Kisah Cinta
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta
Kisah Cinta
No Result
View All Result

SALING MENUNGGU, SALING MENCINTAI

SALING MENUNGGU ,SALING MENCINTAI

SAME KADE by SAME KADE
March 20, 2025
in Cinta Jarak jauh
Reading Time: 41 mins read
SALING MENUNGGU, SALING MENCINTAI

Daftar Isi

  • Bab 1: Awal Cinta yang Tertunda
  • Bab 2: Rindu yang Tertahan
  • Bab 3: Jarak yang Menguatkan
  • Bab 4: Ketegangan yang Terpecah
  • Bab 5: Waktu yang Membuktikan
  • Bab 6: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Bab 1: Awal Cinta yang Tertunda

Cerita dimulai dengan mengenalkan Nara dan Zara yang sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bertumbuh bersama, berbagi momen indah, tetapi juga dipisahkan oleh jarak dan impian masing-masing.

Meski keduanya saling mencintai, mereka tahu bahwa waktu belum tepat untuk bersama. Zara pergi ke luar kota untuk melanjutkan studi, sementara Nara memilih untuk tinggal dan mengurus keluarganya.

Bab pertama diakhiri dengan keduanya berpisah di pelabuhan kereta, berjanji untuk tetap saling menunggu, meski tak tahu kapan akan bertemu lagi.

Nara masih ingat jelas hari itu. Semua berawal pada musim panas yang cerah, ketika langit biru terasa lebih dalam dan hangatnya matahari mengundang senyum pada setiap wajah yang ditemui. Ia baru saja memasuki usia 17 tahun dan berada dalam fase hidup di mana dunia terasa begitu luas, penuh dengan kemungkinan yang belum tersentuh. Di suatu sore yang biasa, tak ada yang menyangka jika sebuah pertemuan biasa akan mengubah jalan hidupnya selamanya.

Hari itu, Nara sedang berjalan di taman dekat rumahnya. Ia sedang menikmati waktu sendiri, berjalan dengan langkah santai sembari menikmati suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Ia suka datang ke taman ini, tempat yang selalu membuatnya merasa tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.

Namun, pada sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Sesosok pria yang tidak dikenalnya sedang duduk di bangku taman, tampak terbenam dalam pikirannya. Tangan pria itu memegang buku yang terbuka, tetapi matanya terlihat kosong, seakan tak tertarik dengan apapun yang ada di hadapannya. Nara, yang biasanya tidak terlalu memperhatikan orang asing, merasa ada sesuatu yang menarik tentang pria tersebut. Ia tidak bisa menjelaskan mengapa, tetapi ada dorongan untuk mendekat.

“Maaf, apakah kamu sedang menunggu seseorang?” tanya Nara dengan hati-hati.

Pria itu menoleh dengan sedikit kaget, seakan tidak menyangka akan ada orang yang berbicara padanya. Wajahnya sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum, senyum yang tidak bisa disembunyikan. Senyum yang begitu tulus dan hangat.

“Ah, tidak juga,” jawabnya sambil menutup bukunya perlahan. “Hanya… berpikir. Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”

Nara terkejut dengan pertanyaan itu. Biasanya, orang akan langsung berjalan melewati seseorang yang sedang duduk sendiri. Namun, pria ini tampaknya justru ingin berbicara. Sebuah perasaan aneh mulai muncul dalam diri Nara. Rasa ingin tahu, kekaguman, dan juga sedikit kecanggungan. “Aku hanya berjalan-jalan, menikmati sore. Taman ini memang menyenangkan untuk meluangkan waktu sendiri,” jawab Nara sambil tersenyum.

Pria itu mengangguk, menatap Nara dengan pandangan yang lembut. “Aku Zara,” katanya memperkenalkan diri. “Dan aku juga suka datang ke sini untuk berpikir tentang banyak hal.”

Nara tertegun sejenak, terpesona dengan ketenangan yang dipancarkan oleh Zara. Nama itu terdengar familiar, tapi Nara tidak bisa mengingatnya. “Nara,” jawabnya dengan senyum malu. “Senang bertemu denganmu, Zara.”

Itulah awal pertemuan mereka—sesuatu yang sangat biasa, namun di saat yang bersamaan terasa begitu penting. Mereka tidak tahu pada saat itu bahwa pertemuan singkat itu akan berlanjut ke perasaan yang lebih dalam.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan pertemuan mereka di taman itu menjadi lebih sering. Setiap sore, Nara dan Zara akan duduk bersama di bangku yang sama, berbicara tentang kehidupan mereka, tentang impian, ketakutan, dan hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Nara merasa nyaman dengan Zara, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain. Zara memiliki cara berbicara yang begitu tenang dan penuh pengertian, seolah-olah ia selalu tahu apa yang ingin Nara katakan meskipun ia belum mengucapkannya.

Nara juga merasakan ketertarikan yang semakin mendalam kepada Zara. Ada sesuatu yang berbeda dari Zara, sesuatu yang sulit dijelaskan. Mungkin itu adalah cara Zara mendengarkan dengan penuh perhatian, atau senyumannya yang selalu membuat dunia Nara terasa lebih ringan.

Namun, meskipun ada perasaan itu, Nara tidak pernah mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Ia merasa ada sesuatu yang menghalangi. Mungkin karena mereka hanya bertemu di taman, di luar rutinitas kehidupan mereka yang sebenarnya. Mungkin juga karena Zara tidak pernah menunjukkan tanda-tanda perasaan lebih terhadapnya. Jadi, Nara memilih untuk tetap diam.

Sementara itu, Zara juga merasa ada sesuatu yang istimewa dalam dirinya saat bersama Nara. Ia tahu bahwa perasaan yang muncul antara mereka bukan sekadar perasaan biasa. Tetapi, seperti Nara, Zara juga terjebak dalam keraguan. Ia tahu bahwa hubungan ini—meskipun indah dan penuh kebersamaan—akan selalu dibayangi oleh kenyataan bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda.

Zara adalah seorang pemuda yang penuh dengan ambisi. Ia memiliki cita-cita besar untuk melanjutkan studinya di luar negeri, mengejar karier yang telah lama ia impikan. Sementara Nara, meskipun juga memiliki mimpinya sendiri, lebih fokus pada kehidupan sehari-hari dan tanggung jawab yang ada di depan mata. Perbedaan itu, meskipun tidak diungkapkan dengan kata-kata, selalu mengambang di antara mereka.

Satu hari, saat mereka sedang duduk di taman, Zara akhirnya mengungkapkan perasaannya. “Nara,” katanya, suara yang hampir seperti bisikan, “Aku ingin kamu tahu, aku sangat senang bisa mengenalmu. Aku merasa seperti ada yang berbeda ketika aku bersamamu.”

Nara menatapnya dengan ragu, tetapi hatinya berdebar. “Aku juga merasa begitu, Zara,” jawabnya dengan hati-hati.

Zara menghela napas, seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi antara kita,” katanya, “Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku menghargai setiap momen yang kita habiskan bersama. Meskipun aku tahu aku harus pergi suatu hari nanti.”

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar dalam hati Nara. Ia tahu bahwa Zara akan pergi, dan ia merasa takut untuk membiarkan dirinya lebih dalam lagi terjebak dalam perasaan ini. Mereka belum cukup mengenal satu sama lain untuk merasakan begitu dalam, tetapi kenyataan bahwa Zara akan meninggalkan kota ini suatu saat nanti sudah cukup untuk membuatnya ragu.

Tak lama setelah pengakuan itu, Zara mendapat tawaran untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Tawaran itu datang begitu mendesak, memaksanya untuk membuat keputusan besar dalam hidupnya. Sementara itu, Nara merasa bahwa meskipun ia merasakan sesuatu yang kuat terhadap Zara, ia tidak bisa menahan langkah Zara untuk mengejar cita-citanya.

Pertemuan mereka yang selalu penuh dengan tawa kini terasa semakin berat. Mereka tahu bahwa perpisahan sudah dekat. Mereka berdua merasakan hal yang sama—rasa sakit karena harus mengucapkan selamat tinggal. Namun, perasaan itu tidak diungkapkan dengan kata-kata. Tidak ada janji atau harapan kosong. Hanya kebisuan yang mengisi ruang antara mereka.

Di hari perpisahan itu, Nara mengantar Zara ke bandara. Mereka berdua hanya berdiri diam, tak tahu harus berkata apa. Nara menatap Zara dengan mata yang hampir berkaca-kaca. “Selamat jalan, Zara,” katanya, suaranya hampir hilang dalam desiran angin.

Zara menatapnya, lalu mengangguk. “Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku, Nara. Meskipun kita harus berpisah, aku akan selalu mengingatmu.”

Nara tersenyum kecil, mencoba menahan air matanya. “Aku juga akan mengingatmu, Zara. Semoga segala impianmu tercapai.”

Mereka berpelukan, sebuah pelukan yang tidak hanya berarti selamat tinggal, tetapi juga sebuah pengakuan atas perasaan yang mereka miliki, yang tak sempat diungkapkan lebih dalam.

Zara melangkah masuk ke dalam terminal, meninggalkan Nara yang berdiri di sana, menatap sosoknya yang semakin kecil hingga akhirnya menghilang. Di saat itu, Nara merasa ada yang hilang dalam dirinya—sebuah bagian dari dirinya yang tidak bisa digantikan oleh apapun.

Minggu-minggu setelah perpisahan itu, Nara merasa hidupnya hampa. Walaupun ia melanjutkan rutinitas seperti biasa, rasanya ada sesuatu yang hilang. Ia sering teringat pada Zara, pada senyumannya, pada percakapan-percakapan mereka yang penuh dengan harapan. Tetapi, yang lebih berat lagi adalah kenyataan bahwa hubungan mereka telah tertunda, dan mungkin tidak akan pernah terwujud.

Namun, dalam hatinya, Nara tahu bahwa apa yang mereka miliki bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja. Cinta yang tulus itu masih ada, meskipun terhalang oleh jarak dan waktu.

Zara juga merasa hal yang sama. Meski ia sibuk dengan studinya di luar negeri, perasaan terhadap Nara tidak pernah hilang. Setiap kali ia mendengar lagu tertentu atau melihat pemandangan yang mengingatkannya pada kota kecil.

Setelah Zara meninggalkan kota untuk mengejar cita-citanya, Nara kembali menjalani kehidupan sehari-hari. Namun, perasaan yang selama ini ia sembunyikan, yang telah tumbuh begitu kuat sejak pertemuan pertama mereka, kini muncul dengan lebih jelas. Setiap sudut kota seolah mengingatkannya pada Zara—tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi bersama, percakapan yang menghangatkan hati, bahkan senyumnya yang tak pernah ia lupakan.

Tiap kali Nara berjalan di taman yang biasa mereka datangi, ia merasakan seakan-akan Zara masih ada di sana. Begitu juga saat ia melewati kafe kecil tempat mereka pertama kali mengobrol lebih lama setelah pertemuan di taman. Semuanya terasa sepi dan hampa tanpa kehadiran Zara.

Namun, Nara tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan. Ia kembali fokus pada pekerjaannya dan kehidupan sosialnya. Teman-temannya mulai memperhatikannya yang tampak lebih sering melamun, meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya. Ia tahu, meskipun hatinya masih tertambat pada Zara, ia harus menghadapinya dengan lebih bijak. Cinta bukanlah satu-satunya hal yang bisa mengatur hidupnya.

Di sisi lain, Zara juga tidak bisa menghindari perasaan yang terus menghantuinya. Meskipun berada di kota besar yang penuh dengan peluang dan tantangan, pikirannya selalu kembali kepada Nara. Setiap kali ia merasa cemas atau rindu, nama Nara yang terlintas dalam pikirannya. Ia bertanya-tanya apakah Nara merasakan hal yang sama. Zara menyadari bahwa ada bagian dalam dirinya yang tidak bisa dilupakan begitu saja, sebuah kenangan yang tak bisa dipadamkan meskipun ia berusaha untuk fokus pada studinya.

Zara merasa bersalah karena harus meninggalkan Nara, tetapi pada saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan mimpinya terhenti begitu saja. Ia ingin membuktikan kepada dirinya sendiri dan kepada orang-orang di sekitarnya bahwa ia bisa mencapai apa yang ia impikan. Namun, setiap kali ia melangkah maju, ada perasaan kekosongan yang ia rasakan, seolah sesuatu yang sangat berharga tertinggal di belakangnya—Nara.

Satu tahun berlalu sejak perpisahan mereka, dan meskipun komunikasi mereka masih berjalan melalui pesan singkat dan panggilan telepon sesekali, rasanya semakin sulit untuk mempertahankan hubungan ini. Ada jarak fisik yang memisahkan mereka, tetapi yang lebih mengganggu adalah jarak emosional yang semakin terasa. Mereka saling merindukan, tetapi tak ada satu pun yang berani membuka perasaan yang lebih dalam. Keduanya tahu bahwa ada kemungkinan mereka tak akan pernah benar-benar bersama, tetapi entah mengapa perasaan itu tetap ada, seperti sebuah api yang tak kunjung padam.

Pada suatu malam yang hujan, Nara duduk di ruang tamunya sambil menatap layar ponselnya. Ia baru saja menerima pesan dari Zara yang mengatakan bahwa ia merindukannya. Kata-kata itu seolah membuka kembali pintu perasaan yang selama ini ia coba tahan. Ia meresapi setiap huruf dalam pesan itu, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa perasaan mereka tidak akan pernah pudar.

“Aku juga merindukanmu, Zara,” jawab Nara dalam pesan singkatnya, tetapi ia ragu untuk mengirimnya. Hatinya berkecamuk. Apakah ini akan mengubah segala sesuatunya? Apakah ini keputusan yang benar? Ia takut bahwa meskipun mereka saling mencintai, kenyataan hidup akan selalu menghalangi mereka.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya Nara mengirimkan pesan itu. Ketika layar ponselnya menampilkan tanda centang biru, hati Nara berdegup kencang. Zara membalasnya dengan cepat, mengungkapkan kerinduannya yang tak bisa ia pendam lebih lama.

“Seperti yang selalu aku katakan, Nara, meskipun kita jauh, aku selalu memikirkanmu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, tapi hatiku selalu ada bersamamu.”

Pesan itu membuat Nara terharu. Perasaan yang selama ini ia pendam kini terasa semakin nyata. Namun, di sisi lain, ia merasa bingung. Apa yang bisa mereka lakukan dengan perasaan ini? Apakah mereka bisa tetap bersama meskipun terpisah oleh ribuan kilometer?

Beberapa bulan setelah itu, sebuah kesempatan langka datang. Zara kembali ke kota untuk mengunjungi keluarganya, dan kali ini, ia bertekad untuk bertemu dengan Nara. Kedua hati yang telah terpisah lama ini akhirnya memiliki kesempatan untuk bertemu lagi.

Saat pertemuan itu tiba, Nara merasa gugup dan cemas. Ia tidak tahu harus bagaimana bersikap. Apakah mereka bisa melanjutkan hubungan ini, atau apakah mereka akan tetap terjebak dalam kenangan masa lalu yang tak pernah bisa mereka wujudkan?

Pertemuan mereka terjadi di tempat yang sama, taman yang dulu menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka. Waktu seolah berjalan mundur saat mereka saling menatap. Zara tersenyum lembut, sementara Nara hanya bisa terdiam, mencoba mencerna kenyataan bahwa orang yang telah ia rindukan begitu lama kini ada di depannya.

“Sudah lama sekali, ya?” kata Zara dengan suara yang penuh kehangatan.

Nara hanya mengangguk, tidak mampu berkata banyak. Ia merasakan ketegangan di antara mereka, namun di saat yang sama, hatinya merasa begitu tenang. Zara masih sama, dengan senyum yang mampu membuatnya merasa seperti di rumah. Semua perasaan yang sempat hilang kini kembali muncul, dengan lebih kuat dan lebih jelas.

Mereka duduk di bangku taman yang sama seperti dulu. Angin sore yang sejuk berhembus, membawa serta kenangan lama yang kembali hidup. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Nara akhirnya. “Semua terasa begitu rumit.”

Zara mengangguk, lalu memegang tangan Nara dengan lembut. “Aku juga merasa begitu. Tapi satu hal yang aku tahu, Nara, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Mungkin kita terpisah oleh jarak, oleh waktu, tapi perasaan ini… perasaan ini tetap ada.”

Nara menatap Zara dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga merasakan hal yang sama, Zara. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, meskipun kita terpisah begitu lama.”

Mereka duduk dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara alam dan perasaan yang tak terucapkan. Hari itu, pertemuan mereka bukanlah tentang mencari jawaban, melainkan tentang merasakan kembali apa yang telah hilang. Cinta yang tertunda, yang sempat terabaikan oleh waktu dan jarak, kini kembali muncul dengan lebih kuat. Namun, meskipun perasaan itu begitu jelas, mereka berdua sadar bahwa ada banyak hal yang harus mereka pertimbangkan. Waktu, kesempatan, dan pilihan hidup yang terus berjalan.

Setelah pertemuan itu, Nara dan Zara kembali terpisah. Namun, kali ini, perpisahan itu tidak terasa seberat sebelumnya. Mereka tahu bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu, mereka masih memiliki satu sama lain dalam hati mereka. Mereka mulai berbicara lebih sering, berbagi cerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Meskipun masih ada banyak ketidakpastian di masa depan, mereka belajar untuk menerima kenyataan bahwa cinta mereka bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan untuk terjadi begitu saja. Mereka harus memberi ruang untuk impian masing-masing, namun tanpa mengabaikan perasaan yang telah tumbuh begitu lama.

Nara dan Zara tahu bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang berharga. Mereka tidak tahu bagaimana masa depan akan terbentuk, tetapi satu hal yang pasti—perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, meskipun dengan langkah-langkah yang hati-hati dan penuh pertimbangan.

Cinta yang tertunda mungkin bukanlah sesuatu yang ideal, tetapi bagi mereka, cinta itu sudah cukup kuat untuk bertahan. Dan meskipun masa depan penuh dengan ketidakpastian, mereka tahu bahwa mereka akan selalu saling menunggu, saling mencintai, meskipun jarak dan waktu terus menguji mereka.*

Bab 2: Rindu yang Tertahan

Nara merasakan betapa sulitnya menunggu, tetapi ia memilih untuk tidak membuka hati untuk orang lain, karena hanya Zara yang ia cintai. Begitu pula dengan Zara, yang setiap malam merenung tentang Nara meskipun ia disibukkan dengan aktivitasnya di kota besar.

Keduanya berkomunikasi lewat pesan singkat, tetapi jarak emosional mulai terasa. Mereka rindu, tetapi juga tidak ingin mengganggu mimpi masing-masing.

Zara mengusulkan agar mereka berdua fokus pada cita-cita masing-masing, meski hatinya terasa berat.

Setelah pertemuan singkat di taman beberapa bulan yang lalu, Nara dan Zara kembali terpisah oleh jarak yang tak terelakkan. Zara kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya, sementara Nara melanjutkan kehidupannya di kota kecil yang sama. Meskipun hubungan mereka hanya sebatas kenangan manis yang terukir di hati, rasa rindu yang mendalam tetap menghinggapi keduanya. Namun, tak satu pun dari mereka yang berani membuka percakapan tentang perasaan yang lebih dalam. Mereka memilih untuk diam, berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu terbawa emosi.

Setiap hari, Nara melanjutkan rutinitasnya dengan cara yang sama. Bangun pagi, bekerja, bertemu teman-teman, dan melanjutkan hobinya menulis di jurnal kecil miliknya. Tetapi, setiap malam, sebelum tidur, rasa rindu itu datang begitu kuat. Ia sering kali terbangun di tengah malam, memikirkan Zara, berandai-andai tentang bagaimana rasanya jika mereka bisa bersama di saat seperti ini. Namun, ia tahu bahwa itu hanya mimpi. Keseharian yang berat dan rutinitas yang padat seakan mengajarkan Nara untuk menahan perasaan itu, meskipun itu sangat sulit.

Hari demi hari, perasaan itu semakin membekas, semakin menguat. Nara tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perasaan cinta yang dia miliki pada Zara bukanlah sesuatu yang bisa begitu saja dilupakan atau diabaikan. Hatinya masih terikat pada Zara, meskipun hanya bisa mengingatnya dari kejauhan.

Zara, di sisi lain, juga merasakan hal yang sama. Walaupun ia dikelilingi oleh teman-teman baru dan kegiatan kampus yang sibuk, pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Nara. Ia mencoba untuk fokus pada studinya dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada, tetapi setiap kali ia merasa kesepian atau terjebak dalam momen yang sulit, nama Nara selalu muncul dalam benaknya. “Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Nara?” pikirnya setiap kali ia merindukan gadis itu.

Namun, meskipun keduanya saling merindukan, mereka tidak bisa menyatukan perasaan mereka. Zara merasa bahwa ia tidak bisa mengalihkan fokusnya dari studinya. Di luar itu, ia juga merasa takut untuk membuka perasaan terhadap Nara, karena ia tahu bahwa hidup mereka sangat berbeda. Zara ingin memberikan kesempatan untuk karir dan masa depannya, dan ia tidak ingin Nara terjebak dalam perasaan yang mungkin tidak akan bisa dia wujudkan.

Nara pun merasakan hal yang sama. Ia tahu bahwa meskipun ada perasaan yang kuat terhadap Zara, ia tidak bisa mengharapkan lebih. Zara akan pergi, dan mereka akan terpisah oleh jarak yang semakin jauh. Oleh karena itu, meskipun hati Nara terasa hancur setiap kali ia memikirkan Zara, ia tetap berusaha untuk menahan perasaannya. Ia berusaha untuk tetap menjalani hidupnya dengan cara yang normal, meskipun hatinya terasa hampa tanpa kehadiran Zara di sisinya.

Pagi itu, Nara membuka jendela kamar tidurnya dan menatap kota yang masih terbalut kabut pagi. Udara sejuk memasuki ruangannya, memberikan kesegaran pada tubuhnya. Namun, meskipun segalanya terlihat indah di luar sana, Nara merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Hatinya terasa kosong, meskipun ia sudah mencoba untuk mengisi waktu dengan berbagai kegiatan. Ketika pandangannya tertuju pada layar ponselnya, ia melihat nama Zara muncul di salah satu pesan masuk yang belum terbaca.

Tiba-tiba, hati Nara berdebar. Ia tahu betul siapa yang mengirim pesan itu, dan meskipun jarak di antara mereka begitu jauh, setiap kali Zara menghubunginya, perasaan rindu itu datang kembali dengan begitu kuat.

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Nara membuka pesan itu. Zara hanya menulis satu kalimat singkat, “Aku merindukanmu, Nara.” Kalimat sederhana itu, yang mengandung perasaan yang begitu dalam, membuat Nara tidak bisa menahan air matanya. Ia merindukan Zara lebih dari yang bisa ia ungkapkan.

“Nara, aku… aku tidak tahu bagaimana menghadapinya. Aku ingin sekali berada di dekatmu, tetapi aku tahu aku harus tetap di sini,” begitu balasan Nara yang dia ketik dengan perasaan campur aduk. Tidak ada yang lebih diinginkannya selain bisa kembali berada di dekat Zara, tetapi kenyataan bahwa mereka terpisah oleh jarak dan waktu membuat Nara merasa putus asa.

Zara membalasnya beberapa saat kemudian, “Aku tahu, Nara. Aku merasakannya juga. Tapi kita harus bertahan. Aku janji, suatu hari nanti kita akan bisa bersama, meskipun itu membutuhkan waktu.”

Pesan itu menyentuh hati Nara. Kata-kata Zara memberikan harapan yang kecil, namun cukup untuk membuatnya bertahan lebih lama. Meski begitu, Nara tidak bisa menepis rasa kesepian yang semakin hari semakin menggerogoti hatinya. Setiap kali ia berjalan di jalan-jalan kota ini, ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Zara selalu ada dalam pikirannya, dan ia merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya yang paling berharga.

Hari-hari berlalu, dan meskipun komunikasi mereka tidak terputus, perasaan yang tertahan itu tetap menggelayuti Nara. Ia mencoba untuk menerima kenyataan bahwa hubungan mereka mungkin tidak akan pernah berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan. Tetapi, setiap kali ia mendengar suara Zara di ujung telepon, atau membaca pesan singkat yang dikirimkan Zara, ia merasa sedikit lebih kuat. Seolah-olah ada harapan kecil yang tumbuh, meskipun itu sangat rapuh.

Pada satu kesempatan, saat mereka berbicara melalui video call, Zara menatap Nara dengan tatapan yang serius. “Aku ingin kamu tahu, Nara,” katanya, “Aku merasa bersalah. Aku merasa seperti aku meninggalkanmu tanpa penjelasan. Aku tidak ingin kau merasa kesepian di sini.”

Nara terdiam sejenak, menatap Zara dalam diam. “Aku tahu kau harus mengejar impianmu, Zara. Aku tidak ingin menghalangi itu,” jawabnya, mencoba untuk tidak menunjukkan betapa dalam rasa rindunya. “Aku hanya… aku hanya berharap suatu hari nanti, aku bisa berada di sana bersamamu.”

Zara menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, seolah berusaha membaca apa yang ada di balik kata-kata Nara. “Aku ingin kita bertahan, Nara. Aku ingin kita bisa saling mendukung, meskipun kita terpisah jauh. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, meskipun aku tidak bisa selalu berada di sampingmu.”

Mendengar kata-kata itu, hati Nara terasa hangat, tetapi juga semakin berat. Rindu yang tertahan semakin menjadi-jadi. Ia ingin sekali mengulurkan tangan untuk meraih Zara, untuk merasakan kehadirannya lebih dekat, tetapi kenyataan itu tidak memungkinkan. Mereka masih terpisah oleh ribuan kilometer, dan perasaan itu terus bertumbuh, seiring dengan waktu yang terus berlalu.

Meskipun komunikasi mereka tetap terjalin dengan baik, Nara dan Zara menyadari bahwa hubungan mereka semakin teruji oleh waktu dan jarak. Mereka berdua semakin sibuk dengan kehidupan masing-masing. Zara dengan studinya, dan Nara dengan pekerjaannya. Bahkan, ketika mereka berbicara, ada rasa canggung yang mulai muncul, karena mereka sudah terlalu lama terpisah. Namun, meskipun demikian, keduanya tidak bisa menepis perasaan yang terus muncul setiap kali mereka berbicara.

Tentu saja, ada banyak keraguan dalam pikiran mereka. Akankah hubungan ini berlanjut? Apakah mereka akan selalu merasa seperti ini, terjebak dalam perasaan yang tak terucapkan? Pada satu titik, Nara merasa bahwa ia harus melepaskan perasaan ini dan menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa bersama. Namun, setiap kali ia mencoba untuk melupakan Zara, perasaan itu kembali menghantuinya.

Di sisi lain, Zara juga merasa terjebak dalam kebingungannya. Ia tidak ingin kehilangan Nara, tetapi ia juga tidak ingin menghancurkan impian dan masa depannya. Zara tahu bahwa cinta mereka bukanlah hal yang bisa dengan mudah diabaikan. Tetapi ia juga sadar bahwa hidup harus terus berjalan, dan ia harus memilih jalannya sendiri.

Beberapa minggu berlalu setelah video call yang mengharukan itu, dan Nara mulai merasakan kesendirian yang semakin mendalam. Setiap kali ia melangkah keluar, ia merasa ada bagian dari dirinya yang hilang. Di antara keramaian kota yang sibuk, ia seperti orang asing yang mencari sesuatu yang tak dapat ia temukan. Setiap sudut kota mengingatkannya pada Zara, pada hari-hari mereka bersama yang begitu singkat namun begitu berkesan.

Saat Nara melewati jalan yang pernah mereka tempuh bersama, hatinya bergetar. Tempat-tempat itu sekarang terasa begitu berbeda, seolah kehilangan sesuatu yang tak dapat digantikan. Taman yang biasa mereka kunjungi, kafe tempat mereka duduk berjam-jam berbicara tanpa lelah, bahkan lampu-lampu jalan yang menyinari malam—semuanya terasa hampa tanpa Zara di sisi Nara.

Ia tahu, meskipun Zara berada jauh di sana, perasaan itu tetap mengakar kuat. Rindu yang ia pendam semakin membara. Terkadang, Nara merasa seperti ada dua dunia yang hidup di dalam dirinya. Dunia yang ia jalani sekarang, penuh dengan rutinitas dan kewajiban, dan dunia yang ia inginkan, dunia di mana ia bisa bersama Zara. Dunia itu terasa begitu jauh, tetapi hatinya tetap meyakini bahwa cinta mereka tak akan pernah pudar, meskipun terhalang oleh jarak.

Sementara itu, di sisi Zara, perasaan yang sama menghantui. Walaupun berada di negara yang berbeda, ia tak pernah bisa menghindar dari bayang-bayang Nara. Setiap kali ia berjalan menuju kampus, atau saat ia duduk di kafe, bayangan Nara selalu hadir di pikirannya. Zara mencoba untuk tetap fokus pada studi dan kegiatan lainnya, tetapi setiap malam, saat kesunyian mulai mengisi ruang di kamarnya, ia merasakan kekosongan yang dalam.

“Aku merindukanmu,” begitu Zara menulis dalam pesan yang ia kirimkan beberapa malam yang lalu. Setiap kata itu penuh dengan emosi yang tak bisa ia ungkapkan. “Aku ingin sekali berada di sini denganmu, tetapi aku tahu kita tidak bisa selalu bersama. Aku ingin tetap kuat, Nara, tapi aku tak tahu bagaimana.”

Zara menatap pesan itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ia menyadari bahwa meskipun ia berusaha untuk fokus pada studinya, perasaan rindu itu semakin sulit untuk diabaikan. Ia ingin tahu apa yang Nara rasakan. Apakah Nara merasakannya juga? Namun, ia takut untuk bertanya lebih jauh, karena ia tahu bahwa hidup mereka sudah terlalu rumit.

Beberapa waktu setelah mereka berkomunikasi melalui pesan singkat, Nara mulai merasakan kelelahan yang tak terlihat. Tidak hanya fisik, tetapi juga emosional. Perasaan cinta yang begitu besar terhadap Zara terasa semakin berat untuk ditanggung, sementara kenyataan bahwa mereka terpisah oleh jarak begitu sulit untuk dihadapi. Ia berusaha untuk bertahan, untuk menjalani hidupnya seperti biasa, tetapi hatinya terasa hampa. Rindu itu seakan-akan menggerogoti setiap langkah yang ia ambil, membuatnya merasa seperti berjalan tanpa arah.

Tapi, meskipun perasaan itu semakin sulit untuk dipendam, Nara tahu bahwa ia harus melanjutkan hidupnya. Ia berusaha untuk lebih fokus pada pekerjaannya, bertemu teman-teman, dan menjalani kehidupan sosialnya dengan cara yang lebih positif. Namun, setiap kali ia sejenak melupakan Zara, perasaan itu muncul kembali dengan lebih kuat, seperti sebuah bayang-bayang yang terus mengikuti.

Pada suatu malam yang sunyi, Nara duduk di balkon rumahnya, menatap langit yang gelap. Hatinya penuh dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Ia memikirkan Zara, dan tanpa sadar, ia pun meraih ponselnya. Layar ponsel menyala, menunjukkan sebuah pesan dari Zara yang baru saja masuk. “Aku ingin kau tahu, Nara, aku merindukanmu. Aku harap kita bisa bertemu lagi, suatu saat nanti.”

Membaca pesan itu, Nara merasa sebuah hangat di hatinya. Zara, meskipun berada jauh, masih berusaha untuk menjaga hubungan mereka tetap hidup. Ia merasa tersentuh oleh kata-kata itu, tetapi di saat yang sama, ia merasa semakin terjebak dalam perasaan yang tak terungkapkan.

Beberapa bulan kemudian, Nara mulai merasakan perbedaan yang nyata dalam dirinya. Meskipun ia terus berusaha untuk melanjutkan hidup, rasa rindu itu semakin sulit untuk ditahan. Setiap kali ia berbicara dengan Zara, ia merasa semakin dekat, tetapi pada saat yang sama semakin jauh. Ada jarak yang tak terlihat, yang tak bisa dijelaskan, yang membuat keduanya seolah-olah terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berakhir.

Namun, meskipun begitu, ada sesuatu yang menenangkan hati Nara. Setiap kali ia mendengar suara Zara, atau membaca pesan-pesan singkatnya, ia merasa bahwa ada satu hal yang tetap menghubungkan mereka—perasaan yang tulus dan murni. Mereka berdua saling merindukan, dan meskipun tak bisa berada bersama, perasaan itu tetap hidup di antara mereka.

Di sisi lain, Zara juga merasakan hal yang sama. Ketika ia merasa kesepian atau tertekan, ia sering kali mengingat Nara. Setiap kali ia membuka pesan yang dikirimkan Nara, hatinya terasa lebih tenang. Zara merasa bahwa meskipun mereka terpisah jauh, mereka tetap memiliki satu sama lain dalam hati mereka. Rindu itu, meskipun tertahan, tetap menjadi penghubung antara keduanya.

Pada satu malam, saat Zara sedang duduk di kamarnya, ia kembali membuka pesan-pesan lama dari Nara. Ia melihat kata-kata Nara yang selalu menyentuh hatinya. “Aku akan selalu menunggumu,” begitu salah satu pesan yang ia baca. Meski terasa berat, Zara merasa bahwa perasaan itu adalah sesuatu yang harus dihargai dan dipertahankan.

Waktu terus berjalan, dan Nara serta Zara semakin menyadari bahwa meskipun mereka berada dalam kehidupan yang berbeda, mereka tetap saling menginginkan satu sama lain. Perasaan cinta yang mereka rasakan, meskipun terhalang jarak dan waktu, tetap tumbuh dan berkembang.

Namun, keduanya menyadari bahwa perasaan itu tidak bisa begitu saja dijadikan alasan untuk bertindak. Mereka harus menghadapi kenyataan bahwa hidup mereka berjalan sesuai dengan jalannya masing-masing, dan cinta mereka, meskipun kuat, harus tetap tertahan untuk saat ini. Mereka tidak bisa memaksakan diri untuk bersama jika itu akan mengganggu impian dan tujuan masing-masing.

Meski begitu, mereka berdua tetap mempertahankan harapan. Zara berharap bahwa suatu hari nanti, setelah semua hal yang harus diselesaikan, mereka bisa bertemu kembali. Nara, di sisi lain, mulai belajar untuk menerima kenyataan bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, perasaan mereka tidak akan pernah luntur. Rindu yang tertahan itu tetap ada, dan meskipun ia tidak bisa berada di dekat Zara, hatinya tahu bahwa mereka tetap memiliki satu sama lain.*

Bab 3: Jarak yang Menguatkan

Jarak semakin menguji kesabaran dan kepercayaan mereka. Nara mulai ragu apakah cinta yang ia tunggu-tunggu ini benar-be

Nara duduk di depan komputernya, jari-jari tangannya terhenti sejenak di atas keyboard. Sudah hampir dua minggu sejak ia terakhir kali berbicara dengan Zara. Pesan-pesan singkat mereka seakan menjadi rutinitas baru yang mengisi hari-harinya. Tetapi hari ini terasa berbeda. Sesuatu yang tak terungkapkan mengganjal di dalam hatinya. Ia merasakan rindu yang semakin berat, dan semakin banyak pertanyaan yang mulai mengusik pikirannya.

Apa yang sebenarnya diinginkan Zara? Apakah ia masih merindukannya seperti dulu? Apakah mereka akan terus berlanjut dengan cara ini, saling merindukan dari kejauhan tanpa pernah ada kejelasan tentang masa depan mereka?

Di sisi lain, Zara juga merasakan hal yang sama. Meski ia sibuk dengan kehidupannya di luar negeri, di kota yang jauh, perasaan rindu itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia sering kali memikirkan Nara, bertanya-tanya apakah Nara merasakannya juga. Meski terhalang oleh jarak yang memisahkan mereka, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tertinggal di kota kecil tempat Nara tinggal. Namun, meski perasaan itu terus menguat, Zara merasa bahwa mereka berdua perlu menghadapi kenyataan yang tidak bisa dielakkan—jarak mereka bukan hanya sekedar kilometer, tetapi juga waktu dan tujuan yang berbeda.

Zara mencoba untuk berbicara dengan teman-temannya di kampus, berusaha melupakan kenangan bersama Nara, tetapi selalu ada sesuatu yang mengingatkannya. Seperti ketika ia duduk di sebuah kafe di dekat kampusnya, sebuah lagu yang dulu pernah mereka dengarkan bersama diputar. Zara menutup matanya sejenak, membiarkan ingatan itu membanjiri pikirannya. Ia ingat betul bagaimana Nara tersenyum saat lagu itu mengalun, mengajak Zara bernyanyi bersama meski dengan suara yang tidak begitu bagus. Tertawa dan berbicara tanpa henti—semuanya terasa seperti mimpi yang ia tidak bisa jangkau lagi.

Namun, meskipun rindu itu begitu besar, Zara tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Dan untuk itu, ia harus belajar menerima kenyataan bahwa mereka terpisah oleh lebih dari sekedar jarak fisik.

Hari-hari berlalu, dan meskipun Nara mencoba untuk melanjutkan hidupnya, ia merasa seperti terjebak di dalam dunia yang serba terbatas. Ia bekerja lebih keras, berusaha untuk mengalihkan perhatian dari perasaan yang kerap datang begitu mendalam. Namun, setiap kali ia melangkah keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain, bayangan Zara selalu hadir dalam benaknya. Rindu itu tak pernah hilang, hanya semakin mendalam.

Satu-satunya cara Nara bisa merasa lebih dekat dengan Zara adalah melalui pesan-pesan mereka. Meskipun komunikasi mereka terputus begitu lama, setiap kali mereka saling berbicara, ada kehangatan yang mengalir melalui kata-kata yang mereka tuliskan. Nara bisa merasakan bahwa meskipun mereka terpisah oleh jarak yang jauh, ada ikatan yang tak terpisahkan. Setiap kata dari Zara terasa seperti angin sejuk yang menyentuh hatinya, dan setiap pesan dari Nara terasa seperti cahaya yang menyinari malam Zara.

Namun, meskipun begitu, Nara tidak bisa terus-menerus mengandalkan pesan-pesan itu untuk merasa dekat dengan Zara. Ia sadar bahwa mereka harus membuat keputusan—entah untuk melanjutkan hubungan ini, atau untuk berpisah dengan damai. Ketakutan akan kehilangan Zara membuat hati Nara semakin bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Akankah mereka bisa tetap bertahan, meskipun terhalang oleh jarak dan waktu yang begitu panjang?

Di sisi lain, Zara juga merasa bingung dengan perasaannya. Sering kali, ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa hubungan ini hanya sebuah kenangan yang tidak bisa ia kejar kembali. Namun, setiap kali ia berbicara dengan Nara, hatinya tetap berdebar seperti pertama kali mereka bertemu. Ia sadar bahwa dirinya tidak bisa mengabaikan perasaan itu begitu saja. Tapi ada ketakutan dalam dirinya—apakah hubungan ini akan berjalan lancar ketika mereka terpisah sejauh ini?

Mereka berdua menyadari bahwa meskipun ada perasaan yang dalam di antara mereka, hubungan ini sangat teruji oleh waktu dan jarak. Mereka tidak bisa hidup dalam kenangan, tetapi juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa perasaan mereka sangat kuat. Mereka harus memutuskan apakah mereka akan terus berjuang untuk cinta ini, meskipun ada banyak ketidakpastian yang mengelilinginya.

Setelah berbulan-bulan saling merindukan, Nara dan Zara mulai menyadari satu hal—meskipun mereka terpisah oleh jarak yang sangat jauh, perasaan cinta mereka justru semakin kuat. Mereka berdua mulai memahami bahwa cinta bukan hanya tentang kebersamaan fisik, tetapi tentang bagaimana mereka bisa menjaga hubungan mereka meskipun tidak ada di sisi satu sama lain.

Suatu malam, Zara menulis pesan yang berbeda dari biasanya: “Aku mulai menyadari sesuatu, Nara. Jarak ini, meskipun menyakitkan, justru membuat aku lebih menghargai hubungan kita. Aku tidak tahu apakah kita akan selalu bersama, tapi aku tahu satu hal—perasaan ini tidak akan pernah pudar. Kita berdua sudah memilih untuk tetap ada, meskipun terpisah.”

Nara membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Kata-kata Zara seakan membuka sebuah wawasan baru baginya. Jarak ini, yang selama ini ia anggap sebagai penghalang, ternyata malah memberikan mereka kesempatan untuk lebih mengerti satu sama lain. Tanpa kebersamaan fisik yang selalu mengundang ketergantungan, mereka belajar untuk lebih menghargai komunikasi yang mereka miliki.

“Zara, aku juga merasakannya,” balas Nara dengan perasaan yang sangat tulus. “Aku selalu berharap kita bisa bertemu lebih sering, tetapi aku juga sadar bahwa kita tidak bisa memaksakan waktu. Apa yang kita miliki sekarang, meskipun terpisah, sudah cukup. Aku akan selalu menunggu, selama kamu merasa sama.”

Kalimat itu, meskipun sederhana, membawa kedamaian dalam hati Nara. Ia tahu bahwa meskipun hubungan mereka tidak bisa diprediksi, mereka memiliki satu hal yang paling penting: saling percaya dan saling memahami. Perasaan mereka tidak tergantung pada kehadiran fisik, tetapi pada kedalaman hati yang sudah terjalin sejak lama.

Dengan kenyataan baru ini, Nara mulai merasa lebih ringan. Ia tahu bahwa ia harus fokus pada hidupnya sendiri terlebih dahulu, meskipun perasaan terhadap Zara tetap ada. Di sisi lain, Zara pun menyadari hal yang sama. Ia tidak bisa terus merindukan sesuatu yang tidak pasti. Namun, ia juga tidak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa cinta mereka sangat berharga.

Zara mulai fokus pada studinya dengan lebih serius, mencoba untuk mengambil setiap kesempatan yang datang. Ia merasa bahwa perasaan yang ia miliki untuk Nara tidak harus menghalangi pencapaian pribadinya. Justru, perasaan itu menjadi kekuatan yang membuatnya ingin lebih baik. Setiap kali ia merasa lelah atau frustrasi, ia akan mengingat Nara, dan itu memberinya semangat untuk terus maju.

Nara pun mengalami hal yang serupa. Ia memutuskan untuk tidak lagi membiarkan kerinduan menghalangi kebahagiaannya. Ia mulai mengikuti kelas-kelas baru, mengeksplorasi minat-minat baru, dan bertemu dengan orang-orang yang membuat hidupnya lebih berwarna. Meskipun ia tetap merindukan Zara, ia tahu bahwa dirinya harus tetap tumbuh, tidak hanya sebagai seorang kekasih, tetapi sebagai pribadi yang lebih baik.

Jarak ini, meskipun berat, ternyata mengajarkan mereka untuk lebih mandiri. Mereka mulai lebih menghargai waktu yang mereka habiskan bersama, dan mereka belajar untuk menghormati waktu mereka sendiri. Perasaan cinta mereka tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi kekuatan untuk terus berkembang.

Suatu malam, Nara duduk di balkon sambil memandang bintang-bintang yang bertaburan di langit. Ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun perasaan rindu masih ada, ia mulai bisa menghadapinya dengan cara yang lebih sehat. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan dirinya dengan Zara, lebih dari sekedar jarak dan waktu. Ada rasa saling percaya, ada janji yang tidak terucapkan, bahwa meskipun mereka jauh, mereka selalu ada untuk satu sama lain.

Di sisi lain, Zara juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia memikirkan Nara, ia merasa ada sesuatu yang menguatkan dalam dirinya. Jarak ini berbalas, sementara Zara merasakan beban berat karena merasa tidak bisa berada di sisi Nara.

Nara terlibat dalam pekerjaan baru yang menuntutnya untuk lebih sering bepergian, dan Zara dihadapkan dengan tantangan karier yang membuatnya hampir lupa pada kehidupan pribadinya.

Keduanya bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama, namun pertemuan singkat itu penuh dengan ketegangan dan kerinduan yang tak terucapkan.

Saat pagi menjelang, Nara terjaga dari tidurnya, merasa sedikit bingung. Semalam, ia terbangun beberapa kali di tengah malam, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Meskipun ia sudah mencoba untuk melupakan kerinduannya, perasaan itu datang kembali setiap kali ia berbaring sendiri di tempat tidurnya. Pikirannya langsung melayang pada Zara.

“Bagaimana kalau kita tidak bisa bertahan? Bagaimana jika kita berdua akhirnya lelah menunggu?” Itu adalah pertanyaan yang datang menghantui Nara semalam. Setiap kali ia berbicara dengan Zara, ia merasa tenang, seolah semua beban hilang. Namun, kenyataan bahwa mereka tidak dapat saling bertemu atau merencanakan masa depan bersama selalu menekan hatinya. Jarak ini, meskipun menguatkan cinta mereka, juga menjadi beban yang semakin berat untuk dipikul.

Di sisi Zara, suasana hati yang sama juga mengisi ruang pikirannya. Ia sudah belajar menerima kenyataan bahwa cinta tidak selalu melibatkan kehadiran fisik. Namun, semakin lama, ia merasa terjebak dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Meskipun Nara selalu ada dalam pikirannya, Zara bertanya-tanya apakah mereka akan bisa melanjutkan hubungan ini lebih lama lagi. Mereka belum memiliki jawaban yang pasti, dan itu semakin mempengaruhi perasaannya. Jarak yang seharusnya menjadi alat penguatan hubungan mereka malah menjadi sebuah tembok tak terlihat yang perlahan-lahan membatasi harapan mereka.

Zara memutuskan untuk berbicara tentang perasaannya pada teman dekatnya, Lia. Lia adalah satu-satunya orang yang selalu mendengarkan dengan sabar dan tanpa menghakimi.

“Apa yang harus aku lakukan, Lia?” tanya Zara dengan nada putus asa. “Aku merasa seperti kehilangan arah. Aku merindukan Nara begitu dalam, tetapi aku juga takut untuk terlalu berharap. Jarak ini… waktu ini… semua terasa semakin sulit.”

Lia menatapnya dengan penuh perhatian. “Zara, terkadang kita harus menghadapi kenyataan bahwa hidup kita tidak selalu berjalan sesuai keinginan kita. Tetapi, jika kamu merasa cinta itu nyata dan perasaanmu masih ada, jangan biarkan jarak menghalanginya. Cinta itu, meskipun tidak selalu tampak, akan menemukan jalannya sendiri. Yang penting adalah komunikasi, saling percaya, dan tentu saja, kesiapan untuk menghadapi tantangan bersama.”

Zara menatapnya dan mengangguk pelan. Kata-kata Lia memang ada benarnya. Namun, ia masih merasa kebingungan. Ia ingin berjuang untuk cinta mereka, tetapi di satu sisi, ia juga harus realistis dan tidak membiarkan dirinya terlalu larut dalam harapan yang mungkin tidak bisa terwujud.

Waktu berjalan begitu cepat, dan meskipun perasaan mereka semakin dalam, Nara dan Zara mulai merasakan adanya celah dalam hubungan mereka yang semakin sulit dihindari. Keinginan untuk bertemu kembali semakin kuat, tetapi kenyataan bahwa mereka harus menunggu waktu yang tepat membuat mereka merasa terjebak dalam ketidakpastian.

Pada suatu malam, setelah hari yang panjang penuh tekanan di tempat kerja, Nara duduk di sofa sambil memikirkan Zara. Keinginan untuk bisa berbicara langsung dengan Zara, untuk mendengar suaranya tanpa batasan jarak, membuatnya merasa semakin terasing di dunia nyata. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Zara muncul di layar ponsel.

“Aku sedang merindukanmu lebih dari biasanya, Nara,” begitu pesan dari Zara. “Terkadang aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang hilang, dan itu adalah kamu. Aku tidak tahu bagaimana harus melanjutkan semuanya. Cinta kita sangat kuat, tetapi jarak ini—aku tidak tahu sampai kapan kita bisa bertahan.”

Nara membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Kata-kata Zara terasa begitu dekat, seolah mereka berbicara langsung, meskipun hanya melalui teks. Nara memutuskan untuk membalas, meskipun perasaan rindu itu membuatnya terjebak dalam kebingungannya sendiri.

“Aku juga merindukanmu, Zara. Setiap hari rasanya seperti menunggu keajaiban datang. Tapi aku tahu kita tidak bisa memaksakan waktu. Kita harus menunggu, meskipun itu terasa berat. Tetapi aku percaya bahwa cinta ini akan menemukan jalan kita kembali. Aku yakin kita bisa melewati semuanya, jika kita tetap saling mempercayai.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Nara merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak mudah, tetapi ia ingin tetap berharap bahwa suatu hari mereka bisa mengatasi semua rintangan ini dan bertemu kembali.

Namun, pada malam yang sama, Nara terbangun dari tidurnya karena mimpi yang begitu nyata. Ia bermimpi tentang Zara—mereka berdua sedang berjalan di sebuah pantai yang sunyi, tanpa ada yang mengganggu. Angin laut mengalir lembut, dan Zara tersenyum kepadanya. Wajahnya terlihat damai, dan segala kekhawatiran yang selama ini menghantui Nara seakan menghilang begitu saja.

Mimpi itu begitu nyata, bahkan Nara bisa merasakan kehangatan tangan Zara yang memegang tangannya erat. Dalam mimpi itu, Nara merasa bahwa mereka bisa bersama tanpa ada jarak yang memisahkan. Meskipun itu hanya mimpi, Nara merasa bahwa ada harapan di sana—harapan bahwa mereka suatu hari nanti bisa bersama, meskipun kenyataan belum memberi mereka kesempatan untuk itu.

Hari-hari berlalu, dan Nara mulai merasa bahwa ia harus mengambil langkah lebih tegas dalam hubungan ini. Rindu yang ia rasakan semakin mendalam, dan meskipun ia berusaha keras untuk mengalihkan perhatiannya, perasaan itu terus menghantuinya. Ia ingin Zara tahu betapa besar cinta yang ia rasakan, dan betapa ia ingin bertemu dengan Zara segera. Tetapi, dalam waktu yang sama, ia merasa takut—takut bahwa jika mereka bertemu terlalu cepat, hubungan itu bisa gagal. Takut bahwa jika mereka tidak siap, segala harapan yang telah mereka bangun bisa hancur begitu saja.

Suatu hari, saat mereka berdua berbicara melalui video call, Nara merasa lebih dekat dengan Zara daripada sebelumnya. Meskipun mereka masih terpisah oleh jarak yang jauh, mereka bisa merasakan kedekatan yang begitu nyata. Dalam setiap tatapan, dalam setiap senyuman yang mereka bagi, ada sesuatu yang kuat yang tak bisa dijelaskan—sebuah ikatan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka berdua.

Zara, meskipun jauh, merasa bahwa ia semakin yakin dengan perasaan yang ia miliki untuk Nara. Meskipun ada ketakutan dan keraguan, ia tahu bahwa cinta mereka tidak bisa dipadamkan hanya karena jarak. Setiap kali ia mendengar suara Nara, ia merasa seperti kembali ke rumah, kembali ke tempat yang ia rindukan.

“Setiap kali kita berbicara seperti ini,” kata Zara dengan suara lembut, “aku merasa kita semakin dekat. Tapi aku juga takut, Nara. Takut bahwa kita terlalu lama terpisah, takut bahwa kita akan berubah. Apa yang harus kita lakukan?”

Nara menatap layar, melihat wajah Zara yang penuh keraguan. Ia tahu betapa sulitnya perasaan yang sedang dihadapi Zara. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah ujian cinta mereka yang sesungguhnya. “Zara, kita tidak bisa memaksakan waktu. Tapi kita bisa membuat waktu itu berarti. Aku akan menunggumu, tidak peduli berapa lama. Kita akan menemukan jalan untuk bersama, aku yakin itu.”

Kata-kata itu, meskipun sederhana, mengisi ruang dalam hati Zara. Ia tahu bahwa meskipun semuanya sulit, ia tidak sendirian. Mereka akan menghadapi segala tantangan ini bersama-sama, dan meskipun tidak ada jaminan tentang masa depan, cinta mereka akan tetap bertahan.

Dengan tekad yang semakin kuat, baik Nara maupun Zara memutuskan untuk menghadapi hubungan mereka dengan lebih terbuka dan penuh harapan. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa memaksakan segalanya terjadi sekarang, tetapi mereka percaya bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, mereka tetap saling mencintai. Dalam kesendirian dan kerinduan, mereka menemukan kekuatan untuk terus berjuang—untuk saling menunggu, untuk saling mencintai, meskipun itu berarti mereka harus menunggu hingga waktu yang tepat tiba.*

Bab 4: Ketegangan yang Terpecah

Zara kembali ke kota tempat Nara tinggal, namun kenyataan hidup dan perasaan yang tertahan membuat mereka tidak tahu bagaimana melanjutkan. Mereka ingin bersama, tetapi takut dengan segala konsekuensi yang mungkin terjadi.

Keduanya mulai berpikir tentang masa depan mereka, apakah mereka akan terus menunggu atau harus berpisah untuk selamanya. Zara merasa bingung antara impiannya dan perasaannya pada Nara.

Ada ketegangan antara mereka, sebuah pertengkaran kecil yang muncul karena perasaan cemas dan takut akan kehilangan. Mereka sadar bahwa cinta mereka tidak semudah yang mereka bayangkan.

Sudah berbulan-bulan sejak Nara dan Zara terakhir kali bertemu. Mereka telah menghabiskan waktu melalui pesan, panggilan video, dan percakapan yang panjang—tetapi jarak dan waktu yang semakin panjang justru membawa perasaan mereka ke dalam jurang ketidakpastian. Setiap kali mereka berbicara, ada kerinduan yang membara, tetapi juga pertanyaan yang tidak terjawab tentang masa depan mereka.

Nara memandang layar ponselnya, menunggu pesan dari Zara yang belum datang. Sementara itu, pikirannya terus berputar. Ia tahu bahwa cinta mereka semakin kuat, namun ada ketakutan yang semakin menggerogoti hatinya. Apakah Zara masih merasa hal yang sama? Apakah mereka hanya saling berjuang untuk sesuatu yang tidak mungkin terwujud? Dan yang lebih penting lagi, apakah mereka akan terus menunggu tanpa kejelasan?

Sementara itu, Zara di sisi lain dunia merasa kebingungan yang sama. Ia sudah sangat lelah dengan ketidakpastian yang menghantui setiap langkahnya. Hidup di luar negeri, dengan segala tuntutan dan kesibukan akademis, membuatnya merasa semakin terisolasi. Rindu kepada Nara tidak pernah berkurang, tetapi ada ketakutan yang menggelayuti hatinya—takut bahwa mereka hanya terjebak dalam kenangan dan perasaan yang tidak bisa terwujud dalam kenyataan.

Pada suatu malam, setelah minggu yang penuh tekanan, Zara memutuskan untuk menghubungi Nara. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus-menerus terjebak dalam ketegangan ini. Ada sesuatu yang harus mereka selesaikan.

“Kenapa kita harus terus seperti ini?” pesan Zara dimulai, ditulis dengan tangan gemetar, penuh keraguan.

Nara membaca pesan itu, merasakan gelombang kekhawatiran menghampirinya. Ia membalas dengan cepat: “Zara, apa maksudmu? Apa ada yang salah?”

Zara hanya bisa termenung beberapa saat sebelum menulis lagi: “Aku rasa kita berdua tidak bisa terus seperti ini. Kita sudah saling mencintai begitu lama, tetapi jarak ini… rasanya semakin berat. Aku tidak tahu lagi apa yang kita cari.”

Kalimat itu seperti sambaran petir di siang bolong bagi Nara. Ia merasa seolah dunia tiba-tiba menjadi sangat gelap, dan rindu yang selama ini ia simpan terhantam dengan kenyataan yang begitu pahit. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tak mampu keluar. Ia takut, takut bahwa percakapan ini akan mengakhiri segalanya.

“Apa maksudmu, Zara? Kenapa kamu berkata seperti itu?” balas Nara, suaranya bergetar.

Zara mendalamkan napas dan menatap layar ponselnya sejenak sebelum mengetik: “Aku tidak tahu, Nara. Aku merasa kita seperti terperangkap dalam rutinitas yang tidak menghasilkan apa-apa. Mungkin aku hanya perlu waktu untuk berpikir, untuk mencari tahu apa yang benar-benar aku inginkan.”

Nara terdiam sejenak, perasaan bingung dan cemas menghantui hatinya. Ia ingin mempertahankan hubungan mereka, tetapi apakah Zara benar-benar merasa demikian? Kenapa tiba-tiba ketegangan ini muncul begitu kuat? Apakah jarak ini sudah terlalu jauh bagi mereka untuk menjembatani?

Hari berikutnya, Nara tidak bisa berhenti memikirkan pesan dari Zara. Ia merasa bingung, marah, dan terluka. Semua pertanyaan yang selama ini ia pendam tiba-tiba menjadi begitu nyata. Apakah cinta mereka tidak cukup kuat untuk mengatasi jarak ini? Apakah mereka sudah mulai berubah, meskipun perasaan itu tidak pernah hilang?

Di sisi lain, Zara juga merasakan hal yang sama. Setiap kali ia berkomunikasi dengan Nara, ada perasaan cemas yang datang menghantui. Ia ingin berbicara lebih banyak dengan Nara, tetapi ketidakpastian itu terlalu kuat. Apakah hubungan mereka hanya akan menjadi kenangan indah yang akhirnya akan pudar? Mungkin, jawabannya terletak pada keputusan yang harus mereka buat.

Saat itu, Nara memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Ia akan mengunjungi Zara. Jarak yang memisahkan mereka sudah cukup lama, dan ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang mereka miliki untuk menyelesaikan segala keraguan yang ada.

Nara mengirim pesan ke Zara: “Aku ingin bertemu denganmu, Zara. Aku tidak bisa terus seperti ini. Kita perlu bicara.”

Zara menerima pesan itu dengan campuran rasa terkejut dan cemas. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa jadi titik balik bagi hubungan mereka—entah itu menjadi solusi atau malah menjadi akhir dari segalanya. Tetapi ia juga merasa bahwa pertemuan ini adalah hal yang perlu dilakukan. Mereka berdua tidak bisa terus bersembunyi di balik pesan-pesan atau panggilan video.

Nara tiba di kota tempat Zara tinggal setelah perjalanan panjang. Ketika ia turun dari taksi dan berdiri di depan gedung apartemen Zara, perasaan cemas yang sebelumnya tidak ia rasakan muncul begitu saja. Inilah momen yang akan mengubah segalanya. Mereka tidak hanya akan berbicara melalui layar ponsel atau pesan lagi. Ini adalah pertemuan langsung, yang berarti mereka harus menghadapi perasaan dan kenyataan yang selama ini terpendam.

Zara membuka pintu apartemennya, dan saat mata mereka bertemu, ada keheningan yang terasa begitu panjang. Semua ketegangan yang selama ini menguatkan hubungan mereka kini terasa begitu rapuh di antara mereka.

“Zara,” kata Nara dengan suara yang sedikit serak. “Kita harus bicara.”

Zara hanya mengangguk, menundukkan kepala sejenak, dan kemudian mengajak Nara masuk ke dalam apartemennya. Mereka duduk di ruang tamu, saling memandang dengan wajah penuh pertanyaan.

“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Zara akhirnya, dengan nada yang lembut namun penuh beban. “Kita sudah begitu lama terpisah, dan aku tidak tahu apakah aku masih bisa terus seperti ini, menunggu sesuatu yang tak pasti.”

Nara merasakan hatinya seolah terpecah mendengar kata-kata itu. “Zara, aku tidak bisa hidup tanpa tahu apakah kita akan bersama. Aku tidak bisa terus menunggu tanpa tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Cinta ini terlalu penting untukku, tapi aku juga tidak ingin kita terus hidup dalam ketegangan yang tak jelas.”

Zara terdiam sejenak, menatap Nara dengan penuh keraguan. “Aku tahu, aku juga merasakannya. Tapi aku takut, Nara. Takut jika kita bersama, kita akan menghadapi kenyataan yang lebih sulit lagi. Apakah kita bisa bertahan jika kita terus hidup terpisah? Apakah cinta kita cukup kuat untuk menghadapi semuanya?”

Nara menatap Zara dengan intens. “Kita tidak akan tahu jika kita tidak mencobanya. Aku ingin berjuang, Zara. Aku ingin bersama kamu, tidak peduli betapa sulitnya.”

Zara menghela napas panjang. “Aku juga ingin itu, Nara. Tapi aku takut jika akhirnya kita hanya akan saling menyakiti.”

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Nara dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Zara meremas tangannya, mencoba menenangkan diri. “Aku rasa kita perlu waktu untuk berpikir. Kita perlu tahu apa yang benar-benar kita inginkan. Tidak ada yang bisa kita lakukan tanpa keputusan yang jelas.”

Hari-hari setelah pertemuan itu terasa penuh ketegangan bagi mereka berdua. Meskipun sudah bertemu, ketidakpastian tetap menghantui. Mereka tidak bisa memaksakan diri untuk melanjutkan hubungan tanpa kejelasan. Namun, ada satu hal yang mereka tahu—meskipun perasaan mereka tetap kuat, mereka harus menemukan jalan keluar untuk hubungan ini.

Zara memutuskan untuk kembali merenung. Ia tahu bahwa keputusan ini bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang apa yang mereka harapkan dari kehidupan mereka ke depan. Apakah mereka akan tetap menjalani hidup mereka dalam jarak yang memisahkan? Atau mereka harus mengambil langkah berani dan mengubah hidup mereka untuk bersama?

Sementara itu, Nara merasa seperti berada di persimpangan jalan. Ia mencintai Zara, tetapi apakah ia cukup kuat untuk menghadapi semua tantangan ini? Ia harus siap untuk membuat keputusan yang besar, meskipun itu berarti meninggalkan banyak hal yang sudah ia bangun dalam hidupnya.

Namun, setelah beberapa minggu yang penuh pergolakan batin, Zara dan Nara akhirnya menyadari satu hal—mereka tidak bisa lagi terus hidup dengan ketegangan yang tak terpecahkan. Mereka harus mengambil langkah maju, apa pun konsekuensinya.

Setelah pertemuan mereka yang menegangkan, Nara dan Zara kembali ke kehidupan sehari-hari mereka dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan tak terjawab. Keputusan yang mereka bicarakan sebelumnya terasa semakin membebani mereka. Mereka tahu bahwa ketegangan yang mereka rasakan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada merasa terjebak dalam hubungan yang penuh dengan keraguan dan ketidakpastian.

Hari demi hari berlalu, namun perasaan rindu dan kekhawatiran tetap menghantui mereka. Nara merasa terpecah antara keinginannya untuk melanjutkan hubungan ini dan rasa takut akan kegagalan yang mungkin datang. Zara, di sisi lain, mulai merasa bahwa dia tidak bisa terus menahan diri dalam kebingungan yang semakin mendalam. Meskipun mereka saling mencintai, ada begitu banyak hal yang belum mereka selesaikan. Mungkin, mereka hanya perlu waktu untuk memahami apa yang benar-benar mereka inginkan.

Namun, kenyataan tak pernah semudah itu. Ketegangan yang tak terpecahkan terus merayap, dan perasaan yang mengganjal semakin sulit untuk dihindari. Setiap kali mereka berbicara, rasa cinta itu tetap ada, tetapi rasa takut akan kemungkinan kehilangan satu sama lain juga semakin besar. Mereka harus membuat keputusan besar—melanjutkan atau mengakhiri hubungan ini.

Zara duduk di mejanya, menatap layar ponselnya. Ia tahu bahwa dia tidak bisa terus menunda-nunda. Selama beberapa hari terakhir, dia merasa cemas. Apa yang akan terjadi jika mereka terus berada dalam hubungan yang tidak jelas ini? Apa yang terjadi jika Nara merasa terlalu lelah untuk menunggu? Perasaan itu seperti bom waktu yang siap meledak setiap kali ia berpikir tentang masa depan mereka.

Dengan keteguhan hati, Zara memutuskan untuk menghubungi Nara lagi. Kali ini, dia ingin berbicara lebih jujur, mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan tanpa ada rasa takut atau keraguan.

“Aku ingin kita berbicara lagi, Nara,” tulis Zara dengan hati yang gelisah. “Aku tahu kita sudah berbicara banyak kali, tetapi aku merasa ada sesuatu yang belum kita selesaikan. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan. Apakah kamu siap untuk mengambil langkah besar ini bersama-sama? Aku takut kita tidak akan bisa bertahan jika kita terus berada di tempat ini.”

Pesan itu dikirimkan dengan rasa hati yang penuh ketegangan. Zara menatap layar ponselnya dengan cemas, menunggu balasan dari Nara. Tak lama kemudian, ponselnya bergetar, tanda bahwa Nara telah membalas pesannya.

“Aku tahu ini tidak mudah, Zara. Aku merasa kita sudah terlalu lama berada dalam ketegangan ini. Aku juga rindu, dan aku ingin kita bersama. Tetapi, aku takut jika kita terburu-buru mengambil keputusan, kita hanya akan saling menyakiti. Aku ingin kita memikirkan ini dengan lebih hati-hati, tetapi aku juga tidak ingin kita terus seperti ini.”

Nara merasa seolah beban di hatinya sedikit berkurang setelah membaca pesan Zara. Meskipun masih banyak ketidakpastian, setidaknya mereka bisa berbicara dengan lebih terbuka sekarang. Ketegangan yang selama ini mereka rasakan sedikit terurai. Mungkin, mereka bisa menemukan jalan keluar dari kebingungannya.

Zara membaca balasan dari Nara dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa Nara merasa sama. Mereka berdua berada di persimpangan yang sama—mencintai satu sama lain, tetapi merasa terperangkap dalam situasi yang tidak memberi mereka banyak pilihan. Mereka harus membuat keputusan ini bersama-sama, dan itu tidak akan mudah.

Setelah beberapa hari berpikir dan mempertimbangkan, Zara mengundang Nara untuk kembali menghadapinya di tempat yang sama. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang tenang, di mana mereka bisa berbicara tanpa gangguan dan tanpa terburu-buru. Kafe itu memiliki suasana yang tenang, dengan pemandangan yang menghadap ke danau yang luas, memberi mereka sedikit kedamaian di tengah kekacauan yang ada.

Nara datang lebih awal, duduk di meja yang sudah mereka pilih. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, dan meskipun ia merasa rindu, ada keraguan yang terus mengisi pikirannya. Apakah pertemuan ini akan memberi mereka jawaban yang mereka cari? Atau justru semakin menambah kebingungan?

Tak lama setelah itu, Zara datang dan duduk di hadapan Nara. Mereka saling memandang, dan ada ketegangan di udara, meskipun mereka berdua ingin berbicara dengan jujur. Nara membuka percakapan.

“Zara, aku tahu kita sudah banyak berbicara tentang ini, tapi aku merasa kita harus membuat keputusan. Aku tidak ingin kita terus berada dalam keraguan. Aku mencintaimu, tapi aku juga takut. Aku takut jika kita terlalu terburu-buru, kita akan menyesalinya. Tapi aku juga takut jika kita terus menunggu, kita akan kehilangan kesempatan.”

Zara menatap Nara dengan intens. Matanya terlihat penuh dengan kejujuran dan keraguan yang sama. “Aku merasa hal yang sama, Nara. Kita tidak bisa terus hidup dalam ketegangan seperti ini. Aku mencintaimu, tetapi aku juga merasa kita terjebak dalam waktu yang terus berjalan tanpa ada solusi. Kita harus memutuskan, apakah kita akan berjuang atau kita harus berhenti dan membiarkan perasaan ini menjadi kenangan.”

Nara meremas tangannya di meja, mencoba mengendalikan perasaannya. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Zara. Tapi aku juga tidak bisa memaksakan semuanya terjadi begitu cepat. Aku ingin kita berpikir dengan hati-hati, tetapi aku juga ingin kita melangkah maju.”

Zara terdiam sejenak, menatap danau di luar jendela. “Aku ingin kita berjuang, Nara. Aku tahu itu tidak akan mudah, tetapi aku percaya kalau kita saling mencintai, kita bisa melewati semuanya. Mungkin kita harus memberi diri kita kesempatan untuk melihat apakah kita benar-benar bisa bersama meskipun jarak memisahkan.”

Perasaan lega mulai mengalir dalam diri Nara. Zara juga tampaknya sudah siap untuk membuat keputusan yang lebih jelas. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mudah, tetapi mereka ingin mencoba. Mereka ingin berjuang untuk cinta ini.

“Aku setuju, Zara,” kata Nara dengan senyum kecil. “Kita akan berjuang. Kita tidak akan tahu kalau kita tidak mencoba.”

Zara tersenyum, merasa lega. Ternyata, keputusan ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka. Sebaliknya, ini adalah awal dari perjalanan baru yang penuh dengan harapan. Mereka mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi mereka tahu bahwa mereka siap untuk menghadapi segala rintangan bersama.

Setelah pertemuan itu, Nara dan Zara mulai menyusun rencana untuk masa depan mereka. Meskipun jarak tetap ada, mereka menyadari bahwa cinta yang mereka miliki lebih kuat daripada sekadar terpisah oleh ruang dan waktu. Mereka berkomitmen untuk saling memberi ruang, tetapi juga untuk tidak melupakan apa yang telah mereka bangun bersama.

Dengan ketegangan yang terpecah, mereka berdua merasa lebih tenang dan siap menghadapi tantangan yang akan datang. Mereka tahu bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian, tetapi selama mereka bersama, mereka akan terus berusaha mencari jalan untuk tetap bersama.

Bukan hanya cinta yang mengikat mereka, tetapi juga kepercayaan dan tekad untuk menghadapi dunia ini bersama. Ketegangan yang sempat membebani mereka akhirnya terpecah, dan mereka siap untuk melangkah ke depan dengan hati yang penuh harapan.

Dengan keputusan yang telah mereka buat, Nara dan Zara kini berada di titik yang berbeda dalam perjalanan mereka. Ketegangan yang sempat menghantui hubungan mereka telah terpecahkan, digantikan oleh harapan dan keinginan untuk terus berjuang bersama. Meskipun perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan, mereka tahu bahwa mereka siap untuk menghadapi apa pun yang datang—bersama-sama.*

Bab 5: Waktu yang Membuktikan

Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyadari bahwa cinta yang mereka miliki bukanlah tentang menunggu tanpa berusaha. Mereka memutuskan untuk memperjuangkan hubungan ini dengan lebih serius.

Setelah berbicara dari hati ke hati, mereka sepakat untuk memberi satu sama lain kesempatan untuk berjuang bersama. Zara siap kembali ke kota asalnya, meninggalkan pekerjaannya yang sudah dijalani lama, untuk memberi hubungan mereka peluang kedua.

Meskipun begitu, tantangan hidup masih menghalangi mereka, dan keduanya harus menghadapi kenyataan bahwa tidak ada hubungan yang sempurna.

Setelah pertemuan di kafe beberapa bulan lalu, yang akhirnya mengubah segalanya, Nara dan Zara mulai menjalani hidup dengan lebih tenang. Meskipun jarak tetap ada, mereka mulai berkomunikasi lebih terbuka. Mereka saling berbicara lebih jujur tentang harapan mereka, rasa takut, dan ketakutan yang selama ini menghalangi mereka untuk melangkah lebih jauh. Meskipun ketegangan dalam hubungan mereka perlahan mereda, mereka tahu bahwa perjalanan ini masih panjang.

Namun, meskipun mereka berdua telah berkomitmen untuk berjuang bersama, banyak tantangan yang harus dihadapi. Zara yang masih tinggal di luar negeri dengan jadwal kuliah yang padat, sementara Nara harus berjuang dengan pekerjaannya yang menyita banyak waktu. Mereka berdua tahu bahwa jarak dan kesibukan yang semakin meningkat bisa saja menguji hubungan mereka.

Pada malam-malam tertentu, ketika mereka berbicara melalui telepon atau video call, ada rasa kekosongan yang mulai mereka rasakan. Kadang, perasaan rindu datang begitu kuat, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak bisa selalu bergantung pada komunikasi melalui layar ponsel. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan kehadiran satu sama lain, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam setiap tindakan yang mereka lakukan.

“Nara,” suara Zara terdengar di ujung telepon. “Aku merasa kita sudah cukup lama menjalani hubungan ini, tapi rasanya aku mulai merasa semakin jauh. Aku tahu kita sudah berusaha, tapi aku juga takut. Apa kita akan terus bisa begini?”

Nara terdiam sejenak. Kata-kata Zara mengena dalam hatinya. Ia tahu betul apa yang Zara rasakan. Keinginan untuk lebih dekat, untuk berbagi momen-momen kecil bersama, bukan hanya berbicara melalui telepon atau pesan. Namun, dalam jarak yang memisahkan, bagaimana mungkin mereka bisa selalu merasa dekat?

“Aku merasa hal yang sama, Zara,” jawab Nara pelan. “Tapi aku percaya, jika kita terus berjuang, waktu akan membuktikan semuanya. Kita hanya perlu bertahan sedikit lebih lama.”

Zara mendalamkan napas. “Kau yakin kita bisa?”

“Aku yakin. Aku tidak akan pernah menyerah pada kita,” jawab Nara dengan tegas, meskipun hatinya juga dipenuhi keraguan yang sama.

Malam itu, mereka berdua tidur dengan perasaan campur aduk. Cinta mereka kuat, tetapi waktu dan jarak yang terus menguji kesabaran mereka membuat segalanya terasa semakin berat. Namun, mereka berdua tahu bahwa mereka tidak bisa menyerah begitu saja.

Beberapa bulan setelah mereka membuat keputusan untuk terus berjuang bersama, tantangan baru muncul. Zara menerima tawaran pekerjaan yang sangat menggiurkan di luar negeri setelah menyelesaikan studinya. Pekerjaan itu menawarkan kesempatan besar untuknya berkembang dalam karier yang telah lama ia impikan. Namun, ada satu masalah besar—pekerjaan tersebut akan membuatnya semakin jauh dari Nara.

Zara merasa bingung. Ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan, namun di sisi lain, ia juga tahu bahwa jika ia menerima tawaran ini, hubungan mereka akan semakin teruji. Mereka sudah terbiasa dengan jarak yang ada, tetapi ini adalah langkah besar yang akan mempengaruhi masa depan mereka.

Ia memutuskan untuk berbicara dengan Nara. Meskipun ia tahu betapa sulitnya ini, ia merasa ia harus memberi tahu Nara tentang tawaran tersebut dan meminta pendapatnya.

“Nara,” mulai Zara melalui telepon, “aku mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri, dan ini adalah kesempatan besar untuk aku mengembangkan karierku. Tapi aku… aku tidak tahu apakah ini akan mempengaruhi hubungan kita. Apa pendapatmu?”

Nara terdiam sejenak. Ia tahu ini adalah keputusan besar bagi Zara, dan ia tidak ingin mengekangnya. Namun, di sisi lain, ia merasa khawatir tentang bagaimana hubungan mereka akan berjalan jika Zara semakin jauh.

“Zara, aku tahu ini penting buatmu,” jawab Nara pelan. “Dan aku tidak akan menahanmu untuk mengejar impianmu. Tapi aku juga tahu kita harus berpikir matang-matang tentang ini. Aku tidak ingin kita semakin jauh, tapi aku juga ingin kamu bahagia. Ini bukan hanya tentang kita, ini juga tentang apa yang kamu inginkan dalam hidup.”

Zara menundukkan kepala, merasa terharu mendengar jawaban Nara. “Aku juga tidak ingin kita semakin jauh, Nara. Tapi aku merasa jika aku tidak mengambil kesempatan ini, aku akan menyesal. Aku hanya takut… kita akan semakin terpisah.”

Nara mencoba menenangkan perasaannya yang mulai gelisah. “Kita sudah terbiasa dengan jarak, Zara. Dan aku yakin, jika kita saling berjuang, kita bisa melalui ini. Terkadang, cinta itu bukan hanya tentang berada di sisi satu sama lain setiap saat, tapi juga tentang bagaimana kita saling mendukung dalam segala hal, termasuk impian kita.”

Zara terdiam. Ia tahu betul bahwa Nara benar. Namun, keputusan ini tetap terasa sulit baginya. Setelah beberapa menit hening, ia berkata, “Aku akan menerima tawaran ini, Nara. Tapi aku ingin kita berjuang lebih keras lagi. Aku tidak ingin kita terpisah hanya karena jarak.”

“Aku janji, Zara. Kita akan terus berjuang. Aku akan selalu mendukungmu, tidak peduli sejauh apa pun jaraknya,” jawab Nara dengan penuh keyakinan.

Itulah titik awal bagi Zara untuk melangkah maju dengan impian dan kariernya, namun juga dengan perasaan takut yang tak terelakkan. Mereka berdua tahu bahwa ini adalah ujian besar dalam hubungan mereka. Mereka harus lebih kuat dan lebih sabar dari sebelumnya.

Setelah beberapa bulan bekerja di luar negeri, Zara mulai merasakan dampak dari keputusan yang ia buat. Kesibukannya dengan pekerjaan baru membuatnya semakin jarang berkomunikasi dengan Nara. Meskipun mereka masih berbicara melalui pesan atau video call, tetapi perasaan rindu dan kehilangan semakin menguasai dirinya. Bahkan, kadang-kadang ia merasa bahwa kehadiran Nara hanya ada di ingatan, bukan dalam kenyataan.

Nara, di sisi lain, merasakan hal yang sama. Meskipun ia tahu bahwa Zara sedang berusaha menggapai mimpinya, ia tetap merasakan kesepian yang semakin mendalam. Ia merasa terabaikan, meskipun itu bukan maksud Zara. Mereka berdua mulai merasa seperti dua orang yang terhubung hanya oleh kenangan dan janji-janji, tetapi semakin jauh dari kenyataan.

Suatu malam, setelah beberapa hari tidak berbicara intens, Nara memutuskan untuk menghubungi Zara. Ia merasa ada sesuatu yang harus dibicarakan, sesuatu yang selama ini terpendam.

“Zara, aku merasa kita mulai kehilangan koneksi,” kata Nara, suaranya penuh dengan kekhawatiran. “Aku tahu kamu sibuk dengan pekerjaanmu, tapi aku merasa semakin jauh darimu.”

Zara mendengar suara Nara dengan hati yang penuh penyesalan. “Aku tahu, Nara. Aku juga merasa hal yang sama. Aku sangat sibuk dan terkadang aku lupa untuk memberi perhatian lebih padamu. Aku minta maaf.”

Nara menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. “Aku tahu kamu sedang berjuang untuk kariermu, dan aku sangat mendukung itu. Tapi kita harus menemukan cara untuk tetap terhubung. Kita tidak bisa terus seperti ini, Zara.”

Zara merasa hatiNya terhimpit. “Aku takut kita sudah terlalu jauh, Nara. Apa kita masih bisa kembali seperti dulu?”

“Zara,” jawab Nara dengan lembut, “waktu yang sudah kita lalui bersama adalah bukti dari kekuatan cinta kita. Mungkin sekarang kita sedang terpisah, tapi aku percaya kita bisa mengatasi ini. Kita harus terus berjuang, dan waktu akan membuktikan segalanya.”

Mendengar kata-kata Nara, Zara merasa ada harapan yang kembali hidup dalam dirinya. Mereka tidak bisa hanya menyerah pada keadaan. Mereka harus berusaha lebih keras, meskipun itu tidak mudah.

eiring berjalannya waktu, Nara dan Zara mulai belajar untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas baru mereka. Mereka lebih sering merencanakan waktu untuk berbicara atau bahkan mengunjungi satu sama lain jika memungkinkan. Meskipun hubungan mereka tidak sempurna, mereka mulai memahami bahwa cinta bukan hanya tentang kebersamaan fisik, tetapi juga tentang komitmen dan pengertian.*

Bab 6: Pertemuan yang Mengubah Segalanya

Setelah melewati berbagai hambatan, Nara dan Zara memutuskan untuk bertemu di tempat yang penuh kenangan—tempat pertama kali mereka bertemu. Di sana, mereka berdua mengungkapkan perasaan yang telah lama terpendam. Mereka menyadari bahwa meskipun terpisah oleh waktu dan jarak, cinta mereka tetap hidup. Bahkan, perpisahan dan penantian justru membuat perasaan mereka semakin dalam.Setelah pertemuan itu, mereka berjanji untuk lebih berkomitmen dalam hubungan mereka. Meskipun jalan yang akan mereka tempuh masih penuh tantangan, mereka siap untuk saling mendukung dan menghadapi kehidupan bersama.

Setelah beberapa tahun menjalani hubungan yang penuh ketegangan, rindu, dan harapan, Nara dan Zara akhirnya sampai pada titik di mana mereka merasa bahwa pertemuan langsung adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki segala hal yang tertunda. Hubungan mereka selama ini lebih banyak diwarnai dengan percakapan panjang lewat telepon dan pesan singkat yang berlarut-larut. Meskipun mereka berdua mencintai satu sama lain, kenyataan bahwa mereka terpisah oleh jarak ribuan kilometer setiap hari semakin membuat mereka merasa terasing.

Keinginan untuk bertemu, yang selama ini hanya menjadi mimpi dalam hati mereka, kini mulai tumbuh menjadi suatu keharusan. Mereka ingin menghilangkan keraguan yang tumbuh di antara mereka dan menghadirkan kehadiran fisik yang bisa membuktikan bahwa mereka masih bisa saling mengandalkan.

Zara, yang kini telah menetap di luar negeri setelah menerima tawaran pekerjaan yang sangat menjanjikan, merasakan kesendirian yang luar biasa. Kesibukan yang ia hadapi di sana terkadang membuatnya lupa bahwa di sisi lain dunia, ada seorang pria yang selalu menunggunya. Selama ini, ia merasa bahwa semua yang mereka jalani hanyalah sebuah rutinitas tanpa ujung. Cinta yang mereka miliki begitu kuat, tetapi rindu yang menggelora dan jarak yang memisahkan terasa semakin tidak tertahankan.

Suatu malam, setelah berhari-hari tidak berbicara lebih dari sekedar ucapan selamat pagi dan malam, Zara memutuskan untuk menghubungi Nara. Ia tahu, meskipun mereka berdua sibuk, mereka masih membutuhkan satu sama lain.

“Nara,” suara Zara terdengar di telepon, penuh dengan kerinduan. “Aku tidak bisa lagi terus begini. Aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Aku ingin kita bertemu.”

Di ujung telepon, Nara tersenyum mendengar kata-kata Zara. Ia juga merasakan hal yang sama. Ia sudah lama menunggu kesempatan ini, dan kini, kesempatan itu akhirnya datang.

“Zara, aku juga merasakan hal yang sama,” jawab Nara dengan penuh semangat. “Aku rasa kita sudah cukup lama bertahan dalam jarak. Aku ingin melihatmu, memelukmu, dan merasakan kehadiranmu langsung. Aku akan datang. Kita akan bertemu.”

Keputusan itu, meskipun sederhana, mengubah segalanya. Tidak ada lagi keraguan, hanya ada niat untuk bersama. Mereka berdua mulai merencanakan pertemuan ini dengan penuh hati-hati, menghitung setiap detik dengan cemas, menunggu hari itu tiba.

Persiapan untuk pertemuan ini tidaklah mudah. Zara harus mengatur jadwal kerjanya yang sangat padat, sementara Nara juga harus menyesuaikan dengan jadwalnya yang penuh dengan tugas-tugas pekerjaan yang tak ada habisnya. Meskipun keduanya saling berkomitmen untuk bertemu, banyak hambatan yang harus mereka lewati. Namun, itu tidak menghentikan mereka. Mereka tahu, pertemuan ini adalah langkah penting dalam hubungan mereka.

Zara sudah mulai merasakan ketegangan. Hatinya berdebar-debar memikirkan bagaimana semuanya akan berjalan. Selama ini, meskipun mereka berbicara setiap hari, semuanya terasa lebih aman dari kejauhan. Tidak ada ketegangan nyata di sana, tidak ada ekspresi wajah yang bisa mereka lihat secara langsung, dan tentu saja, tidak ada sentuhan yang bisa menguatkan segala sesuatu yang mereka rasakan.

“Bagaimana jika semuanya tidak seperti yang kita bayangkan?” Zara berbicara pada diri sendiri, penuh keraguan. “Apa yang akan terjadi jika kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi kita?”

Di sisi lain, Nara juga merasakan hal yang sama. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa saja menjadi momen yang memperjelas segalanya, atau sebaliknya, bisa mengungkapkan ketidaksesuaian antara mereka yang selama ini terpendam. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak bisa lagi hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Ia ingin memutuskan apakah mereka berdua benar-benar memiliki masa depan bersama atau tidak.

Akhirnya, setelah beberapa minggu penuh kecemasan dan antisipasi, hari yang dinanti itu tiba. Nara sudah berada di bandara, menunggu penerbangan panjang yang akan membawanya ke kota tempat Zara tinggal. Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, seolah dunia ini berputar lebih lambat dari biasanya. Ia berpikir tentang semua hal yang akan mereka bicarakan, tentang perasaan yang selama ini mereka pendam, dan tentang kemungkinan besar yang ada di depan mereka.

Di sisi lain, Zara juga berada di bandara yang sama, menunggu kedatangan Nara. Ia sudah memilih pakaian yang menurutnya sempurna untuk kesempatan ini, meskipun sebenarnya ia hanya ingin terlihat biasa saja di mata Nara. Ia ingin Nara melihat dirinya yang sebenarnya, bukan versi terbaik yang seringkali ia tunjukkan dalam video call.

Ketika akhirnya mereka bertemu di pintu kedatangan, hati mereka berdua berdegup kencang. Mereka saling memandang dengan mata penuh kerinduan, seolah dunia berhenti berputar sesaat.

Saat Nara dan Zara saling bertatap mata untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ada banyak emosi yang mengalir di antara mereka—rindu yang terpendam, kebahagiaan yang datang setelah lama menunggu, dan juga kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Zara menatap Nara sejenak, seolah tidak percaya bahwa pria yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama ini akhirnya berdiri di hadapannya. Nara terlihat sama seperti yang ia ingat, namun dengan ekspresi wajah yang sedikit berbeda—lebih serius, lebih dewasa.

Nara, di sisi lain, merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat Zara berdiri di depannya. Rasanya seperti dunia ini milik mereka berdua saja. Semua keraguan yang selama ini menggelayuti hati mereka seolah lenyap begitu saja saat mereka saling memandang. Tak ada kata-kata yang keluar, hanya keheningan yang mendalam.

Akhirnya, Nara melangkah maju dan meraih tangan Zara, menariknya ke dalam pelukannya. Semua perasaan yang mereka simpan dalam hati, semua kata yang tak terucapkan, seolah meledak dalam pelukan itu.

“Aku merindukanmu,” bisik Nara dengan suara serak, memeluk Zara lebih erat.

Zara tidak bisa menahan air matanya. Semua beban yang ia rasakan selama ini terasa menghilang begitu saja. “Aku juga merindukanmu, Nara. Aku takut kita akan berubah, tapi lihatlah sekarang… kita di sini.”

Mereka berdua berdiri dalam pelukan, seakan dunia tidak ada yang lebih penting selain saat ini. Keinginan mereka untuk bertemu telah membuahkan hasil, dan pertemuan ini ternyata lebih dari sekadar tentang bertemu kembali. Ini adalah tentang menyatukan kembali segala hal yang terpisah oleh jarak, tentang mengatasi keraguan yang selama ini menghambat mereka.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan, dan Nara tersenyum dengan lembut. “Ayo, kita pergi ke tempat yang sudah lama kita impikan. Ada banyak yang ingin aku bicarakan denganmu.”

Zara mengangguk, merasakan kebahagiaan yang membuncah di dadanya. “Aku juga, Nara. Aku juga.”

Selama beberapa hari berikutnya, Nara dan Zara menghabiskan waktu bersama, berjalan-jalan di kota yang menjadi rumah bagi Zara, mengunjungi tempat-tempat yang dulu hanya mereka lihat melalui foto dan video call. Setiap momen terasa begitu berarti. Mereka menghabiskan waktu berbicara tentang semua hal yang selama ini mereka simpan dalam hati—tentang harapan mereka untuk masa depan, tentang ketakutan yang pernah mereka rasakan, dan tentang betapa mereka saling membutuhkan satu sama lain.

Namun, meskipun mereka begitu bahagia berada bersama, kenyataan bahwa mereka masih terpisah oleh jarak fisik menjadi topik pembicaraan yang tak bisa dihindari. Mereka berbicara dengan terbuka tentang rencana masa depan mereka, tentang bagaimana mereka akan menghadapinya. Zara tahu bahwa kehidupannya di luar negeri masih menuntut banyak perhatian, sementara Nara pun harus kembali ke kehidupannya di tanah air.

“Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Zara dengan tatapan penuh harap. “Apakah kita bisa terus seperti ini, meskipun kita tahu kita akan kembali terpisah lagi?”

Nara menatapnya dengan penuh keyakinan. “Kita akan membuatnya berhasil, Zara. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi satu hal yang aku tahu adalah aku tidak ingin kehilanganmu. Kita harus terus berjuang, apapun yang terjadi.”

Zara tersenyum, merasa tenang dengan jawaban Nara. Mereka tahu, meskipun perjalanan mereka tidak mudah, mereka memiliki satu sama lain. Dan itu, lebih dari apa pun, cukup untuk memberi mereka harapan.***

————-THE END————

Source: ASIFA HIDAYATI
Tags: #cintajarakjauh#cintatertunda#HubunganDiuji#pertemuankembali#RinduYangTakTerlupakan
Previous Post

DENDAM DALAM HATI YANG TERLUKA

Next Post

PAHIT NYA DENDAM CINTA

Related Posts

JIKA RINDU BISA TERBANG

JIKA RINDU BISA TERBANG

May 11, 2025
“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

“MENJAGA CINTA DI ANTARA KILOMETER”

May 10, 2025
SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

SELAMANYA MILIKMU: LANGIT YANG SAMA, CINTA YANG BERBEDA

May 9, 2025
KISAH DI BALIK LAYAR

KISAH DI BALIK LAYAR

May 8, 2025
“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

“JARAK MENGUJI, HATI BERTAHAN”

May 7, 2025
RINDU YANG TAK TERUCAP

RINDU YANG TAK TERUCAP

May 6, 2025
Next Post
PAHIT NYA DENDAM CINTA

PAHIT NYA DENDAM CINTA

CINTA TANPA BATAS LOKASI

CINTA TANPA BATAS LOKASI

AROMA DENDAM DALAM CINTA

AROMA DENDAM DALAM CINTA

Top Stories

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

LARA DALAM BALAS DENDAM HATI

May 17, 2025
KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

KETIKA CINTA BERUBAH JADI SENJATA

May 16, 2025
KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

KISAH DENDAM SANG MANTAN KEKASIH

May 15, 2025

Tentang Kisah Cinta

Kami menyajikan kumpulan novel dan cerpen cinta yang menggambarkan berbagai sisi cinta, dari yang manis hingga yang pahit, dari yang bahagia hingga yang menyayat hati

Connect on Social

© 2024 Kisahcinta.id

No Result
View All Result
  • Bucin
  • Jarak jauh
  • Pertama
  • Segitiga
  • Terlarang
  • Dendam Cinta
  • Penghianatan Cinta

© 2024 Kisahcinta.id