusaha menjaga komunikasi meskipun jarak memisahkan. Setiap kata yang terucap seolah menegaskan bahwa meskipun mereka hidup dalam dunia yang terpisah, cinta mereka tetap tumbuh, tetap hidup.

Di tengah pembicaraan mereka, Arka mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. Dengan senyum misterius, ia menatap Lina.

“Lina, ada sesuatu yang ingin aku beri padamu,” kata Arka pelan.

Lina menatap kotak itu dengan heran. “Apa itu?” tanyanya, sedikit terkejut.

Arka membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat sebuah gelang kecil dengan manik-manik yang berwarna-warni. Lina terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Gelang itu tampak sederhana, namun ada sesuatu yang sangat pribadi di dalamnya. Arka memandang Lina dengan serius.

“Aku ingin kita punya sesuatu yang mengingatkan kita satu sama lain, meskipun jarak memisahkan kita,” kata Arka, suaranya penuh makna. “Aku ingin kita saling mengingat, bahwa kita ada di sini, untuk satu sama lain.”

Lina merasakan hangatnya perasaan yang mengalir dalam dadanya. Hati Lina terasa semakin penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada perasaan haru, ada perasaan bahagia yang tak bisa dibendung. Arka benar-benar tahu bagaimana membuatnya merasa spesial, bahkan dengan hal yang sederhana sekalipun.

Lina mengambil gelang itu dengan lembut, lalu memakainya di pergelangan tangannya. “Terima kasih, Arka,” ujarnya dengan suara yang hampir bergetar. “Aku sangat menghargainya.”

Arka tersenyum, lalu mengambil tangan Lina dengan penuh kasih sayang. “Aku ingin kamu selalu ingat, meskipun kita terpisah oleh jarak dan waktu, aku akan selalu ada di sini, menunggumu.”

Lina menatap mata Arka, merasa lebih dekat dari sebelumnya. Selama ini, mereka hanya saling menunggu lewat pesan dan suara, namun sekarang, mereka berada di sini bersama. Jarak dan waktu tak lagi bisa menghalangi mereka.

Setelah beberapa lama duduk di taman, Arka mengajak Lina untuk berjalan-jalan di sekitar kota. Mereka berjalan pelan, menikmati setiap langkah, dan sesekali berhenti untuk menikmati pemandangan yang mereka lewati. Jalanan yang semula terasa ramai dan penuh orang, kini tampak sepi bagi mereka. Semua yang ada di sekitar mereka seperti menghilang, meninggalkan hanya dua orang yang saling menginginkan satu sama lain.

“Kita tidak perlu terburu-buru, kan?” Lina bertanya, meskipun suara itu agak ragu.

Arka menatapnya dengan lembut. “Tidak ada yang perlu diburu, Lina. Kita memiliki waktu ini bersama. Tidak ada yang lebih penting selain ini.”

Lina merasakan ketenangan yang dalam dalam kata-kata Arka. Mereka terus berjalan, melewati kafe-kafe kecil, toko-toko antik, dan bahkan tempat-tempat yang dulunya menjadi kenangan bagi Lina. Setiap sudut kota terasa lebih hidup, lebih berarti, ketika bersama Arka. Semua kenangan yang pernah mereka bagikan, meskipun jauh, kini terasa lebih nyata. Tidak ada lagi batasan waktu atau ruang yang memisahkan mereka.

Saat matahari mulai terbenam, menciptakan langit berwarna oranye yang hangat, mereka berhenti di sebuah jembatan kecil yang melintasi sungai. Air di bawah jembatan berkilau, memantulkan cahaya matahari yang perlahan menghilang. Suasana di sekitar mereka begitu tenang, seakan dunia berhenti hanya untuk mereka berdua.

Lina menatap Arka dengan penuh perasaan. “Aku senang kita bisa bertemu, Arka. Aku senang kita bisa melakukan ini. Rasanya, seperti semua waktu yang kita lewati, akhirnya terasa seperti sebuah perjalanan yang layak dijalani.”

Arka tersenyum, menatap Lina dengan tatapan yang penuh arti. “Kita sudah melalui banyak hal, Lina. Dan kita akan terus melalui lebih banyak lagi. Cinta kita tidak akan pernah berhenti, meskipun jarak masih menguji kita.”

Lina mengangguk, hatinya penuh dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Namun, satu hal yang pasti—meskipun dunia di luar sana penuh dengan keraguan dan ketidakpastian, ia merasa bahwa bersama Arka, ia bisa menghadapinya semua. Cinta mereka lebih besar dari sekadar jarak dan waktu. Cinta mereka adalah sesuatu yang tak bisa terhalang oleh apapun.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Lina dengan senyum yang lebar, mencoba mengusir sedikit kecemasan yang mulai muncul kembali.

Arka menatapnya dengan serius, namun ada rasa kedamaian yang terpancar di wajahnya. “Kita akan menunggu, Lina. Tapi kita akan menunggu dengan penuh harapan. Dan dalam menunggu itu, kita akan terus mencintai satu sama lain.”

Lina hanya bisa tersenyum, merasa hatinya penuh dengan rasa syukur dan kebahagiaan. Mereka berdiri di sana, berdua, membiarkan angin yang lembut berhembus membawa kebahagiaan mereka.

Malam pun datang perlahan, namun perasaan mereka tetap terang. Tak ada lagi yang menghalangi mereka. Mereka tahu bahwa meskipun masa depan penuh dengan ketidakpastian, mereka akan selalu bersama, menjalani perjalanan ini sebagai dua hati yang tak terpisahkan.*

Bab 5: Ujian Cinta yang Tak Terduga

Setelah mengungkapkan perasaan mereka, hubungan mereka semakin kuat, tetapi ujian datang ketika Arka mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri. Tawaran itu membuat Arka bingung—apakah ia harus mengikuti impiannya dan pergi jauh, atau tetap bersama Lina yang baru saja ia temui lagi setelah lama berpisah?

Lina, di sisi lain, merasakan ketakutan yang mendalam. Ia tidak ingin kehilangan Arka, tetapi ia juga tidak ingin menahan impian Arka yang sangat penting baginya. Mereka berdua terjebak dalam dilema antara cinta dan pilihan hidup mereka yang saling bertentangan.

Pagi itu, udara terasa dingin meskipun sinar matahari mulai menghangatkan bumi. Lina duduk di meja makan, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan pesan dari Arka. Mereka baru saja selesai menghabiskan waktu semalam bersama, berjalan-jalan keliling kota, menikmati kebersamaan yang sudah lama mereka tunggu. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Pesan terakhir Arka tampaknya sederhana, namun Lina bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Ada jarak dalam kata-kata itu. Tidak seperti biasanya. Tidak seperti Arka yang biasa memberinya perhatian penuh. Ada penundaan yang tidak dijelaskan. Arka selalu cepat membalas pesannya, namun kali ini, setelah beberapa jam, ia belum juga memberikan balasan.

Lina berusaha mengalihkan pikirannya dengan sibuk mempersiapkan sarapan. Namun, pikirannya selalu kembali pada pesan yang tak kunjung terbalas. Ada perasaan cemas yang semakin menghantuinya. Perasaan bahwa segala sesuatu yang indah itu bisa saja berakhir begitu saja.

Saat tiba waktunya untuk bekerja, Lina memutuskan untuk tetap pergi ke kantor. Ia berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan yang muncul di dalam hatinya. Namun, semakin ia mencoba untuk mengalihkan perhatian, semakin besar perasaan cemas itu menjadi. Arka yang biasanya selalu memberinya kabar, kini seperti menghilang. Lina tak bisa menghindari pikiran bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

Hari itu berlalu dengan lambat, setiap detik terasa seperti jam. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk rasa cemas di dalam dada Lina. Apa yang terjadi dengan Arka? Mengapa ia tidak menghubunginya seperti biasa?

Ketika akhirnya sampai di rumah, Lina langsung membuka ponselnya, berharap ada kabar baru dari Arka. Namun, nihil. Hanya pesan singkat yang dikirim Arka pagi tadi—dan tidak ada pesan lanjutan. Lina merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ia mencoba menghubungi Arka melalui telepon, tetapi ponselnya tidak dijawab. Suara dering yang terus-menerus seolah menggema di telinga, menambah beban dalam dada Lina. Hatinya mulai gelisah.

Arka, di sisi lain, merasa tertekan. Beberapa hari terakhir, banyak hal yang mengganggu pikirannya. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, di antara dua pilihan yang saling bertentangan. Cinta untuk Lina begitu besar, namun ada beberapa hal yang harus ia pertimbangkan dengan hati-hati. Ia tidak bisa mengabaikan masa depannya, pekerjaannya, dan ambisi yang selama ini ia kejar. Namun, di sisi lain, ia merasa sulit melepaskan perasaan yang tumbuh begitu kuat untuk Lina.

Hari-hari yang ia habiskan bersama Lina begitu indah. Setiap momen bersama Lina terasa penuh makna. Namun, semakin lama ia berada di dekat Lina, semakin ia sadar bahwa ada hal-hal yang belum selesai dalam hidupnya—terutama mengenai pekerjaan dan beberapa tanggung jawab lainnya yang membutuhkan perhatian lebih. Ia merasa cemas bahwa cintanya pada Lina akan membuatnya kehilangan fokus. Arka mulai meragukan kemampuannya untuk menyeimbangkan antara perasaan dan tanggung jawab.

Pada saat itu, Arka memilih untuk memberi sedikit ruang pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk tidak langsung menghubungi Lina, berharap bisa mendapatkan waktu untuk berpikir jernih. Namun, semakin lama ia menunda, semakin banyak ketegangan yang muncul. Hatinya terasa terbelah. Ia tidak ingin menyakiti Lina, namun ia juga tidak ingin mengabaikan perasaannya sendiri. Arka merasa dilematis, terjebak dalam kebingungannya.

Lina tidak tahu apa yang terjadi. Waktu berlalu tanpa kabar, dan perasaan rindu yang semula begitu hangat, kini berubah menjadi rasa cemas yang semakin membesar. Setiap kali ia mengecek ponselnya, tak ada satu pun pesan atau telepon dari Arka. Lina mencoba untuk mengerti, namun perasaan kesepian itu terus merayap dalam hatinya. Ia merasa seolah-olah Arka mulai menjauh. Apakah ini karena dirinya? Apakah ada sesuatu yang ia lakukan yang membuat Arka berubah?

Lina memutuskan untuk mengunjungi tempat yang biasa mereka kunjungi bersama, berharap bisa menemukan petunjuk tentang apa yang terjadi. Ketika ia sampai di taman tempat mereka sering berjalan bersama, Lina merasa hatinya semakin tertekan. Tempat ini, yang dulunya penuh dengan tawa dan kebahagiaan, kini terasa begitu sepi. Segalanya terasa berbeda tanpa Arka di sisinya.

Di sana, Lina duduk di bangku panjang, menatap langit yang mulai menggelap. Ia merasakan angin yang berhembus pelan, membawa sedikit ketenangan. Namun, ketenangan itu tak mampu menenangkan hatinya. Sesekali, ia melirik ponselnya, berharap ada panggilan atau pesan dari Arka.

Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Lina menatap layar ponselnya dengan cemas. Itu adalah pesan dari Arka.

Arka:

Lina, aku perlu waktu untuk berpikir. Aku merasa kita berdua sedang berada di jalan yang berbeda. Aku butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa hal dalam hidupku. Aku tidak ingin kamu merasa terabaikan, tapi aku merasa cemas tentang semuanya. Aku minta maaf jika ini membuatmu bingung.

Lina membaca pesan itu berulang kali, mencoba mencerna setiap kata yang tertulis. Rasanya, dunia tiba-tiba runtuh di hadapannya. Cinta yang ia rasakan, harapan yang selama ini ia simpan, seolah hancur begitu saja. Apa yang dimaksud Arka dengan “jalan yang berbeda”? Apakah ini akhir dari segalanya?

Lina merasa air mata mulai menggenang di matanya. Ia berusaha menahan, namun tidak bisa. Semua yang selama ini ia rasakan, segala harapan yang ia jaga, seolah sirna dalam sekejap. Arka, orang yang ia cintai, kini meminta waktu untuk berpikir dan memberi jarak. Kenapa semuanya harus seperti ini?

Hari-hari setelah pesan itu terasa seperti hidup dalam kegelapan. Lina merasa seperti kehilangan arah. Ia mencoba menghubungi Arka beberapa kali, namun selalu gagal. Setiap kali ia memikirkan Arka, perasaan sakit itu kembali datang. Apa yang salah dengan hubungan mereka? Kenapa mereka harus melalui ujian ini? Lina bertanya-tanya apakah cinta mereka bisa bertahan, apakah ada harapan lagi bagi mereka berdua.

Namun, di tengah kesedihan dan kebingungannya, Lina mulai menyadari sesuatu yang lebih penting. Ia tidak bisa terus menerus tenggelam dalam rasa sakit ini. Ia harus menemukan jalan untuk menyembuhkan dirinya sendiri, terlepas dari apa yang akan terjadi dengan Arka. Cinta tidak seharusnya membuat seseorang merasa tertekan atau kehilangan diri mereka sendiri.

Dengan tekad yang baru, Lina memutuskan untuk memberi waktu pada dirinya sendiri. Ia mulai lebih fokus pada pekerjaannya, pada hal-hal yang selama ini mungkin terabaikan. Ia tahu bahwa hidupnya bukan hanya tentang Arka, dan ia harus menemukan kebahagiaan dalam dirinya sendiri, meskipun saat ini ia merasa hancur.

Namun, dalam hati kecilnya, Lina tetap berharap—berharap bahwa ujian ini hanyalah bagian dari perjalanan cinta mereka, dan bahwa suatu hari nanti, Arka akan kembali.

Hari-hari berlalu dengan cepat, namun perasaan Lina tak kunjung reda. Setiap detik terasa begitu lambat, dan meskipun ia berusaha mengalihkan perhatian pada pekerjaan dan teman-temannya, ada satu bagian dalam dirinya yang terus menerus mencari Arka. Setiap kali ia memasuki ruangannya di kantor, hatinya selalu merasa kosong tanpa adanya pesan atau kabar dari Arka. Ia sudah berusaha untuk menerima kenyataan bahwa Arka membutuhkan waktu, namun entah kenapa, perasaan cemas itu tidak bisa hilang.

Hari itu, Lina duduk di bangkunya dengan tatapan kosong, memandangi layar komputer yang tidak ia sentuh sama sekali. Ia berusaha fokus, tetapi setiap kali ada suara notifikasi, jantungnya berdebar kencang. Mungkin itu pesan dari Arka. Tapi kenyataannya, itu hanya notifikasi dari teman-temannya atau notifikasi aplikasi yang tidak penting. Tidak ada kabar dari Arka.

Ponselnya kembali berbunyi, dan kali ini benar-benar dari Arka. Lina merasa sedikit gugup saat membuka pesan itu. Namun, hati kecilnya masih berharap, berharap ini adalah pesan yang akan mengakhiri kebingungannya.

Arka:

Lina, aku ingin kita bertemu. Bisa kita bicara? Aku rasa kita harus menyelesaikan ini.

Lina menatap pesan itu dengan mata yang agak berkaca-kaca. Perasaan bingung dan haru bercampur aduk. Tentu saja ia ingin bertemu, tapi ada ketakutan yang menghinggapinya. Takut, jika pertemuan itu justru akan memperburuk keadaan, atau lebih buruk lagi, membuatnya kehilangan harapan sepenuhnya.

Setelah beberapa detik menimbang-nimbang, Lina akhirnya memutuskan untuk membalas pesan itu.

Lina:

Iya, aku ingin bertemu. Kapan dan di mana?

Tidak lama kemudian, Arka membalas dengan cepat.

Arka:

Di taman, tempat kita pertama kali bertemu. Aku tunggu pukul lima sore.

Lina mengangguk sendiri. Taman, tempat yang telah menyimpan banyak kenangan indah bagi mereka. Taman yang menjadi saksi bisu bagaimana perasaan mereka tumbuh, bagaimana mereka saling mengenal satu sama lain. Tempat yang telah memberi mereka banyak momen penuh makna, dan kini tempat itu juga menjadi saksi bagi ujian cinta mereka.

Lina merasa seakan ada beban yang terangkat, meskipun hatinya tetap dipenuhi dengan keraguan dan kecemasan. Akankah pertemuan ini membuat semuanya lebih baik, atau justru sebaliknya?

Pukul lima sore, Lina sudah berada di taman yang telah mereka tentukan. Ia berdiri di dekat bangku panjang yang selalu mereka duduki saat berbincang-bincang, mengingatkan dirinya tentang betapa indahnya masa-masa yang telah mereka lewati. Udara sore itu terasa sedikit sejuk, dengan sinar matahari yang mulai meredup. Lina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya.

Arka belum muncul. Lina menatap ponselnya, berharap ada pesan atau kabar terbaru darinya. Tetapi tidak ada. Semua terasa sunyi. Hanya suara angin yang sesekali berdesir di antara pepohonan.

Tak lama setelah itu, Lina melihat sosok Arka berjalan ke arahnya. Hatinya berdebar hebat. Arka tampak sedikit lebih berbeda. Wajahnya terlihat lebih serius, ada kerutan di dahi yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tapi meskipun begitu, saat mata mereka bertemu, ada semacam kehangatan yang kembali muncul di dalam diri Lina.

“Arka,” ujar Lina, sedikit ragu, tapi mencoba tetap tersenyum.

“Hei, Lina,” jawab Arka dengan suara rendah, meskipun senyumnya tak sepenuhnya muncul.

Lina melihat bahwa Arka tampaknya juga tertekan. Ia tidak ingin membuka percakapan dengan kata-kata yang canggung, tetapi akhirnya Lina merasa perlu bertanya.

“Arka, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang begitu saja?” Lina mengeraskan suaranya sedikit, meskipun ia berusaha tetap tenang. Ia merasa perlu untuk mengungkapkan apa yang selama ini mengganggu pikirannya.

Arka menghela napas panjang, lalu duduk di bangku yang biasa mereka duduki. Ia menundukkan kepala, seakan berpikir keras sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Lina dengan tatapan penuh penyesalan.

“Lina, aku… aku merasa sangat bingung. Semuanya berjalan begitu cepat. Aku merasa kita terlalu tergesa-gesa. Aku ingin meluangkan waktu untuk diriku sendiri, untuk melihat apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup ini.” Arka berbicara dengan hati-hati, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

Lina merasa hatinya seperti tertusuk. “Jadi, kamu merasa kita terburu-buru? Bukankah kita sudah saling mengenal sejak lama?”

Arka menatapnya dengan mata penuh penyesalan. “Bukan itu maksudku. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu, Lina. Aku sangat mencintaimu, tapi aku juga merasa terjebak antara perasaan dan tanggung jawab. Aku takut kalau aku terlalu terikat, aku akan kehilangan fokus pada hal-hal lain dalam hidupku yang juga penting. Aku harus membuat keputusan yang sulit.”

Lina merasakan air mata menggenang di matanya. Ia berusaha keras untuk tidak menangis di hadapan Arka, tetapi perasaan yang ia tahan begitu lama akhirnya keluar. “Arka… aku tidak mengerti. Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi kenapa harus ada pilihan yang membuatmu bingung? Kita sudah melalui banyak hal bersama. Aku tidak tahu apa yang harus aku pikirkan sekarang.”

Arka memegang tangan Lina dengan lembut, namun ada rasa cemas yang mendalam di matanya. “Lina, aku tidak bisa memberi jaminan sekarang. Aku butuh waktu untuk menentukan apa yang benar-benar aku inginkan. Aku tidak ingin membuatmu berharap lebih jika aku sendiri masih ragu. Aku takut kalau kita terus seperti ini, kita akan semakin terjebak dalam hubungan yang penuh ketidakpastian.”

Lina merasakan rasa sakit yang begitu tajam di dadanya. Semua yang Arka katakan seolah mencabik-cabik hatinya. Ia merasa begitu rapuh, seperti ada bagian dari dirinya yang terkoyak. “Jadi, kamu ingin memberi jarak antara kita, supaya kamu bisa berpikir lebih jelas?”

Arka mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Lina. “Aku tahu ini tidak mudah, dan aku tidak ingin kamu merasa terluka. Aku butuh waktu untuk menentukan semuanya. Aku tahu itu mungkin terdengar egois, tetapi aku tidak bisa melanjutkan sesuatu yang aku sendiri belum pasti.”

Lina diam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Arka. Ia ingin berteriak, ingin mengungkapkan betapa sakitnya perasaan ini. Tapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus diambil. Jarak yang selama ini mereka coba untuk atasi, kini benar-benar ada di depan mata mereka.

“Aku mengerti,” jawab Lina akhirnya, meskipun hatinya terasa begitu berat. “Jika ini yang terbaik untukmu, aku akan memberimu ruang yang kamu butuhkan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu.”

Air mata Lina jatuh perlahan, tetapi ia segera menghapusnya. Arka menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku berharap aku bisa memberimu lebih banyak, Lina. Aku tidak ingin kamu merasa sepertinya aku mengabaikanmu.”

Lina memaksakan senyum di wajahnya. “Tidak, Arka. Kamu tidak mengabaikanku. Ini hanya… kita yang sedang berjuang dengan kenyataan. Mungkin kita perlu waktu untuk menemukan jalan kita masing-masing.”

Dengan hati yang terluka, Lina berdiri dan mengalihkan pandangannya dari Arka. Mereka berdua terdiam, merasa berat dengan kenyataan yang baru saja mereka hadapi. Tidak ada kata-kata lagi yang bisa mengurangi rasa sakit itu. Semua yang mereka miliki, semua yang mereka perjuangkan, kini terancam oleh ketidakpastian.*

Bab 6: Rindu yang Tak Terucapkan

Setelah berpikir panjang, Arka memutuskan untuk pergi ke luar negeri, sementara Lina tetap tinggal. Namun, sebelum keberangkatannya, mereka menghabiskan waktu bersama, menikmati setiap detik kebersamaan mereka.

Meskipun mereka berpisah, rindu yang mendalam tetap ada. Mereka berdua menyadari bahwa meskipun jarak memisahkan, perasaan mereka tidak akan pernah berkurang. Rindu mereka bahkan semakin menguatkan ikatan mereka. Dalam kepergian Arka, Lina merasakan perasaan yang lebih dalam dan menyadari bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan.

Lina berdiri di jendela kamarnya, menatap langit yang tampak begitu luas dan tak terhingga. Pemandangan malam itu begitu indah, dengan langit yang dihiasi bintang-bintang yang bersinar terang. Namun, meskipun keindahan alam itu memikat matanya, hatinya terasa kosong dan penuh kesepian. Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhirnya dengan Arka, dan semakin lama ia semakin merasa rindu yang mendalam.

Rindu itu tidak hanya hadir sebagai perasaan yang tiba-tiba muncul, tetapi juga sebagai kekosongan yang terus-menerus menggerogoti pikirannya. Setiap pagi, setiap malam, Arka ada dalam pikirannya. Bahkan dalam setiap detik kehidupan sehari-hari, ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh kehadirannya. Rindu ini tak terucapkan, tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan oleh hati yang sepi.

Selama beberapa hari pertama setelah pertemuan mereka, Lina berusaha untuk memberi jarak, seperti yang Arka minta. Ia tahu bahwa Arka sedang membutuhkan waktu untuk berpikir, tetapi semakin lama ia semakin merasa cemas. Rasa cemas itu datang bukan hanya karena jarak yang semakin jauh, tetapi juga karena keraguan yang muncul di dalam dirinya sendiri. Apakah Arka benar-benar membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri, atau ada hal lain yang sedang dipendam?

Ia membuka ponselnya untuk ke sekian kalinya, berharap ada pesan dari Arka, namun seperti sebelumnya, tidak ada kabar. Lina menarik napas panjang dan menatap layar ponselnya dengan perasaan yang semakin teriris. Ada perasaan ingin menghubungi Arka, untuk memastikan apakah semuanya baik-baik saja. Namun, ia menahan diri. Ia tak ingin terlihat terlalu membutuhkan, tak ingin menunjukkan betapa besar perasaan rindu yang sedang menguasainya.

Lina tahu bahwa jika ia menghubungi Arka terlalu sering, ia hanya akan memperburuk keadaan. Mereka sudah sepakat untuk memberi jarak, dan meskipun hati Lina terasa sakit, ia berusaha untuk mematuhi keputusan itu. Namun, tidak ada satu pun hari yang bisa ia lalui tanpa memikirkan Arka.

Suatu malam, ketika Lina sedang duduk di meja makan, ia mendengar deringan ponselnya. Sebuah pesan baru masuk. Hatinya berdegup kencang saat melihat nama Arka tertera di layar. Pesan itu begitu sederhana, hanya beberapa kata saja, tetapi bagi Lina, itu sudah cukup untuk membuatnya merasa seolah dunia kembali berputar.

Arka:

Lina, aku rindu. Maaf jika aku membuatmu merasa terabaikan. Bisa kita bicara?

Lina menatap pesan itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Arka, yang selama ini ia rindukan, akhirnya mengirim pesan. Meski hanya beberapa kata, itu sudah cukup membuatnya merasa lega. Namun, di sisi lain, ada rasa cemas yang kembali muncul. Apa maksud dari pesan itu? Apakah Arka benar-benar merindukannya, atau hanya sekadar ingin melupakan semuanya?

Setelah beberapa detik merenung, Lina akhirnya membalas pesan itu.

Lina:

Aku juga rindu, Arka. Aku ingin sekali berbicara denganmu.

Pesan itu terkirim, dan Lina menunggu dengan cemas. Beberapa menit kemudian, ponselnya berdering lagi. Kali ini, Arka meminta mereka bertemu. Mereka sepakat untuk bertemu di tempat yang sama—taman tempat mereka pertama kali bertemu. Tempat yang telah menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka yang penuh liku.

Lina berdiri, menatap cermin di hadapannya. Ia mencoba merapikan penampilannya, meskipun sebenarnya ia tahu bahwa penampilan tidak akan banyak memengaruhi perasaan yang tengah ia rasakan. Hatinya berdebar-debar saat ia mengenakan jaket favoritnya dan keluar dari rumah. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti berjalan menuju sesuatu yang tak pasti. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa pertemuan ini mungkin bisa memberikan kejelasan yang selama ini ia butuhkan.

Taman itu masih sama, dengan pepohonan yang rindang dan bangku panjang yang sering mereka duduki bersama. Lina duduk di bangku itu, menunggu dengan sabar. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lama. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah tahu bahwa Arka akan datang, tapi rasa rindu yang sudah begitu lama terpendam membuatnya tidak sabar.

Beberapa menit kemudian, Lina melihat sosok Arka berjalan ke arahnya. Meski langkahnya biasa saja, ada sesuatu dalam cara Arka berjalan yang membuatnya merasa ada jarak yang tak terhingga antara mereka. Arka tampak lebih serius dari sebelumnya. Wajahnya yang biasa ceria kini terlihat lelah dan penuh pertanyaan. Lina bisa merasakan adanya keraguan dalam pandangannya.

Arka duduk di samping Lina, dan mereka terdiam sejenak. Tidak ada kata-kata yang keluar, hanya kesunyian yang terasa begitu berat di antara mereka.

“Aku tahu kamu rindu,” kata Arka akhirnya, suaranya terdengar agak serak, seakan ada perasaan yang tertahan.

Lina menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir menetes. “Aku juga rindu, Arka. Tapi… kenapa kita harus saling memberi jarak seperti ini?”

Arka menghela napas, menatap Lina dengan tatapan penuh penyesalan. “Lina, aku… aku merasa bingung. Aku tahu aku sudah membuatmu kecewa, dan itu membuatku merasa semakin jauh darimu. Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar merindukanmu, tapi aku merasa ada hal yang belum selesai dalam diriku. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sebelum aku bisa benar-benar fokus pada hubungan kita.”

Lina merasakan hatinya semakin hancur mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa Arka tidak berniat menyakitinya, tetapi perasaan yang muncul begitu tajam dan menyakitkan. “Jadi, kamu ingin mengakhiri semuanya?” tanya Lina dengan suara lirih.

Arka menatapnya dengan tatapan kosong. “Tidak, Lina. Aku tidak ingin mengakhiri kita. Aku hanya ingin memastikan bahwa aku bisa memberikan yang terbaik untukmu, untuk kita. Aku tidak ingin kita terjebak dalam hubungan yang penuh ketidakpastian. Aku butuh waktu untuk menyelesaikan apa yang ada di dalam diriku.”

Lina diam sejenak. Ia ingin sekali memeluk Arka, memberi tahu bahwa ia tidak perlu merasa ragu, bahwa mereka bisa melewati semuanya bersama-sama. Namun, ia tahu bahwa saat ini bukan waktunya untuk itu. Arka sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, dan Lina tidak bisa memaksakan dirinya.

“Aku mengerti, Arka,” jawab Lina akhirnya, meskipun suaranya berat. “Aku tidak ingin memaksamu. Aku tahu kita berdua sedang berjuang dengan perasaan kita masing-masing.”

Malam itu, setelah pertemuan yang penuh dengan ketegangan dan perasaan yang tak terucapkan, Lina pulang dengan hati yang penuh kebingungan. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun ia juga merasa bahwa pertemuan itu membuka jalan baru untuk memahami perasaan mereka. Arka, meskipun dengan semua keraguannya, masih mencintainya. Dan Lina juga merasa hal yang sama. Tetapi cinta mereka harus menghadapi ujian yang lebih berat lagi.

Di kamar tidurnya, Lina menatap langit malam melalui jendela, menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang. Rindu yang tertahan itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia bisa merasakannya di dalam setiap detak jantungnya. Ia ingin sekali mengatakan semuanya kepada Arka—betapa besar ia mencintainya, betapa ia ingin bersama Arka meskipun dunia penuh dengan ketidakpastian. Tetapi saat ini, Lina tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup. Cinta mereka harus diuji lebih dalam lagi.

Rindu yang tak terucapkan itu mengalir dalam setiap pikiran dan perasaannya. Rindu yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata, tetapi bisa ia rasakan dengan setiap getaran hatinya. Arka adalah bagian dari dirinya, dan meskipun mereka terpisah oleh waktu dan jarak, Lina tahu bahwa cinta mereka tidak akan pernah hilang.

Malam itu, Lina duduk di tepi jendela kamarnya, matanya memandang jauh ke luar. Langit malam tampak begitu tenang, dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar redup. Namun, di dalam hatinya, ada sebuah kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Rindu yang terpendam begitu dalam. Sudah berbulan-bulan sejak pertemuan terakhirnya dengan Arka, dan setiap hari, perasaan itu semakin membesar. Rindu yang tak terucapkan. Sebuah perasaan yang hanya bisa dirasakan di dalam hatinya, namun tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

Sejak pertemuan terakhir mereka, Lina merasa seolah-olah dunia ini menjadi lebih sunyi. Hatinya terasa hampa tanpa kehadiran Arka. Ada banyak hal yang tak terungkapkan, begitu banyak kata-kata yang ingin Lina ucapkan kepada Arka. Namun, seperti ada tembok tebal yang membatasi mereka, tembok yang dibangun dari rasa takut, keraguan, dan kebingungan yang menyelimuti perasaan mereka.

Rindu itu semakin mendalam setiap harinya, seiring berjalannya waktu dan jarak yang semakin memisahkan mereka. Lina merasa seolah-olah dia terjebak dalam dunia di antara harapan dan kenyataan, di antara perasaan yang ingin diungkapkan dan kenyataan yang harus diterima. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa Arka juga merindukannya. Namun, mengapa mereka tidak bisa mengatakannya? Mengapa ada begitu banyak kata yang terjebak di dalam mulut, yang tidak pernah sampai kepada orang yang tepat?

Tepat pada saat itulah, ponsel Lina berdering. Hatinya berdegup kencang, harapannya bangkit sejenak. Ketika ia membuka pesan itu, matanya langsung tertuju pada nama yang paling ia rindukan—Arka. Sebuah pesan singkat, namun dengan makna yang sangat dalam. Hanya ada beberapa kata, tetapi cukup untuk mengguncang perasaan Lina.

Arka:
“Lina, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Maaf jika aku membuatmu merasa jauh. Bisa kita bicara?”

Lina menatap pesan itu dengan perasaan yang campur aduk. Hatinya tergetar. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir Arka menghubunginya. Segera, perasaan cemas dan rindu menguasainya. Apakah Arka benar-benar merindukannya? Ataukah ini hanya rasa bersalah yang membuatnya menghubungi Lina?

Lina memegang ponselnya erat, kemudian mengetik balasan dengan tangan yang sedikit gemetar.

Lina:
“Aku juga rindu, Arka. Aku ingin sekali bicara denganmu.”

Setelah beberapa detik, ponsel Lina berdering lagi. Kali ini, Arka mengajaknya bertemu. Tempat yang mereka pilih adalah taman, tempat pertama kali mereka berjumpa dan berbincang tanpa beban. Tempat yang memiliki begitu banyak kenangan. Lina merasa seolah-olah waktu itu berputar kembali, membawanya kembali ke masa-masa indah ketika mereka masih bersama.

Lina tidak tahu apakah ia merasa senang atau justru cemas. Ia mengenakan pakaian sederhana, memutuskan untuk berjalan ke taman dengan langkah yang penuh perasaan. Setiap detik terasa begitu lama, namun di sisi lain, perasaan itu adalah harapan yang sudah terlalu lama terpendam. Ia ingin sekali berada di dekat Arka lagi, ingin sekali mendengar suaranya, ingin sekali merasakan kehadirannya yang selama ini hanya bisa dirasakannya dalam bayang-bayang.

Ketika Lina tiba di taman, ia melihat Arka sudah duduk di bangku yang mereka biasa duduki bersama. Wajah Arka tampak serius, tetapi ada kilatan perasaan yang tersembunyi di matanya. Lina berjalan mendekat, dan begitu mereka saling bertatap muka, ada sesuatu yang membekas di dalam hati keduanya. Sesuatu yang belum mereka bicarakan, yang sudah terlalu lama terpendam.

“Aku tahu ini aneh,” Arka memulai percakapan dengan suara yang lembut, tetapi penuh penyesalan, “tapi aku tidak bisa terus berpura-pura. Aku merasa… aku merasa kamu jauh dariku, Lina. Aku rindu, dan aku tidak bisa menyangkalnya lagi.”

Lina terdiam sesaat, menatap mata Arka yang penuh dengan perasaan yang tersembunyi. Rindu itu terasa begitu kuat, seolah-olah Arka juga merasakan apa yang sama-sama mereka rasakan. “Aku juga merindukanmu, Arka,” jawab Lina dengan suara pelan. “Tapi aku takut, kita tidak bisa kembali seperti dulu. Ada terlalu banyak yang tidak terucapkan di antara kita.”

Arka menarik napas panjang, matanya menatap lurus ke depan, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Lina,” katanya perlahan, “aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tahu aku tidak cukup ada untukmu belakangan ini, tapi… aku merasa ada yang perlu aku selesaikan terlebih dahulu dalam diriku. Aku butuh waktu, bukan untuk menjauh darimu, tapi untuk menyelesaikan semua kekacauan dalam pikiranku.”

Lina merasa ada kerinduan yang begitu dalam dalam kata-kata Arka, namun di sisi lain, ia juga merasakan ada dinding yang memisahkan mereka. Dinding yang bukan hanya terbentuk oleh jarak fisik, tetapi juga oleh keraguan yang datang dari keduanya.

“Jadi, kita hanya akan menunggu?” tanya Lina, suara hatinya terasa penuh dengan kebingungannya. “Kita hanya akan terus merindukan satu sama lain tanpa ada kejelasan?”

Arka menoleh, menatapnya dengan tatapan yang penuh arti. “Aku tidak ingin membuatmu menunggu selamanya, Lina. Aku hanya… aku butuh waktu untuk tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah, dan aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh lagi.”

Lina merasakan hatinya teriris. Ia ingin sekali mengatakan bahwa ia sudah cukup sabar, bahwa ia sudah cukup lama menunggu, tetapi ia tahu bahwa cinta itu tidak bisa dipaksakan. Ia mengangguk pelan, mencoba menerima kenyataan bahwa cinta mereka tidak bisa diselesaikan dalam sekejap. “Aku mengerti, Arka. Aku akan menunggumu, tapi aku juga tidak bisa menahan perasaan ini selamanya. Rindu ini begitu berat,” kata Lina, suaranya nyaris putus-putus.

Arka meraih tangan Lina, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tidak akan membuatmu menunggu selamanya, Lina. Aku akan kembali ketika aku sudah siap. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, aku janji.”

Malam itu, pertemuan mereka berakhir dengan lebih banyak kata yang tak terucapkan. Rindu yang mendalam tetap menghantui keduanya, namun mereka tahu bahwa cinta mereka tidak akan pernah pudar meskipun jarak dan waktu terus menguji mereka. Dengan hati yang penuh kerinduan, mereka berpisah untuk sementara waktu, dengan harapan bahwa suatu hari, mereka akan kembali bersama.

Lina kembali ke rumahnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa sedikit lega karena akhirnya bisa berbicara dengan Arka dan mengungkapkan perasaannya. Namun, di sisi lain, ia merasa kosong dan hampa, karena ia tahu bahwa waktu yang harus mereka lalui untuk benar-benar bersama masih sangat panjang. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menatap langit malam melalui jendela. Rindu yang terpendam itu semakin terasa, semakin menyakitkan. Ia berharap suatu hari nanti, Arka akan kembali, dan mereka bisa mengungkapkan semuanya cinta yang telah lama tertahan, rindu yang tak terucapkan, dan janji yang belum sepenuhnya dipenuhi.***

—————-THE END————–

 

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #CintaLDR#JarakBukanHalangan#LDR#LongDistanceRelationship#LoveAcrossDistance
Previous Post

AROMA DENDAM DALAM CINTA

Next Post

DENDAM DI BALIK CINTA PERTAMA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
DENDAM DI BALIK CINTA PERTAMA

DENDAM DI BALIK CINTA PERTAMA

TIGA BENUA SATU CINTA

TIGA BENUA SATU CINTA

DENDAM SEORANG KEKASIH

DENDAM SEORANG KEKASIH

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id