Daftar Isi
BAB 1 Pertemuan yang Tak Terlupakan
Pagi itu, udara di kota terasa begitu segar. Langit yang cerah tampak tak berawan, memberi kesan bahwa hari itu akan menjadi hari yang sempurna. Namun, bagi Maya, hari itu justru terasa berat. Dia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Mungkin karena dia tidak tahu apa yang akan dihadapinya setelah pertemuan tak terduga itu.
Maya, seorang gadis muda yang cerdas dan mandiri, sedang berjalan menuju ruang kelasnya di lantai dua. Dengan buku-buku tebal yang menjuntai dari tasnya, dia berjalan dengan langkah pasti, menyusuri lorong panjang sekolahnya yang sudah terlalu familiar. Setiap hari seperti itu, rutinitas yang sama. Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bahkan Maya sendiri tidak bisa mengartikannya.
Ketika memasuki aula, Maya mendengar suara langkah kaki yang berat, seakan seseorang berjalan dengan tergesa-gesa di belakangnya. Sebelum ia bisa berpaling, sebuah tubuh besar menabraknya dari belakang. Buku-buku yang ada di tangannya terlempar, dan beberapa di antaranya jatuh berserakan di lantai.
“Maafkan aku!” suara laki-laki itu terdengar panik.
Maya terkejut, tetapi cepat-cepat menundukkan wajahnya dan mengumpulkan buku-buku yang tersebar. “Tidak apa-apa,” jawabnya singkat, tetapi nada suaranya sedikit terdengar ketus. Bagaimanapun juga, siapa yang suka ketika berjalan terganggu oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab?
Saat Maya berdiri dan melihat siapa yang menabraknya, ia terdiam sejenak. Di depannya berdiri seorang pria tinggi besar dengan ekspresi wajah yang tampak tegang. Rambutnya yang hitam sedikit acak-acakan, dan matanya yang tajam menatapnya dengan raut penuh penyesalan. Meskipun Maya baru pertama kali melihatnya, sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini bukan pertemuan biasa.
“Terima kasih telah memaafkan,” kata pria itu, suaranya terdengar agak keras, namun penuh penyesalan. “Aku benar-benar tidak bermaksud menabrakmu.”
Maya hanya mengangguk, merasa canggung dengan situasi tersebut. “Hati-hati lain kali,” balasnya sambil mengumpulkan buku terakhir yang jatuh.
Pria itu tampak bingung sejenak, namun segera memungut beberapa buku yang masih tersisa di lantai. Setelah itu, ia mengulurkan tangan untuk membantu Maya berdiri. “Aku Arka,” katanya.
Maya menatap tangannya sejenak sebelum dengan ragu meraih dan menjabatnya. “Maya,” jawabnya singkat.
Mereka berdiri dalam keheningan beberapa detik sebelum Maya akhirnya membuka mulut, “Kamu baru di sini?”
Arka mengangguk pelan. “Iya, aku baru pindah ke sekolah ini. Jadi mungkin aku sedikit terburu-buru tadi.”
Maya hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ia merasa aneh. Biasanya ia tidak terlalu peduli dengan orang baru di sekolah, namun entah mengapa, Arka memberikan kesan yang berbeda. Entah dari mana, ada rasa penasaran yang tumbuh dalam dirinya tentang siapa Arka sebenarnya.
“Kelasmu di mana?” tanya Maya, berusaha mengalihkan pikirannya yang kacau.
“Di kelas 3A,” jawab Arka sambil menatap wajah Maya. “Kamu?”
“Di kelas 3B,” Maya menjawab tanpa berpaling. “Aku juga baru tahu kalau kita satu sekolah. Sepertinya kita akan sering bertemu.”
Arka tersenyum kecil, meskipun Maya merasakan sedikit ketegangan di sekitarnya. Raut wajahnya tidak menunjukkan banyak emosi, tetapi ada sesuatu yang dalam di matanya yang mengisyaratkan bahwa dia menyimpan sesuatu—sesuatu yang tidak ingin dibicarakan.
Setelah beberapa saat, mereka berjalan bersama menuju kelas masing-masing. Selama perjalanan itu, tidak ada banyak percakapan antara mereka, tetapi Maya merasa ada ikatan yang aneh antara mereka berdua. Seperti ada benang tak kasat mata yang menghubungkan mereka, meskipun mereka hanya bertemu dalam waktu yang singkat.
Arka berjalan di sebelah Maya, seolah ada ketidaknyamanan yang mengalir di udara. Namun, Maya tidak tahu mengapa, meskipun ia merasa canggung, hatinya tetap saja merasa tenang. Di tengah keramaian sekolah yang biasa, pertemuan itu terasa seperti sebuah percakapan tanpa kata-kata, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Maya tiba di kelasnya dan duduk di bangkunya, namun pikirannya tak bisa lepas dari pertemuan tadi. Apa yang membuat Arka begitu berbeda dari orang lain? Bagaimana bisa ia merasa terhubung meskipun hanya beberapa menit berbicara? Maya mencoba untuk menepis rasa penasaran itu, berusaha untuk fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung. Namun, wajah Arka tetap terbayang di matanya.
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan seperti biasa. Maya kembali fokus pada kehidupan sekolahnya—mengerjakan tugas, bergaul dengan teman-temannya, dan menjalani rutinitas sehari-hari. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa setiap kali Arka lewat di dekatnya, Maya merasa ada sesuatu yang terus menarik perhatiannya. Keberadaan Arka seperti bayangan yang sulit dihindari, dan Maya merasa ada sesuatu yang menarik dalam dirinya yang tidak bisa ia pungkiri.
Arka, meskipun terlihat lebih pendiam dan tertutup, selalu ada di sekitar Maya. Di koridor, di ruang makan, atau saat mereka berpapasan di perpustakaan, Maya mulai merasa bahwa pertemuan pertama itu adalah awal dari sesuatu yang tak terduga.
Namun, di balik ketegangan yang terus tumbuh, ada perasaan lain yang berkembang dalam hati Maya—perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, perasaan yang sangat kuat. Cinta, atau mungkin, kebencian? Karena meskipun Arka tampaknya hanya seorang pria biasa, Maya mulai merasakan bahwa ada banyak hal yang tersembunyi di balik senyumannya.
Cinta dan kebencian adalah dua hal yang sering berjalan beriringan. Dan Maya mulai merasa bahwa pertemuan tak terduga ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang akan mengubah hidupnya selamanya.*
BAB 2 Awal Cinta yang Terlarang
Maya tidak tahu harus mulai dari mana. Setiap kali ia mencoba untuk menyusun kata-kata, rasanya seperti ada suara yang membentur kepalanya, memaksanya untuk berhenti. Bagaimana mungkin ia merasa seperti ini? Mencintai seseorang yang harusnya tidak bisa ia cintai. Seseorang yang terjebak dalam masa lalu yang gelap, seseorang yang, meskipun terlihat penuh rahasia, tak bisa ia hindari. Arka.
Hari itu, seperti biasanya, mereka bertemu di kafe yang selalu menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di balik senyuman tipis yang ia berikan, Maya menyembunyikan kebingungannya. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya, perasaan yang semakin hari semakin sulit untuk ia pungkiri. Cinta yang terlarang, cinta yang tumbuh di tengah kebencian yang terpendam.
Arka sudah duduk di mejanya, matanya yang tajam mengamati sekeliling, seolah menunggu Maya. Begitu melihatnya, dia tersenyum, senyum yang selalu membuat jantung Maya berdegup lebih cepat. Senyuman itu mengandung ribuan makna yang hanya bisa ia pahami, meskipun ada rasa tidak aman yang menggelayuti hatinya. Maya tahu, perasaan ini berbahaya. Perasaan yang harusnya tidak ia rasakan, perasaan yang bisa menghancurkan segala sesuatu yang telah ia bangun.
“Maya, lama banget. Kamu nggak apa-apa?” tanya Arka dengan suara lembutnya, seolah tidak ada yang aneh dengan dunia mereka.
Maya mengangguk, mencoba tersenyum meskipun hatinya bergejolak. “Aku baik-baik saja,” jawabnya singkat, berusaha tidak terlalu lama terlarut dalam tatapan Arka yang penuh perhatian itu. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Arka, berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkan betapa terlarangnya hubungan mereka.
“Bagaimana kuliahmu?” tanya Arka lagi, mengalihkan topik.
Maya menghela napas ringan. “Biasa saja, masih banyak tugas,” jawabnya. Ia mengamati Arka yang sedang duduk dengan tenang, seolah hidupnya tidak pernah terpengaruh oleh apapun. Seolah dunia ini adalah tempat yang aman untuknya, tempat yang tidak perlu ia khawatirkan. Namun, Maya tahu itu tidak benar. Arka membawa beban yang jauh lebih berat daripada yang ia perlihatkan.
Maya mengingat saat pertama kali bertemu Arka. Awalnya, ia tidak tahu siapa dia. Arka baru pindah ke kota ini, datang dengan latar belakang yang misterius, sebuah keluarga yang tidak terlalu banyak orang tahu. Maya juga awalnya tidak terlalu peduli. Namun, semuanya berubah pada saat mereka pertama kali berbicara, hanya sebuah percakapan singkat di perpustakaan universitas yang membuka jalan bagi hubungan mereka.
Namun, semakin banyak ia mengenal Arka, semakin banyak pula yang ia ketahui tentang masa lalunya. Masa lalu yang penuh dengan luka, konflik, dan kebohongan. Masa lalu yang tidak ingin dibicarakan oleh Arka, tetapi tetap bisa dilihat dari tatapan matanya yang selalu terlihat penuh kecemasan. Maya mulai bertanya-tanya, apa yang membuat Arka begitu tertutup? Mengapa dia selalu menghindari pertanyaan tentang keluarganya?
Suatu hari, saat mereka tengah berjalan pulang setelah kelas selesai, Arka akhirnya membuka sedikit tentang masa lalunya. Ternyata, keluarga Arka terlibat dalam sebuah insiden besar yang menyebabkan banyak orang terluka, bahkan meninggal. Keluarga Arka dituding bertanggung jawab atas kejadian itu, meskipun Arka sendiri tidak pernah terlibat langsung. Namun, citra keluarganya yang tercemar membuat Arka dipandang rendah oleh banyak orang. Hal ini membuatnya merasa terasing, merasa seperti bayangan dari masa lalu yang tidak bisa ia lupakan.
Maya terdiam mendengarnya, hatinya terbagi antara rasa kasihan dan kebingungannya. Bagaimana bisa seseorang sebaik Arka terlahir dalam keluarga yang penuh dengan sejarah kelam seperti itu? Dan lebih dari itu, Maya merasa terjebak dalam perasaan yang semakin kuat. Cinta yang tumbuh, meskipun ia tahu, cinta ini tidak bisa dia lanjutkan. Ada banyak orang yang membenci Arka hanya karena darah yang mengalir dalam tubuhnya, dan Maya, dalam beberapa cara, merasa sangat takut. Takut jika ia menjadi bagian dari masalah yang lebih besar, takut jika cinta ini justru akan menyakiti semua orang yang ia sayangi.
Arka menyadari ketegangan yang muncul di antara mereka. “Maya, aku nggak menginginkan ini. Aku nggak ingin membawa masa lalu ini ke dalam hidup kamu,” katanya dengan suara berat. “Aku hanya ingin hidup biasa, tanpa ada beban itu.”
Maya tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa kasihan pada Arka, tetapi di sisi lain, ia merasa semakin terjerat dalam perasaan yang rumit. Apakah ia harus mundur? Apakah ia harus melepaskan dirinya dari perasaan ini sebelum terlambat?
Namun, semakin hari, Maya semakin sulit menahan perasaannya. Setiap kali bersama Arka, hatinya merasa penuh, meskipun ada rasa takut yang menggerogoti. Ia tahu ini salah. Cinta ini tidak seharusnya ada. Cinta ini bukan untuk mereka. Tapi, bagaimana mungkin ia menanggalkan perasaan yang begitu mendalam? Bagaimana mungkin ia berhenti mencintai seseorang yang meskipun penuh dengan kebencian, tetap menunjukkan sisi lembut yang tak pernah ia duga?
Setiap kali mereka bersama, ada perasaan yang lebih kuat, ada ketegangan yang semakin dalam. Maya tahu, perasaan ini adalah cinta yang terlarang. Cinta yang tidak bisa ia nikmati dengan bebas, cinta yang jika diteruskan hanya akan membawa luka. Namun, sepertinya, cinta itu tidak bisa ia hentikan.
Di dalam api kebencian yang terpendam, ada satu hal yang pasti—cinta mereka mulai tumbuh, meskipun mereka tahu, hubungan ini tidak akan pernah mudah.*
BAB 3 Terjebak dalam Kenangan
Maya duduk sendirian di balkon kamar apartemennya yang menghadap ke jalan utama. Matahari yang hampir tenggelam memberi warna oranye keemasan di langit, namun itu tidak cukup untuk mengusir kegelapan yang merayapi hatinya. Ia menggenggam ponsel di tangan, jari-jari lentiknya bergerak-gerak tanpa tujuan. Kenangan tentang Arka kembali menghantui pikirannya, menari-nari di benaknya seperti bayangan yang tak bisa hilang, meskipun ia berusaha keras untuk melupakan.
Hari itu, Maya baru saja mendengar sesuatu yang menghancurkan imajinasinya tentang Arka. Ia tahu bahwa setiap orang memiliki masa lalu, tetapi tidak ada yang mengajarkannya bagaimana menghadapi kenyataan pahit bahwa masa lalu seseorang bisa menjadi beban yang sangat besar. Arka, pria yang selama ini ia anggap penuh misteri dan kehangatan, ternyata memiliki sisi kelam yang bahkan tak pernah ia ungkapkan kepadanya.
Tadi pagi, Maya menemui teman dekatnya, Sarah, di sebuah kafe. Sarah, yang selalu tahu segala hal tentang kehidupan Maya, memperhatikan ekspresi serius di wajahnya. Dengan hati-hati, Sarah memulai pembicaraan.
“Maya, aku dengar ada yang perlu kamu tahu tentang Arka. Aku nggak tahu harus bagaimana mengatakannya, tapi kamu harus tahu,” kata Sarah, suaranya rendah dan penuh perhatian.
Maya memiringkan kepala, penasaran. “Apa maksudmu, Sarah?”
Sarah menghela napas, terlihat ragu. “Arka… dia terlibat dalam kecelakaan yang merusak keluarga kamu, Maya. Bukan hanya itu, orang tuanya juga terlibat dalam beberapa transaksi ilegal yang akhirnya mengarah pada tragedi itu. Keluarganya…” Sarah berhenti, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Keluarganya adalah bagian dari semua ini, Maya. Itu yang terjadi.”
Kata-kata itu menghantam Maya seperti petir di siang bolong. Jantungnya berdegup kencang, darahnya terasa dingin. Arka, yang selama ini ia lihat sebagai pria yang penuh perhatian dan kepedulian, ternyata memiliki hubungan dengan masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Bukan hanya Arka, tetapi juga keluarganya yang tak pernah ia ketahui sebelumnya, yang terlibat dalam luka yang dalam bagi keluarganya.
Setelah percakapan itu, Maya merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini? Bagaimana mungkin ia bisa terus dekat dengan Arka setelah mengetahui semua itu? Perasaan kebencian muncul dalam dirinya, bercampur dengan rasa sakit yang sulit dijelaskan.
Beberapa jam kemudian, Maya memutuskan untuk menemui Arka. Ia ingin mendengar penjelasan langsung darinya. Dengan langkah berat, ia menuju ke tempat tinggal Arka, sebuah rumah kecil yang terletak di pinggiran kota, tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama. Namun, saat ia berdiri di depan pintu rumah itu, jantungnya berdebar tak terkendali. Ia merasa seolah-olah akan masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan.
Pintu terbuka, dan Arka muncul dengan wajah yang terlihat lelah. Matanya sedikit merah, seolah ia baru saja terjaga dari tidur yang panjang. Namun, begitu melihat Maya, ekspresi wajahnya berubah. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat Maya datang dengan begitu serius.
“Maya,” kata Arka pelan, suara penuh keraguan. “Ada yang salah?”
Maya menatapnya dalam diam. Hatinya terasa terbakar. “Apa yang Sarah katakan tentang keluargamu? Tentang kecelakaan itu?” Suaranya gemetar, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa hancurnya ia di dalam.
Arka terdiam sesaat, lalu menghela napas. “Maya, aku tahu kamu pasti marah. Tapi aku—”
“Marah?” Maya memotong dengan suara yang lebih keras. “Ini bukan tentang marah, Arka! Ini tentang pengkhianatan. Keluargamu… Keluargamu terlibat dalam tragedi yang menghancurkan keluargaku! Bagaimana bisa kamu menyembunyikan itu dariku?”
Arka tampak terkejut, lalu wajahnya menjadi gelap. “Maya, aku tidak terlibat dalam apa yang terjadi. Aku bahkan tidak tahu tentang hubungan keluargaku dengan kecelakaan itu sampai beberapa waktu yang lalu. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku juga tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini,” jawab Arka dengan suara yang berat.
Maya merasa hatinya terpecah. Bagaimana mungkin ia bisa percaya lagi pada seseorang yang memiliki hubungan dengan tragedi seperti itu? Rasa benci menyelubungi hatinya, namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa Arka bukanlah orang yang sepenuhnya bersalah. Namun, kebencian itu menguasai pikirannya.
“Lalu kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal?” Tanya Maya, hampir berbisik. “Kenapa kamu menyembunyikan semua ini dariku?”
Arka menundukkan kepala, wajahnya dipenuhi penyesalan. “Karena aku takut, Maya. Aku takut kehilanganmu. Aku tahu kamu tidak akan bisa menerima aku setelah mengetahui ini. Aku… aku mencintaimu, dan aku tidak ingin masa laluku menghancurkan segalanya.”
Air mata mulai mengalir di pipi Maya. Ia ingin percaya, tetapi rasa sakit dan kebencian begitu dalam. Kenapa cinta bisa begitu rumit? Kenapa seseorang yang begitu ia cintai, bisa membawa luka yang begitu besar dalam hidupnya?
“Aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini, Arka,” ujar Maya pelan, suaranya terhenti di tenggorokan. “Aku tidak tahu apakah aku bisa hidup dengan kenyataan ini.”
Arka menggenggam tangan Maya dengan erat, mencoba menyentuh hatinya. “Maya, aku tahu aku tidak bisa menghapus masa lalu kita, tapi aku berjanji akan berjuang untuk kita. Aku akan berusaha agar kamu bisa melihat aku bukan karena masa laluku, tapi karena siapa aku sekarang.”
Namun, meskipun Arka berbicara dengan penuh keyakinan, Maya tidak bisa mengabaikan kenyataan yang telah terungkap. Kebencian mulai menguasai perasaannya, dan meskipun ada bagian dari dirinya yang masih mencintai Arka, hatinya merasa begitu terluka.
“Mungkin, ini saatnya bagi kita untuk berpikir kembali tentang apa yang kita inginkan dari hidup ini,” kata Maya, suaranya serak. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya, Arka.
Maya meninggalkan rumah itu dengan perasaan yang tercabik-cabik. Ia tahu bahwa perasaan ini, cinta yang tertinggal, akan selalu membayangi setiap langkahnya. Namun, ia juga tahu bahwa ia terjebak dalam kenangan yang tidak bisa ia hapus, dan rasa benci itu perlahan tumbuh, membakar hatinya. Kini, ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa cinta dan kebencian sering kali berjalan beriringan, seperti dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.*
BAB 4 Api Kebencian
Maya berjalan dengan langkah tergesa-gesa menuju ruang tamu rumahnya. Hatinya berdebar-debar, seakan setiap detakan jantungnya seperti alarm yang menandakan ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Hari itu, Arka menghubunginya dengan pesan singkat, mengajaknya bertemu di tempat yang biasa mereka kunjungi. Sesuatu dalam pesan itu membuat Maya merasa ada yang tidak beres, seperti ada bayangan gelap yang mengintai di balik kata-kata yang ditulisnya.
“Temui aku, Maya. Ada yang harus aku jelaskan,” begitu bunyi pesan Arka yang terasa membebani pikirannya.
Maya tahu bahwa pertemuan ini bukanlah untuk hal-hal yang menyenangkan. Ia merasakan ketegangan yang begitu dalam. Dalam beberapa bulan terakhir, hubungan mereka memang mulai goyah. Kebencian yang datang begitu tiba-tiba, merasuk begitu dalam, membuatnya sulit melihat Arka dengan cara yang sama seperti dulu. Namun, tak ada kata untuk menghindar dari kenyataan ini.
Setibanya di tempat yang telah ditentukan, Maya mendapati Arka sudah duduk di bangku taman, menunggu dengan wajah yang tampak lelah dan penuh penyesalan. Matanya menatap kosong, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Maya berhenti sejenak di depan Arka, memandangnya dengan penuh kecurigaan, merasakan perasaan marah yang mendalam. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan ia merasa seperti sudah cukup banyak dibohongi.
“Arka, apa yang sebenarnya terjadi?” Maya memulai percakapan, suaranya berat, penuh ketegangan.
Arka mengangkat wajahnya perlahan, matanya bertemu dengan mata Maya yang penuh pertanyaan dan amarah. Dalam keheningan yang mencekam, akhirnya ia membuka mulutnya, mengungkapkan kebenaran yang selama ini disembunyikan darinya.
“Ada sesuatu yang perlu kamu tahu, Maya,” kata Arka dengan suara serak. “Aku… aku tidak jujur padamu tentang keluargaku. Keluargaku adalah penyebab semua yang terjadi pada keluargamu. Semua penderitaan itu… aku terlibat.”
Maya merasa seakan dunia berhenti berputar. Kata-kata Arka seperti sabetan pedang yang melukai jantungnya. Ia mundur beberapa langkah, mencoba untuk menenangkan diri, tetapi tak bisa. Api kebencian yang semula menyala perlahan di dalam dirinya kini berkobar hebat. Mengapa Arka menyembunyikan semua itu darinya? Kenapa ia harus dibiarkan terjebak dalam kebohongan yang begitu besar?
“Apa maksudmu?” Maya hampir berteriak, merasa tidak percaya. “Keluargaku menderita karena tindakan keluargamu? Apa yang kamu katakan ini? Apa yang sebenarnya terjadi, Arka?”
Arka menggigit bibirnya, tampaknya sangat kesulitan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia merasa ada beban besar yang sudah terlalu lama tertahan. “Maya, aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Keluargaku terlibat dalam investasi yang merugikan banyak orang, termasuk keluargamu. Dan yang lebih parah, aku baru mengetahui bahwa ayahku yang memimpin semuanya.”
Maya terdiam. Semua yang baru saja Arka katakan terasa seperti hantaman keras yang menghancurkan segalanya. Selama ini, ia tahu bahwa Arka berasal dari keluarga kaya, namun ia tidak pernah menduga bahwa kebohongan yang selama ini disembunyikan begitu dalam dan begitu merusak hidup mereka.
“Apa? Ayahmu? Jadi, ini semua tidak hanya kebetulan, ya? Kamu… kamu tahu semuanya, dan tetap dekat denganku? Begitu banyak orang yang menderita, termasuk keluargaku, dan kamu masih berpura-pura tidak tahu apa-apa?” suara Maya serak karena marah, tetapi juga penuh dengan rasa sakit.
Arka mencoba untuk mendekat, tetapi Maya mundur beberapa langkah, merasa hatinya hancur. “Maya, aku tidak tahu sampai baru-baru ini. Aku tidak tahu betapa besar dampaknya sampai aku menemukan semua ini. Aku merasa terjebak, dan aku juga merasa sangat bersalah.”
Kata-kata Arka terdengar begitu kosong di telinganya. Maya sudah tidak bisa mendengarnya lagi. Kenapa Arka tidak memberitahunya lebih dulu? Mengapa ia membiarkannya terperangkap dalam ilusi tentang cinta mereka, padahal kenyataannya adalah kebohongan yang menyakitkan?
“Kamu bilang kamu tidak tahu, tapi aku rasa itu tidak bisa menjadi alasan!” Maya menatap tajam. “Apa kamu pernah memikirkan bagaimana perasaan aku selama ini? Aku pikir kita memiliki hubungan yang saling percaya, Arka. Tapi ternyata semua itu hanyalah kebohongan belaka!”
Air mata mulai mengalir dari sudut mata Maya, tetapi ia berusaha keras untuk menahannya. Dia merasa sangat marah, tetapi di saat yang sama, ada perasaan terluka yang lebih dalam. Cinta yang pernah tumbuh antara mereka kini telah berubah menjadi api kebencian yang membakar seluruh hatinya.
“Apakah kamu pernah berpikir, Arka?” Maya melanjutkan dengan suara bergetar. “Cinta itu bukan hanya tentang kata-kata manis dan janji-janji kosong. Cinta itu adalah tentang kepercayaan, dan kamu menghancurkannya dengan cara yang tak terbayangkan. Aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Tidak ada yang bisa mengembalikan semua ini.”
Arka tidak bisa berkata-kata. Ia hanya berdiri di sana, merasa seperti orang yang terkutuk. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia telah kehilangan segalanya. Cinta yang ia coba pertahankan kini telah berubah menjadi kebencian yang tak bisa dipadamkan.
Maya menatapnya untuk terakhir kalinya, sebelum membalikkan tubuhnya dan pergi tanpa kata-kata lebih lanjut. Di belakangnya, Arka tetap diam, terjebak dalam kebenciannya sendiri. Api kebencian itu telah dinyalakan, dan kali ini, tidak ada yang bisa memadamkannya.
Maya tahu, setelah hari itu, hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi. Perasaan yang dulu ada di antara mereka telah hancur. Kebohongan itu telah mengubur segalanya dalam api kebencian yang tak mungkin pada.*
BAB 5 Cinta yang Terbakar
Maya menatap Arka dengan mata yang penuh kebingungan dan perasaan yang bercampur aduk. Sejak mengetahui kenyataan yang disembunyikan Arka tentang keluarganya, hatinya terasa seperti terjepit di antara cinta dan kebencian. Mereka berdua sekarang berada di ambang jurang, tempat yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Arka, pria yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati, kini hanya menyisakan rasa sakit dan kemarahan.
“Sebenarnya, kamu berbohong padaku, Arka,” suara Maya terdengar lirih, penuh amarah yang hampir tak terkendali. “Aku percaya padamu, dan kamu tetap memilih untuk diam tentang semua itu. Keluargamu… mereka yang merusak hidupku, hidup keluargaku. Dan kamu tahu itu, kan?”
Arka menunduk, tak mampu menatap Maya. Ia tahu bahwa ia telah menyakitinya dengan kebohongan dan rahasia yang ia sembunyikan begitu lama. Namun, ia juga merasa tak ada pilihan lain. Hidupnya terlalu rumit dan penuh kebohongan yang sulit untuk diungkapkan begitu saja. Keluarganya, yang terlibat dalam tragedi yang melibatkan Maya dan keluarganya, selalu menjadi beban besar dalam hidupnya. Rasa bersalah itu terus menghantuinya, dan ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya.
“Maya…” Arka akhirnya membuka mulut, suara berat dan penuh penyesalan. “Aku… aku benar-benar tidak ingin kamu tahu semua ini. Aku tahu aku sudah membuatmu terluka, dan aku minta maaf. Tapi aku tidak bisa… aku tidak bisa memberi tahu kamu, karena aku takut ini akan merusak segalanya.”
Maya menyeka air matanya yang jatuh, mencoba untuk tetap kuat meski perasaan di dalam dirinya semakin hancur. “Merusak segalanya?” tanya Maya, suaranya hampir tak terdengar. “Kamu tahu, Arka, kita sudah hancur sebelum kamu menyembunyikan semuanya dariku. Aku tahu aku mencintaimu, tapi cinta itu terasa seperti api yang terbakar. Perasaan yang terlalu menyakitkan untuk dipertahankan.”
Maya berbalik dan berjalan menjauh, langkahnya terburu-buru seolah-olah ia ingin meninggalkan segala sesuatu yang mengikatnya pada Arka. Namun, Arka dengan cepat mengejarnya, meraih lengannya dengan lembut, mencoba menahannya.
“Maya, tolong jangan pergi. Aku tahu aku salah, tapi aku ingin kita bicara. Aku tidak ingin kehilanganmu begitu saja,” kata Arka, nada suaranya penuh dengan penyesalan dan keputusasaan.
Maya berhenti sejenak, menatap Arka dengan tatapan yang penuh luka. “Kamu tidak mengerti, Arka. Cinta ini sudah tidak ada lagi. Kita sudah membakar semuanya. Kamu tahu apa yang aku rasakan, kan? Rasanya seperti kita saling membakar dengan api kebencian, dan tidak ada yang bisa memadamkannya.”
Perasaan yang sebelumnya dipenuhi dengan kebahagiaan dan harapan kini berubah menjadi kebingungan yang membara. Maya merasa tidak bisa lagi mempercayai Arka, meskipun cinta yang dulu mereka miliki masih terpendam di dalam hatinya. Cinta yang dulu terasa indah kini terasa seperti api yang tidak bisa dimatikan.
“Kenapa kamu tidak memberi aku kesempatan untuk menjelaskan?” Arka meminta, suaranya memohon. “Aku melakukan semua ini untuk melindungimu, bukan untuk melukaimu. Aku tahu aku sudah terlambat, tapi aku tidak ingin kamu pergi begitu saja tanpa mencoba memahami apa yang terjadi.”
Maya menatap Arka dengan mata yang basah. “Apa yang bisa kamu jelaskan, Arka? Kau sudah cukup membuatku merasa seperti aku adalah musuhmu. Semua yang terjadi, semuanya karena keputusanmu untuk menyembunyikan segalanya dari aku. Aku bukan hanya terluka karena rahasia yang kau simpan, tapi juga karena aku merasa bodoh karena mempercayaimu.”
Kata-kata Maya seperti pisau yang mengiris hati Arka. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa memperbaiki semua yang telah terjadi, tapi ia tidak bisa melepaskan Maya begitu saja. Perasaan itu terlalu kuat, dan ia masih berharap ada jalan keluar untuk mereka berdua.
“Aku mencintaimu, Maya. Itu tidak akan pernah berubah,” Arka berkata dengan penuh keyakinan, meskipun hatinya sendiri hancur. “Aku tahu aku membuat kesalahan besar, tapi aku tidak ingin kita berakhir seperti ini. Aku tidak bisa kehilanganmu.”
Maya terdiam sejenak, menghela napas berat. Perasaan yang terpendam di dalam hatinya begitu kuat, namun kebencian yang ia rasakan lebih mendalam. Cinta mereka sekarang terikat oleh api kebencian yang tidak bisa dihentikan. Sejak pertama kali mereka bertemu, perasaan itu begitu kuat dan penuh gairah. Tetapi sekarang, semua itu telah berubah menjadi sisa-sisa abu yang tidak bisa dibangkitkan lagi.
“Aku juga mencintaimu, Arka,” jawab Maya dengan suara gemetar. “Tapi cinta ini tidak bisa bertahan. Kita sudah saling membakar satu sama lain. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Aku tidak tahu apakah kita akan pernah kembali seperti dulu. Cinta ini sudah terbakar, Arka.”
Air mata Maya mulai mengalir lagi, dan ia berbalik, meninggalkan Arka yang kini terdiam di tempat. Langkah-langkah Maya semakin jauh, meninggalkan kenangan yang pernah mereka bagi bersama.
Arka hanya bisa berdiri, menatap kepergian Maya yang semakin menjauh. Api kebencian yang ia rasakan kini membakar dirinya lebih dalam dari sebelumnya. Semua yang telah terjadi tidak bisa diputar balik. Cinta mereka, yang dulunya begitu indah, kini telah hancur, menjadi abu yang tidak akan pernah bisa dibangkitkan lagi.*
BAB 6 Jalan yang Berbeda
Maya berdiri di depan jendela kamarnya, menatap hujan yang turun perlahan. Setiap tetesnya seolah mewakili perasaan yang mengalir dalam hatinya—berat, menyesakkan, dan penuh dengan penyesalan. Sudah berbulan-bulan sejak perpisahannya dengan Arka, dan meskipun ia mencoba untuk melupakan, kenangan itu tetap menghantui. Ada saat-saat ketika ia merasa bahwa hatinya sudah sembuh, namun dalam kesunyian, luka lama itu kembali terbuka. Meskipun begitu, Maya tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Sudah saatnya bagi dirinya untuk melangkah maju.
Sementara itu, di sisi lain kota, Arka duduk di kursi kerjanya, memandangi dokumen-dokumen yang berserakan di mejanya. Namun, matanya kosong, jauh dari fokus pada pekerjaan yang ada. Hatinya pun terombang-ambing, seperti terombang-ambingnya air di tengah badai. Setiap malam, ia terjaga, memikirkan Maya, memikirkan perpisahan mereka, dan perasaan bersalah yang terus menggerogoti dirinya. Ia tahu bahwa apa yang mereka alami adalah akibat dari kebenciannya terhadap dirinya sendiri, tetapi ia juga menyadari bahwa perasaan cinta mereka tidak semudah dibuang begitu saja. Semua itu terlalu rumit, terlalu banyak hal yang harus diselesaikan.
Maya menekan telepon genggamnya, menatap layar kosong yang menunjukkan satu pesan tak terkirim—pesan yang sudah ia tulis berkali-kali, tetapi tidak pernah ia kirimkan. Pesan itu untuk Arka. “Aku berharap kita bisa berbicara lagi,” begitu kira-kira bunyinya. Tapi entah mengapa, ia tidak bisa menekan tombol kirim. Rasa benci yang ia pendam terhadap Arka masih terlalu besar, dan ia tidak tahu bagaimana harus memulai lagi. Meski ia masih merindukan suara Arka, wajahnya, dan cara mereka berbicara tentang masa depan yang pernah mereka impikan bersama, Maya sadar bahwa ada banyak hal yang perlu dipertanyakan. Apakah mereka bisa memperbaiki segalanya? Apakah cinta itu cukup untuk menyembuhkan semua luka?
Setiap kali Maya mencoba untuk melepaskan kenangan tentang Arka, ada perasaan kosong yang menggantikan. Ia merasa seperti kehilangan dirinya sendiri. Perpisahan ini bukan hanya tentang kehilangan Arka, tetapi juga kehilangan bagian dari dirinya yang dulu ia kenal. Selama ini, ia terlalu bergantung pada perasaan itu—perasaan yang penuh cinta, sekaligus kebencian. Arka adalah bagian dari dirinya yang ia pertahankan begitu lama, meski itu menyakitkan. Kini, setelah perpisahan itu, Maya merasa seperti berjalan sendirian, meski dunia tetap berputar di sekelilingny
Di sisi Arka, semuanya terasa jauh lebih membingungkan. Ia telah berusaha untuk menghapus Maya dari pikirannya, mencoba untuk fokus pada kariernya yang semakin menanjak, tetapi bayangan Maya selalu kembali menghantuinya. Perasaan cinta yang dulu ia rasakan kini berubah menjadi beban yang begitu berat, seperti batu besar yang menghimpit dadanya. Setiap kali ia mencoba untuk tidur, wajah Maya muncul dalam mimpinya, dengan senyuman yang seakan memanggilnya kembali ke dunia yang sudah ia tinggalkan. Namun, ia tahu bahwa itu bukan hanya soal cinta lagi. Hubungan mereka sudah terlalu rusak oleh kebencian dan pengkhianatan. Memaafkan bukanlah hal yang mudah dilakukan, terutama ketika rasa sakit itu terlalu mendalam.
Arka memutuskan untuk pergi ke tempat yang jauh dari kota, jauh dari kenangan yang terus menghantuinya. Ia merasa bahwa mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menjauh sejenak, mencari ketenangan di tempat yang lebih sepi, tanpa gangguan dari masa lalu. Ia berencana untuk fokus pada dirinya sendiri, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Meskipun hatinya masih terikat pada Maya, ia tahu bahwa ia harus menyembuhkan dirinya terlebih dahulu sebelum dapat memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Maya memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Ia mulai mengisi waktu dengan kegiatan yang lebih produktif, berfokus pada pekerjaannya yang selama ini tertunda. Setiap kali ia merasa lelah atau ingin menyerah, ia ingat bahwa hidup tidak bisa terus-menerus dipenuhi dengan kenangan yang tak bisa diubah. Ia harus berani melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu dan mencari kebahagiaan di tempat yang baru, dengan cara yang baru pula. Perlahan, ia mulai membangun kembali kepercayaan diri yang hilang, mencoba untuk menemukan makna hidup yang lebih besar dari sekadar perasaan cinta atau kebencian terhadap Arka.
Namun, meskipun keduanya mencoba untuk melanjutkan hidup mereka, mereka tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kenyataan bahwa mereka masih saling membutuhkan. Ada bagian dalam diri mereka yang terus mencari jawaban tentang apa yang benar-benar terjadi, tentang apakah cinta mereka bisa bertahan atau hanya tinggal kenangan. Keduanya masih terikat oleh sesuatu yang lebih besar daripada kebencian atau cinta—sebuah ikatan yang sulit dijelaskan, tetapi begitu nyata.
Maya dan Arka tahu bahwa mereka harus menerima kenyataan bahwa jalan mereka kini berbeda. Meskipun rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, mereka masing-masing harus menemukan cara untuk melanjutkan hidup tanpa satu sama lain. Namun, apakah mereka benar-benar bisa melupakan semuanya begitu saja? Apakah hubungan yang mereka bangun dengan susah payah akan berakhir begitu saja, atau akankah waktu dan jarak membawa mereka kembali ke satu titik pertemuan yang tak terhindarkan?
Hanya waktu yang akan menjawabnya.*
BAB 7 Pembalasan Dendam
Maya duduk termenung di kursi tua di ruang tamunya. Pikirannya dipenuhi dengan kebencian yang semakin membara. Rasa sakit akibat pengkhianatan yang dirasakan dari masa lalu tidak bisa lagi disembunyikan. Arka, pria yang dulu ia cintai, kini menjadi simbol dari segala penderitaannya. Maya merasa bahwa semuanya—kehilangan keluarganya, perpisahannya dengan orang-orang yang ia sayangi, bahkan rasa hampa yang kini menguasai dirinya—berawal dari Arka dan keluarganya.
“Jika bukan karena mereka, hidupku mungkin tidak akan hancur seperti ini,” gumamnya pelan, menatap kosong ke luar jendela. Hujan turun perlahan, seolah mencerminkan perasaan hatinya yang terus diliputi kemarahan.
Setiap kali mengingat Arka, rasa benci itu semakin mendalam. Ia tahu, bahwa meskipun ada perasaan cinta yang dulu mengikat mereka, sekarang hanya ada api yang membakar semua kenangan manis itu. Maya merasa bahwa balas dendam adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan keadilan. Tidak ada jalan lain selain membalas rasa sakit yang diberikan Arka padanya.
Maya mulai merencanakan langkah-langkahnya. Ia tahu bahwa Arka tidak akan mudah menyerah, dan keluarga Arka memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan. Tetapi, semakin besar rencana balas dendam itu, semakin dalam ia terjerat dalam kebenciannya. Setiap detail dirancang dengan cermat, memastikan bahwa tidak ada celah untuk kegagalan. Maya ingin memastikan bahwa Arka merasakan penderitaan yang sama, merasakan kehilangan yang sama.
Beberapa minggu kemudian, Maya mulai melaksanakan rencananya. Ia menghubungi teman-temannya yang masih memiliki hubungan dengan Arka, orang-orang yang tahu tentang kebiasaan Arka dan keluarga besarnya. Maya mengumpulkan informasi yang bisa digunakannya untuk menjatuhkan Arka, untuk menghancurkan segala yang telah dibangunnya. Ia tahu bahwa Arka adalah pria yang sombong dan percaya diri, selalu merasa berada di atas segalanya. Itu adalah titik kelemahan yang akan ia manfaatkan.
“Arka tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi,” bisik
Namun, semakin dalam Maya terjerumus dalam balas dendam, semakin ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada kekosongan yang tak bisa ia penuhi, meski rencananya hampir berhasil. Setiap kali ia menyakiti Arka, entah dengan kata-kata pedas, atau dengan memanipulasi situasi yang menguntungkannya, hatinya justru terasa semakin hampa. Rasa sakit yang ia coba balaskan kepada Arka malah kembali memantulkan perasaan yang sama pada dirinya sendiri. Rasa benci itu membuatnya merasa lebih terpenjara dalam dirinya.
Suatu malam, setelah berhasil menjatuhkan reputasi Arka di mata beberapa kolega penting, Maya duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Arka: *“Kenapa kamu melakukan ini, Maya? Apa yang telah aku lakukan padamu sehingga kau melakukan ini?”*
Pesan itu begitu sederhana, namun sangat tajam. Arka tidak membalas dengan kemarahan seperti yang Maya harapkan. Sebaliknya, ada kesedihan yang mendalam dalam kata-kata itu. Maya menunduk, menatap tangan yang mulai gemetar. Ia tahu bahwa ia tidak bisa terus seperti ini. Kebencian yang ia rasakan telah mengambil kendali atas dirinya, tetapi ia juga sadar bahwa kebencian itu tidak membawa kebahagiaan.
Arka tidak tahu alasan di balik semua ini. Ia tidak tahu bahwa keluarga Arka yang terlibat dalam tragedi yang merenggut nyawa orang tuanya. Maya telah menyaksikan bagaimana keluarganya hancur karena permainan kekuasaan yang dimainkan oleh orang-orang terdekat Arka. Namun, apa yang sedang ia lakukan sekarang bukanlah jalan keluar. Semakin ia menyakiti Arka, semakin ia merasa tersesat dalam kebenciannya se
Di sisi lain, Arka merasa terjebak dalam kebingungannya sendiri. Setiap kali ia berusaha untuk mendekati Maya, ia selalu diserang dengan kenyataan yang ia tidak bisa hindari—bahwa dirinya telah menjadi bagian dari luka besar yang dialami Maya. Arka mulai menyadari bahwa cinta mereka, yang dulunya penuh dengan harapan, telah berubah menjadi pertempuran batin yang tak berujung.
“Apakah aku pantas mendapatkan pengampunan? Ataukah aku hanya seorang penjahat dalam hidupnya?” pikir Arka, merasakan betapa berat beban di hatinya.
Maya, dengan segala rencananya, semakin kehilangan arah. Ia mulai merasakan kehampaan yang tidak bisa diisi dengan pembalasan dendam. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah ada akhirnya untuk kebencian ini, atau apakah ia akan terus tenggelam dalam perasaan yang menghancurkannya perlahan. Setiap langkah yang ia ambil untuk menyakiti Arka hanya meninggalkan jejak-jejak luka yang semakin dalam di hatinya.
Pagi itu, setelah beberapa hari penuh dengan keputusan yang semakin membuatnya bingung, Maya memutuskan untuk menemui Arka. Ia tahu bahwa jika ia ingin melepaskan semua ini, ia harus berbicara dengan Arka secara langsung. Maya merasakan bahwa api kebencian yang membara di dalam dirinya sudah mulai padam, tetapi ia tidak tahu apakah ada jalan kembali. Yang jelas, ia merasa bahwa perjalanannya untuk membalas dendam telah mengubah dirinya menjadi seseorang yang tidak ia kenali lagi.
Arka, yang sudah menunggu di tempat yang sama di mana mereka pertama kali bertemu, menatap Maya dengan penuh harapan. Maya menghela napas panjang dan berkata dengan suara yang sedikit gemetar, “Aku tidak bisa terus seperti ini, Arka. Dendam ini telah mengubah aku. Aku tidak tahu siapa diriku lagi.”
Dan untuk pertama kalinya, dalam beberapa bulan terakhir, keduanya saling memandang tanpa kebencian, tetapi dengan pemahaman yang dalam. Mungkin tidak ada jalan kembali, tetapi mereka berdua tahu bahwa kebencian tidak akan pernah membawa mereka pada kebahagiaan. Mungkin, saat itu, mereka hanya bisa melepaskan masa lalu dan mencoba menemukan kedamaian dalam diri mereka masing-masing.
Dendam telah membakar banyak hal, tetapi Maya akhirnya menyadari bahwa pembalasan bukanlah jalan menuju penyembuhan. Sebaliknya, hanya dengan melepaskan kebencianlah ia bisa menemukan kedamaian.***
————–THE END—————